Resmi Disahkan DPR, Ini Deretan Poin Kontroversial UU Kesehatan

Ada beberapa poin kontroversial dalam RUU Kesehatan yang resmi disahkan DPR menjadi UU

12 Juli 2023

Resmi Disahkan DPR, Ini Deretan Poin Kontroversial UU Kesehatan
kemenkumham.go.id

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023 pada Selasa (11/7/2023).

Sejumlah pihak menganggap bahwa pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU terkesan terburu-buru. Mengingat, RUU inisiatif DPR ini baru saja dibahas pada tahun lalu.

Dalam perjalanan penyusunannya, RUU Kesehatan menuai pro dan kontra, termasuk dari para organisasi profesi (OP). Mereka melawan dengan melakukan banyak cara, mulai dari aksi di depan Gedung DPR RI sampai berencana mengajukan judicial review.

Hal itu terjadi karena adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dengan sejumlah organisasi profesi.

Berikut Popmama.com telah merangkum secara detail tentang deretan poin kontroversial UU Kesehatan yang baru saja disahkan DPR.

Apa saja poin dalam UU Kesehatan yang menjadi kontroversial?

1. Dihapuskannya mandatory spending

1. Dihapuskan mandatory spending
Pixabay/EmAji

Salah satu poin persoalan yang turut menjadi sorotan dan kontroversial adalah soal mandatory spending atau alokasi anggaran. UU Kesehatan yang baru disahkan DPR menghilangkan pasal terkait mandatory spending.

Sebelum direvisi, dalam Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diatur besarannya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.

Menurut pemerintah, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.

Dengan begitu, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.

Namun, penghilangan pasal itu malah justru tak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MPR RI X/MPR/2001.

2. Izin dokter asing dipermudah

2. Izin dokter asing dipermudah
Freepik/Lifestylememory

Selain soal mandatory spending, persoalan berikutnya yang tidak kalah menjadi sorotan ialah soal kemudahan pemberian izin untuk para dokter asing.

Dalam kebijakan yang baru disahkan itu disebutkan mengenai berbagai persyaratan bagi dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri untuk membuka praktik.

Persyaratan yang harus dikantongi oleh mereka untuk membuka praktik di dalam negeri ialah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktik (SIP), dan Syarat Minimal Praktik.

Namun, apabila dokter diaspora dan dokter asing itu telah lulus pendidikan spesialis, maka mereka bisa dikecualikan dari persyaratan tersebut.

Aturan itu dinilai berbahaya karena dokter spesialis dapat beroperasi tanpa adanya rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pasalnya, dokter selama ini wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.

Selain itu, UU Kesehatan turut menghapus aturan sebelumnya yang mewajibkan WNA tenaga kesehatan harus bisa berbahasa Indonesia.

OP menilai kemampuan berbahasa Indonesia bertujuan untuk menyesuaikan pasien di Indonesia yang mayoritas berasal dari kelas menengah. Dengan dihapuskan aturan itu, maka menurut mereka bahwa peruntukan mereka hanya untuk pasien kalangan menengah ke atas.

3. STR diubah menjadi berlaku seumur hidup

3. STR diubah menjadi berlaku seumur hidup
Pexels.com/MART PRODUCTION

Melalui Omnibus Law UU Kesehatan, STR tenaga kesehatan dan tenaga medis yang kini membutuhkan perpanjangan per lima tahun akan diubah menjadi berlaku seumur hidup seperti ijazah.

Walau begitu, STR akan tetap dikeluarkan oleh Konsil. Akan tetapi, Konsil tersebut menjadi satu kesatuan integrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) ataupun Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).

4. Jumlah organisasi profesi dibatasi

4. Jumlah organisasi profesi dibatasi
Popmama.com/Juan Dwi Satya

UU Kesehatan yang direvisi tersebut juga dianggap mengatur peran dan pembatasan organisasi profesi. Hal ini bisa membuat nama organisasi IDI dan PDGI yang selama ini diakui pemerintah menghilang.

"Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi," demikian bunyi Pasal 314 ayat 2 UU Kesehatan.

Sebagai penggantinya, pemerintah berwenang menentukan organisasi profesi yang diakui bagi tiap tenaga kesehatan. Kondisi ini jelas dikhawatirkan memancing munculnya berbagai organisasi profesi yang kasak-kusuk minta pengakuan pemerintah.

"Seharusnya RUU dengan tegas menyebut pengakuan hanya pada satu organisasi profesi dokter, satu organisasi dokter gigi dan masing-masing satu buat tenaga kesehatan lainnya seperti perawat, bidan dan apoteker. Poli-organisasi profesi hanya akan menimbulkan konflik berkepanjangan," kata Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Iqbal Mochtar, yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah, dikutip dari laman IDN Times.

Editors' Pick

5. Konsil Kedokteran kini di bawah menteri

5. Konsil Kedokteran kini bawah menteri
Youtube.com/Sekretariat Presiden

Poin berikutnya yang dipersoalkan dalam UU Kesehatan ialah posisi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. Dalam UU Kesehatan baru, Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia kini di bawah menteri.

"Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri," demikian bunyi Pasal 239 ayat 2 UU Kesehatan.

IDI berpendapat bahwa pasal itu melemahkan organisasi profesi. Hal itu dikarenakan sebagian besar tugasnya akan diambil alih oleh Kemenkes.

Pasalnya, Konsil Kedokteran sebelumnya bersifat independen dan bertanggung jawab kepada presiden.

6. Dihapuskannya rekomendasi OP dalam penerbitan SIP

6. Dihapuskan rekomendasi OP dalam penerbitan SIP
Freepik

Poin lainnya yang tidak kalah menjadi kontroversial dalam UU Kesehatan ialah soal dihapuskannya rekomendasi OP dalam penerbitan Surat Izin Praktik (SIP).

Sementara itu, berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, disebutkan syarat menerbitkan SIP ada tiga kondisi. Dalam Pasal 38, tiga syarat tersebut, yaitu wajib memiliki STR aktif, tempat praktik dan rekomendasi OP.

Namun dalam UU Kesehatan, syarat menerbitkan SIP hanya dua, yakni memiliki STR dan tempat praktik.

7. Data genomik WNI rawan disalahgunakan

7. Data genomik WNI rawan disalahgunakan
freepik/kjpergeter

Organisasi profesi (OP) juga turut menyoroti soal kekhawatiran terkait aturan transfer data. Hal itu dikarenakan, berdasarkan Pasal 338 draf final RUU Kesehatan, terdapat aturan mengenai teknologi biomedis.

Sebagai informasi, pemanfaatan teknologi biomedis itu termasuk mencakup teknologi genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik terkait organisme, jaringan, sel, biomolekul, dan teknologi biomedis lainnya.

Data itu kemudian harus disimpan dan dikelola material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data untuk jangka panjang yang harus dilakukan oleh biobank dan atau biorepositori.

Pada Pasal 340 tertulis aturan soal pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, atau data ke luar wilayah Indonesia dilakukan dengan memperhatikan prinsip kekayaan sumber daya hayati dan genetika Indonesia.

Mengenai hal itu, sudah diatur pula bahwa pengambilan data tersebut harus atas persetujuan dari pasien atau pendonor. Walau demikian, kewajiban mendapatkan persetujuan pasien itu dikecualikan dalam sejumlah perkara.

8. Rawan kriminalisasi nakes

8. Rawan kriminalisasi nakes
IDN Times/Dini Suciatiningrum

Poin lain yang juga menjadi kontroversi ialah rawannya kriminaslisasi terhadap nakes. Para dokter dan tenaga medis pun menyampaikan rasa kekawatiran mereka atas pasal yang mengatur soal ancaman pidana bagi mereka yang melakukan kelalaian berat.

"Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun," bunyi Pasal 462 ayat 1.

Kemudian pada ayat 2 disebutkan, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun."

IDI pun menilai bahwa pasal itu bisa berpotensi memunculkan kriminalisasi dokter. Hal itu dikarenakan tidak adanya penjelasan rinci mengenai poin kelalaian.

9. Aborsi bisa dilakukan sebelum umur kehamilan 14 minggu

9. Aborsi bisa dilakukan sebelum umur kehamilan 14 minggu
Unsplash/Janko Ferlič

Poin mengenai aborsi yang bisa dilakukan sebelum umur kehamilan 14 minggu juga turut menjadi sorotan dalam RUU Kesehatan.

Dikutip dari IDN Times, Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Beni Satria, menjelaskan bahwa dokter dan tenaga kesehatan khawatir terhadap RUU Kesehatan Omnibus Law jika disahkan. Ia menilai ada sejumlah poin yang disorot, salah satunya soal aborsi.

"Di dunia kesehatan, baik dokter maupun bidan, menyatakan aborsi paling lama enam minggu, tetapi di RUU ini 14 minggu, artinya ini sudah terbentuk lengkap," ujarnya dalam aksi menolak RUU Kesehatan di Monas, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023) lalu.

Dalam Pasal 42 ayat 3 RUU Kesehatan, disebutkan aborsi bisa dilakukan sebelum umur kehamilan 14 minggu. Hal itu tampak berbeda dari Pasal 76 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 di mana disebutkan aborsi dapat dilakukan sebelum kehamilan 6 minggu.

Kemenkes menilai bahwa perpanjangan masa kehamilan untuk aborsi itu sudah sesuai dengan rekomendasi WHO. Dari rekomendasi WHO, aborsi tak harus dilakukan di bawah 6 minggu masa kehamilan.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan bahwa perubahan itu karena pertimbangan angka kematian ibu. Menurutnya, jika aborsi dilakukan dengan usia kehamilan lebih dari 14 minggu bisa ada sanksi.

Sementara itu, Nadia menjelaskan kalau dari POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi) mempertimbangkan pendarahan yang bisa sebabkan kematian ibu.

10. RUU Kesehatan membuat menteri dan kementerian menjadi super-body yang jadi penentu semua domain kesehatan

10. RUU Kesehatan membuat menteri kementerian menjadi super-body jadi penentu semua domain kesehatan
Youtube.com/Sekretariat Presiden

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan membuat menteri dan kementerian menjadi super-body yang jadi penentu semua domain kesehatan, dari hulu hingga ke hilir.

Dalam hal ini, Kementerian berwenang menginisiasi, membuat, dan mengesahkan standar pendidikan, standar kompetensi, dan standar pelayanan.

Dikutip dari laman IDN Times, Pasal 235 menyebutkan bahwa standar pendidikan kesehatan disusun oleh menteri. Walau dalam penyusunannya dapat melibatkan kolegium, peran organisasi profesi dan kolegium menghilang.

Padahal dalam UU Nomor 29 Tahun 2004, standar pendidikan ditentukan bersama oleh Asosiasi Institusi Pendidikan, Kolegium, Asosiasi RS Pendidikan, Depdiknas, dan organisasi profesi.

Selain itu, standar kompetensi juga ditetapkan oleh Menteri Kesehatan seperti tercantum pada Pasal 197 ayat 3. Padahal sejatinya, kompetensi adalah domain teknis dan profesional yang ranahnya ada pada Kolegium.

Kolegium menentukan apakah seorang tenaga kesehatan kompeten atau tidak, bukan menteri.

Menkes Budi Siap Dengar Keluhan soal RUU Kesehatan

Menkes Budi Siap Dengar Keluhan soal RUU Kesehatan
sehatnegeriku.kemenkes.go.id

Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, menjelaskan bahwa RUU Kesehatan justru akan membuat masyarakat lebih mudah mengakses dokter dan mendapatkan pengobatan serta layanan kesehatan yang murah.

Dirinya pun menyesalkan penolakan yang malah terjadi di kalangan guru besar. Syahril mencontohkan, salah satu isu tidak benar yang dihembuskan para guru besar, yaitu terminologi dan waktu aborsi.

Padahal kata Syahril, masalah aborsi telah diatur dalam UU KUHP yang baru. RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tak bertentangan.

Selain itu, masalah lainnya yang juga jadi sorotan ialah soal genomik. Menurutnya, pengobatan presisi secara genomik sudah umum di negara lain. Dia menyebut Malaysia dan Thailand bahkan sudah memulainya lebih dari lima tahun lalu.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa pihaknya menghargai adanya perbedaan pendapat dalam pembahasan RUU Kesehatan yang kini sudah disahkan menjadi UU itu.

Budi bahkan secara terbuka menyatakan bersedia apabila ada pihak yang ingin menyampaikan keluhan kepadanya.

"Saya sendiri terbuka ke depan kalau mau ada yang datang menghadap menyampaikan keluhan saya akan dengar, tidak akan menutup pintu, WhatsApp akan saya balas, tapi kita juga mesti sadar belum tentu kita selalu sama," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Jadi, itulah deretan poin kontroversial UU Kesehatan yang disahkan DPR. Melalui rangkuman ini, ada banyak poin kontroversial yang bisa kamu ketahui.

Lantas, bagaimana menurut pendapatmu soal RUU Kesehatan yang kini sudah disahkan DPR menjadi UU?

Baca juga:

The Latest