Dilansir dari teenvouge.com, terdapat dua gelombang besar kolonialisme dalam sejarah. Gelombang pertama terjadi sekitar abad ke-15, saat negara-negara Eropa seperti Inggris, Spanyol, Prancis, dan Portugal mulai menjajah wilayah di Amerika Utara dan Selatan.
Motivasi utama kolonialisme Eropa diringkas dalam istilah "3G", yaitu Gold, Glory, Gospel.
Gold: Mengejar kekayaan berupa rempah-rempah, logam mulia, dan hasil bumi dari wilayah jajahan.
Glory: Ambisi untuk memperluas kekuasaan dan pengaruh politik negara penjajah.
Gospel: Keinginan menyebarkan agama Kristen ke wilayah baru sebagai bentuk "misi suci".
Persaingan antar negara Eropa untuk menguasai wilayah baru kemudian mendorong lahirnya berbagai perjanjian internasional, seperti Treaty of Tordesillas pada 1494, yang membagi dunia menjadi dua wilayah kekuasaan antara Spanyol dan Portugal.
Lalu gelombang kedua koloniaisme dimulai pada abad ke-19 dan fokus utamanya adalah benua Afrika. Di masa ini negara-negara Eropa bersaing demi mendapatkan wilayah Afrika peristiwa ini dikenal juga sebagai scramble of Africa.
Mereka membagi-bagi benua itu layaknya memotong kue, menciptakan perbatasan buatan yang tidak memperhatikan suku, budaya, atau kelompok etnis yang ada.
Akibatnya, banyak kelompok masyarakat yang dulu hidup berdampingan akhirnya terpecah, dan hal ini memicu konflik etnis yang masih terasa hingga kini.
Selain itu, sistem politik, ekonomi, dan cara hidup tradisional masyarakat setempat dihancurkan dan diganti dengan sistem yang dianggap “lebih maju” oleh penjajah.
Namun, sistem itu justru merugikan penduduk asli dan menghilangkan jati diri mereka.
Salah satu contoh kolonialisme paling brutal terjadi di Kongo, di bawah kekuasaan Raja Leopold II dari Belgia. Ia dikenal sebagai “Penjagal Kongo” karena kekejamannya dalam mengeksploitasi penduduk dan sumber daya alam.
Diperkirakan lebih dari 10 juta orang meninggal akibat kekerasan, kerja paksa, dan kelaparan selama rezim tersebut berlangsung.