Cara Sukses Orang Denmark Membesarkan Anak yang Bahagia

Apa definisi anak yang sukses? Ternyata bukan hanya pintar akademik tapi juga dalam hal sosial

6 Oktober 2018

Cara Sukses Orang Denmark Membesarkan Anak Bahagia
Pexels/Shari Murphy

Mama sudah tahu belum kalau penduduk Denmark dinobatkan sebagai penduduk paling bahagia di dunia? Wow banget ya!

Pencapaian ini bahkan selalu diperoleh oleh Denmark selama 40 tahun lamanya sebagai penduduk paling bahagia di dunia menurut World Happiness Record oleh PBB.

Pasti ada perbedaan pola asuh antara orang Denmark dengan penduduk dari negara lain.

Seperti di Indonesia, Mama millennial belajar bagaimana menerapkan pola asuh terbaik bagi anaknya. Mama milenial mengambil pola asuh orangtua akan tetapi mengubahnya di beberapa tempat yang dirasa kurang sesuai bagi perkembangan anak.

Mama dapat menimbang mana yang lebih baik bagi tumbuh kembang si Kecil berdasarkan pengalaman Mama sebagai seorang anak.

Karena pola asuh anak dapat berbeda-beda bukan hanya antar negara bahkan antar keluarga, maka tidak ada salahnya Mama belajar pola asuh dari negara lain. Yang dirasa sesuai dan baik bagi si Kecil maka dapat Mama terapkan sehari-hari.

Namun apabila ada hal yang bertentangan dengan norma agama maupun adat istiadat yang berlaku, maka Mama tidak perlu mengambilnya.

Nah, sebagai penduduk paling bahagia di dunia, bagaimana sih cara orang Denmark dalam membesarkan anak-anak sehingga bisa menjadi anak yang bahagia pula?

Menurut buku The Danish Way of Parenting yang ditulis oleh Jessica Joelle Alexander dan Iben Dissing Sandahl, terdapat 6 teori pola asuh orang tua yang harus diterapkan pada anak. Teori ini disingkat menjadi PARENT (orangtua).

Berikut Popmama.com merangkum 6 teori pola asuh orang denmark berdasarkan buku The Danish Way of Parenting berikut ini:

1. P for play (bermain)

1. P for play (bermain)
Pexels/Pixabay

Orangtua Denmark membebaskan anak-anaknya untuk bermain. Bahkan mereka diperbolehkan sekolah setelah menginjak usia 7 tahun.

Sehingga anak di Denmark memiliki banyak waktu untuk bermain sebelum usia sekolah. Dari permainanlah mereka belajar mengenai banyak hal seperti ketangguhan, bersosialisasi dan bergaul, serta mengendalikan diri.

Tidak diragukan lagi bahwa ketangguhan merupakan salah satu faktor kesuksesan seseorang.

Kemampuan mengelola stres dan emosi tidak bisa dipelajari dari mengikuti les. Kemampuan ini berkembang alami dari proses bermain tersebut sehingga diharapkan saat dewasa ia tidak perlu terkena depresi dan mampu menghadapi kehidupannya dengan baik.

Mama perlu memberi si Kecil ruang untuk tumbuh dan berkembang. Dalam hal ini Mama dapat membantunya melalui sesuatu satu kali saja, selanjutnya bantu sesedikit mungkin untuk melatih kemandiriannya.

Mama juga dapat lebih berfokus pada keterampilan dasar anak dan proses yang dilaluinya dibandingkan berfokus pada hasil yang diraih.

Menjadi pintar dengan mendapat nilai yang bagus itu baik, akan tetapi jauh lebih baik bila anak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan teman-temannya dan peduli terhadap lingkungan.

Tips untuk bermain yang disarankan di buku ini yaitu:

  • Matikan TV dan alat elektronik dan biarkan anak bermain dengan daya imajinasi mereka.
  • Ciptakan lingkungan bermain yang memperkaya dan mendukung semua indra si Kecil, baik itu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan bahkan perkembangan otak anak.
  • Gunakan seni sebagai salah satu media bermain sehingga kemampuannya akan lebih berkembang.
  • Biarkan anak bermain di luar rumah seperti area bermain, pegunungan, pantai, sawah maupun tempat wisata lainnya, akan tetapi tetap perhatikan faktor keamanannya.
  • Biarkan anak bermain dengan anak-anak yang berbeda usianya sehingga akan meningkatkan kemampuan dalam bersosialisasi, berkomunikasi, bersikap dan bermain bersama.
  • Bermain bersama anak dengan sungguh-sungguh dan tidak malu untuk terlihat lucu.
  • Bangun rintangan misalnya dari kursi maupun jemuran dan tenda kecil sehingga anak akan menggunakan daya imajinasinya dalam bermain dan mengeksplor ruang.
  • Jangan turut campur terlalu cepat antara si Kecil dengan temannya.

2. A for authencity (autentisitas)

2. A for authencity (autentisitas)
Pexels/bruce mars

Anak-anak di Denmark sudah diajarkan untuk jujur pada diri sendiri dan mengenali emosi yang dirasakannya sejak kecil.

Sebagai orangtua, mengajarkan dan memperlihatkan kejujuran emosi jauh lebih penting dibandingkan kesempurnaan.

Di Indonesia dan negara lainnya ending sebuah film biasanya berakhir bahagia, tetapi tidak dengan film di Denmark. Akhir film yang sedih maupun menggantung akan membuat anak mengembangkan pikirannya dan merasa lebih bahagia.

Mereka mampu merasa bahagia akan kehidupan yang mereka jalani karena tidak sesedih cerita di televisi. Sehingga mereka biasa mengenal emosi sedih, kecewa maupun bahagia dan menjadi tidak mudah iri dengan kebahagiaan orang lain.

Mengenali dan menerima semua emosi bahkan kesedihan akan membuat anak jauh lebih tangguh dan dapat mencari solusi atas setiap permasalahannya.

Mereka akan belajar untuk tidak lari dari rasa kecewa dan sedih.

Untuk membantu si Kecil mengenali emosinya, Mama dapat membantunya dengan bertanya “Sayang kenapa kok mukanya begitu? Kamu lagi sedih? Sedih kenapa?”

Setelah anak menceritakan alasannya, Mama dapat membantunya menyikapi perasaan yang sedang dihadapi.

Banyak orang berpendapat pujian mampu membangkitkan motivasi anak. Ternyata menurut penelitian pujian yang berlebihan hanya akan membuat anak kurang menggali potensi diri sehingga apabila bertemu dengan orang yang lebih hebat dia akan merasa rendah diri dan depresi karena merasa tidak cerdas lagi.

Orang Denmark punya gaya memuji yang jujur dan membangun. Alih-alih memuji pada hasil, mereka akan senang memuji proses yang dilalui oleh anak.

Misalnya ketika anak menyanyi dengan suara yang biasa saja, mereka tidak akan mengucapkan kalimat "Wah suaramu bagus banget", melainkan "Nyanyian kamu biasa saja tapi Mama yakin kalau berlatih terus maka suaramu akan indah nantinya".

Untuk memiliki autentisitas maka kita harus mengajarkan pada anak hal berikut ini:

  • untuk jujur pada perasaan dan berhenti menipu diri sendiri,
  • membacakan cerita yang mengandung banyak emosi,
  • memuji pada proses yang dilakukan,
  • menekankan anak untuk tidak membandingkan dirinya dengan orang lain
  • mengajarkan bahwa pengalaman setiap orang melalui sesuatu mungkin akan berbeda.

Editors' Pick

3. R for Reframing (memaknai ulang)

3. R for Reframing (memaknai ulang)
Pexels/rawpixel.com

Reframing adalah melihat segala sesuatu dari beberapa sisi. Hal ini sudah diajarkan para orangtua di Denmark pada anak-anaknya.

Mereka dikenal sebagai optimis realistis, yakni orang yang selalu mampu menemukan sisi positif dari segala hal tetapi tetap realistis.

Mama juga bisa menerapkan reframing untuk mendidik si Kecil, dengan begitu pikirannya akan menjadi lebih kritis, mampu berempati serta tidak mudah berpikiran negatif pada orang lain.

Hindari memberi label yang negatif pada anak karena khawatirnya saat besar nanti anak akan mendefinisikan dirinya sesuai label yang ia dapatkan sejak kecil.

Contoh orang Denmark mengajarkan anak untuk bisa melihat sisi positif:
"Ma, aku tadi nggak bagus hasil menggambarnya. Aku payah deh."
“Mana coba Mama lihat. Oh iya ini memang masih bisa ditingkatkan. Tapi kamu ingat nggak bulan kemarin hasil gambarmu paling bagus sekelas?"
"Iya, Ma tapi objek yang sekarang sulit".
"Sulit tapi bisa dilakukan kan sayang? Nggak ada yang nggak bisa selama kita mau berusaha".

Orang Denmark merupakan optimis realistis yang natural. Karena kebiasaan melihat sisi positif bahkan di kondisi negatif sekalipun sudah diajarkan sejak dini.

Sehingga mereka akan selalu spontan untuk berperilaku dan berucap positif.

Mama dapat membantu anak dalam memaknai ulang yaitu dengan cara memperhatikan sisi negatifnya dan belajar melihat sisi positif dari hal tersebut, menggunakan lebih sedikit bahasa yang mengungkung dan menggunakan bahasa yang mendukung si Kecil sehingga mereka mampu keluar dari kesulitan yang dihadapi.

4. E for empathy (empati)

4. E for empathy (empati)
Pexels/Pixabay

Anak-anak di Denmark diajarkan untuk selalu berempati pada orang lain. Hal ini tidak hanya dilatih oleh orangtua, bahkan guru di sekolah pun ikut turut serta.

Apabila ada anak yang marah atau menangis biasanya orangtua akan bertanya kira-kira alasan apa yang menyebabkan anak tersebut marah maupun menangis.

Sehingga anak pun dapat tumbuh rasa empatinya terhadap orang lain.

Salah satu pilar yang diajarkan orang Denmark pada keturunannya adalah tidak menghakimi orang lain bahkan anak-anak sekalipun. Mereka sangat menghormati keputusan yang dibuat oleh orang lain.

Mampu berempati dengan baik membuat penduduk Denmark lebih jujur terhadap perasaannya karena orang lain akan mampu berempati terhadap apa yang mereka alami.

Hal ini berbeda dengan penduduk negara lain yang cenderung tidak mau terlihat rapuh maupun sedih di hadapan orang lain karena tidak siap dengan respon yang diterima.

Contohnya para Mama yang tidak bisa memberikan ASI eksklusif tidak berani memberitahu orang banyak mengenai hal itu karena takut dituduh sebagai Mama yang malas dan tidak becus mengurus anak oleh Mama yang bisa memberikan ASI eksklusif.

Begitupun Mama yang tidak bekerja dan menjadi IRT cenderung merasa malu karena tidak berkarya dan menghasilkan uang.

Banyak kasus mom-shaming diantara para Mama yang menimbulkan persaingan tidak sehat diantara mereka.

Mom-shaming merupakan tindakan saling mempermalukan antar Mama terhadap pola asuh maupun hal lain dengan cara menampilkan citra diri sebagai yang paling baik dan sempurna.

Padahal tidak ada Mama yang sempurna di dunia ini dan prestasi seorang Mama tidak dapat hanya diukur dari beberapa hal seperti menyusui bayi secara langsung atau tidak dan sebagainya.

Kasus ini terjadi karena kurang atau tidak adanya empati antara para Mama kepada satu sama lain.

Tips untuk menumbuhkan rasa empati pada anak yaitu dengan mengajarkannya mengenali emosi, membacakan buku cerita, menjadi pendengar yang baik, jangan takut menjadi rapuh dan carilah empati dari orang lain.

5. N for no ultimatums (tanpa peringatan)

5. N for no ultimatums (tanpa peringatan)
Pexels/Burst

Orangtua di Denmark mendidik anak-anaknya dengan penuh rasa hormat dan bebas dari ketakutan serta ancaman. Berbeda dari gaya pengasuhan negara lain dimana orangtua ingin selalu ditakuti dan dipatuhi pada detik itu juga.

Banyak Mama menjadikan ancaman dan hukuman pada anak sebagai jalan keluar instan tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

Akan ada perbedaan antara anak yang dididik untuk hormat terhadap orangtua dengan anak yang takut pada orangtua.

Di mana anak yang hormat akan memiliki kedekatan dan hubungan yang harmonis dengan kedua orangtuanya, sementara anak yang dididik takut pada orangtua tidak akan memiliki kedekatan emosional seperti ada jurang pemisah antara keduanya.

Jika saat ini Mama sudah sering mengancam, maka ini saatnya untuk berhenti memberi ancaman-ancaman yang tidak perlu.

Selain tidak efektif, hal tersebut juga hanya akan memicu ketakutan anak dan bisa merenggangkan hubungan. Tetap tenang dan kendalikan diri Mama, serta ajarkan perlahan dan jangan terlalu memaksa.

Mama dapat memberi pengertian yang mudah dimengerti si Kecil sehingga ia akan mematuhi apa yang Mama katakan.

Misalnya:
"Jangan naik-naik ke pohon terlalu tinggi nak."
"Biarin. Emang kenapa nggak boleh?"
"Kalau jatuh nanti sakit banget harus ke rumah sakit. Kamu mau masuk rumah sakit, disuntik dan minum obat?"
"Nggak mau.
"Yaudah makanya turun yuk main di taman aja."
"Iya deh Ma."

6. T for togetherness (kebersamaan)

6. T for togetherness (kebersamaan)
Pexels/Pixabay

Bagi orang Denmark, kebersamaan untuk berkumpul dengan keluarga sangatlah penting.

Oleh sebab itu, sesibuk apapaun mereka akan selalu menghabiskan hari libur untuk berkumpul bersama keluarga tercinta.

Berkumpul disini bisa dalam bentuk mengobrol, makan bersama maupun melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama satu sama lain.

Saat sedang bersama keluarga aturan utama yang mereka terapkan adalah

  • mematikan handphone dan alat elektronik yang bisa mengganggu,
  • melupakan sejenak masalah kantor,
  • tidak membicarakan hal-hal yang dapat memicu konflik,
  • tidak banyak mengeluh,
  • menyiapkan makanan dan minuman untuk dinikmati bersama,
  • membicarakan kenangan masa lalu dan berterima kasih pada anggota keluarga yang hadir saat itu.


Itulah 6 cara orang Denmark dalam membesarkan anak-anak mereka sehingga dapat menjadi orang yang bahagia. Perasaan bahagia terhadap hidup yang kita miliki akan menghindarkan perasaan iri dengki, kebencian dan persaingan tidak sehat yang banyak terjadi saat ini.

Dengan memiliki empati pada orang lain akan melatih si Kecil agar tidak mudah menghakimi orang lain dan bisa lebih dewasa menyikapi persoalan yang dihadapi.

Bagaimana menurut Mama cara pengasuhan ala orang Denmark? Bagus ya?

Yuk terapkan dalam mendidik si Kecil agar menjadi generasi tangguh yang sukses dam bahagia.

The Latest