5 Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Kekerasan terhadap anak dan perempuan masih disorot di Indonesia

12 Oktober 2021

5 Penyebab Terjadi Kekerasan Terhadap Perempuan Anak
pexels/Mentatdgt

Bicara mengenai anak dan perempuan, ternyata masih banyak dari mereka baik di kota maupun desa yang mengalami kekerasan secara seksual maupun emosional. Secara langsung ataupun daring. Secara verbal mapun fisik.

Jenis kekerasan yang didapat oleh anak dan perempuan yaitu seperti, kekerasan dalam rumah tangga, penculikan, persetubuhan, aborsi, pencabulan, pelecehan, perdagangan orang, pornografi, perundungan, perbuatan tidak menyenangkan dan masih banyak lagi. 

Walaupun hal yang sama juga dialami oleh laki-laki, tampaknya kekerasan pada perempuan lebih banyak disorot. Kekerasan di sini juga mengarah pada arti diskriminasi.

Dalam rangka memperingati Hari Anak Perempuan Internasional pada tanggal Senin, 11 Oktober 2021, Popmama.com bersama Wahana Visi Indonesia mengadakan webinar dengan tema Untuk Anak Perempuan yang diselenggarakan secara online di tanggal yang sama. 

Acara ini menghadirkan beberapa tokoh penting sebagai pembicara, yaitu seperti Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KPPPA selaku Ciput Eka Purwianti, Angelina Theodara yang merupakan Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, Imelda Fransisca selaku Hope Ambassador WVI, Sandra Ratnasari yaitu Editor in Chief Popmama.com, dan Jessica Mila. 

Data dari sumber SNPHAR-2018 menunjukan bahwa kekerasan seksual dengan kategori usia 18-24 tahun secara kontak mencapai 9,8 persen di kota dan 10,7 persen di desa. Sedangkan kekerasan seksual secara non kontak mencapai 6,8 di kota dan 3,7 di desa. 

Adanya kekerasan seksual dikarenakan masih banyaknya pandangan lemah terhadap anak perempuan yang terjadi di indonesia, atau bahkan negara lainnya. Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, Angelina Theodara menyampaikan beberapa poin penyebab kekerasan pada anak dan perempuan masih terjadi

Berikut Popmama.com rangkum selengkapnya.

1. Indonesia dengan budaya patriarkinya

1. Indonesia budaya patriarkinya
Pexels/Ihsan Adityawarman

Anggapan perempuan lemah berangkat dari budaya Indonesia yang masih patriarki, memandang bahwa anak laki-laki jauh lebih baik dari anak perempuan. Persepsi yang seperti ini juga terjadi di cina, seperti melakukan pembatasan anak, dan jika tidak mengikuti aturan maka akan diaborsi.

Memang, di Indonesia tidak bertindak jauh seperti halnya yang dilakukan Cina, namun faktanya sebagian besar penduduknya masih memandang anak laki-laki jauh lebih tinggi kedudukannya dari anak perempuan. Dalam arti bahwa perempuan merupakan perempuan sub cordinate dari anak laki-laki. 

Dilansir dari sumber Kemen PPPA - Simfoni PPA (dialah 7 September 2021), selama Januari-Desember 2021 tercatat sebanyak 8.686 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 8.763 perempuan dari jumlah tersebut sebanyak 61 persen di antaranya adalah kasus KDRT.

2. Perempuan bukanlah pencari nafkah utama

2. Perempuan bukanlah pencari nafkah utama
Pexels/Alena Darmel

Deskriminasi terhadap perempuan juga terjadi di tempat kerja serta kebijakan publik. Menganggap bahwa perempuan bukanlah penyari nafkah utama, mereka hanya pencari nafkah tambahan.

Sehingga sering kali terjadi  perbedaan gaji untuk pegawai laki-laki jumlahnya lebih tinggi daripada perempuan walaupun jenis dan posisi yang didapatkan sama. 

Sayang sekali jika ini terus terjadi pada kebijakan publik, karena dalam suatu keadaan bisa saja perempuan menjadi pencari nafkah utama untuk keluarganya.

Editors' Pick

3. Stereotype bahwa anak perempuan adalah anak yang lemah

3. Stereotype bahwa anak perempuan adalah anak lemah
Pexels/ELEVATE

Stereotype anak perempuan lemah berangkat dari banyaknya kejadian dalam sebuah keluarga yang tidak mengutamakan anak perempuan untuk mendapatkan hak sekolah. Kurangnya akses pendidikan entah karena faktor ekonomi atau hal lainnya. 

"Banyaknya keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi lebih mengutamakan sekolah untuk anak laki-lakinya dengan alasan mereka akan menjadi kepala keluarga di masa depan, dan harus memikul tanggung jawab sebuah keluarga, sedangkan anak perempuan tidak," ujar Angelina Theodara, Direktur nasional Wahana Visi Indonesia. 

4. Anak perempuan berbenturan dengan budaya

4. Anak perempuan berbenturan budaya
Pexels/ Ivan Samkov

Faktor sosial dan budaya yang membenarkan digunakannya kekerasan dan menghalangi anak untuk mengungkapkan kekerasan dan mencari bantuan. "Anak perempuan berbenturan dengan budaya yang menyebabkan kehidupannya tertekan serta dari pendidikan dan kesetaraan yang harus didapatkan," kata Editor in Chief Popmama.com, Sandra Ratnasari. 

Hal ini mengakibatkan banyak anak perempuan menjadi voiceless untuk menyampaikan apa yang harus disampaikan. 

"Peran media diharapkan dapat membantu menyuarakan keinginan para perempuan. Popmama.com sebagai media memiliki tujuan untuk bisa menyentuh para mama untuk bisa lebih bersuara dan berdaya. Mungkin saja dulu, Mama sebagai anak-anak kerap menerima kekerasan dengan begitu saja tanpa ada perlawanan," tambahnya. 

5. Tidak adanya kesetaraan gender

5. Tidak ada kesetaraan gender
Pexels/ Monstera

Perempuan dianggap lemah karena kurang meleknya masyarakat terhadap kesetaraan gender. "Kesetaraan gender tidak bisa berjalan dengan baik kalau perempuan dan laki-laki masih memegang teguh prinsipnya masing-masing. Harus ada keseimbangan untuk menyadarkan masyarakat," kata Sandra. 

Seperti halnya perempuan tidak harus identik dengan peran perempuan yang kita kenal saat ini. Seperti perempuan harus di rumah, memasak, dan mencuci. Pekerjaan itu sebenarnya bisa dilakukan oleh laki-laki juga, namun kebanyakan dari masyarakat menganggap bahwa itu merupakan tugas utama seorang perempuan. 

6. Beberapa arahan Presiden cegah kekerasan pada anak dan perempuan

6. Beberapa arahan Presiden cegah kekerasan anak perempuan
Instagram.com/Jokowi

Presiden Indonesia, Joko Widodo juga memberikan arahan untuk mencegah kekerasan pada anak dan perempuan yang meliputi diskriminasi.

Arahan ini juga dibagikan oleh Angelina Theodora, Direktur Nasional Wahan Visi Indonesia dalam presentasi webinar 'Untuk Anak Perempuan'. Berikut arahan Presiden: 

  1. Meningkatkan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan
  2. Peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan dan pengasuhan anak
  3. Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak
  4. Penurunan pekerja anak
  5. Serta pencegahan perkawinan anak

Demikian ulasan mengenai webinar 'Untuk Anak Perempuan' yang diadakan oleh Wahan Visi Indonesia yang bekerjasama dengan Popmama.com. 

Harapannya dengan adanya data yang mengungkapkan banyak kekerasan pada anak dan perempuan, tak ada lagi deskriminasi serta kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan. Ditambah, kini sudah banyak lembaga atau komunitas yang bisa membantu, semoga kedepannya perempuan bisa berani bersuara dan lebih berdaya. 

Baca juga:

The Latest