Peraturan di Indonesia Hingga Agama, Ini 3 Fakta Tentang Sewa Rahim!
Sudahkah kamu mengetahui ketiga informasi pentingnya?
22 Juli 2019

Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Salah satu tujuan dari pernikahan ialah untuk mendapatkan keturunan. Namun sayangnya, tidak semua pasangan suami istri mudah untuk mendapatkannya.
Oleh karena itu, seiring dengan berkembangnya teknologi, munculah berbagai upaya di bidang kedokteran untuk membantu para pasangan ini agar bisa memiliki anak.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah melalui proses pembuahan di luar rahim atau sewa rahim.
Namun yang masih menjadi pertanyaan, apakah hal tersebut dilegalkan di Indonesia? Lalu, bagaimana pendapat dari agama Islam?
Nah, untuk menjawab itu semua, berikut Popmama.com telah merangkum 3 informasi pentingnya.
Editors' Pick
1. Apa itu sewa rahim?
Dikutip dari buku Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?, sewa rahim adalah terjadinya penyatuan pembuahan benih laki-laki terhadap benih perempuan pada suatu cawan petri, yang mana setelah terjadinya penyatuan tersebut akan diimplantasikan atau ditanam kembali di rahim perempuan lain yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan sumber benih tersebut.
Penyatuan benih laki-laki (suami) dan perempuan (istri) yang kemudian ditanam kembali di rahim ibu pengganti terikat melalui perjanjian sewa (surrogacy) yang dikenal dengan istilah surrogate mother yang dibuat oleh pihak suami istri dengan imbalan tertentu bagi perempuan penyewa rahim.
Setelah melahirkan, ibu pengganti diwajibkan untuk memberikan bayi yang ia kandung kepada orangtua yang telah menyewakan rahim berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
2. Bagaimana pengaturannya di Indonesia?
Indonesia sendiri belum memiliki aturan dasar yang pasti untuk mengatur keberlakuan dan status dari praktik sewa rahim atau surrogate mother.
Namun ketentuan tersebut sebenarnya dapat dilihat dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan pada permasalahan sewa rahim.
Misalnya pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 42 UU Perkawinan, dikatakan bahwa yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Dengan begitu, maka munculah berbagai kontroversi yang mengartikan bahwa anak yang dilahirkan dari praktik sewa rahim dapat berstatus menjadi anak luar nikah apabila ibu pengganti tidak terikat dalam suatu pernikahan.
Selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) juga menyebutkan bahwa kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan hasil pembuahan sperma dan ovum suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
Sedangkan dalam praktik sewa rahim, hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan tidak ditanamkan pada rahim sang Istri. Melainkan pada rahim perempuan lain yang kelak akan mengandung benih pasangan suami istri tersebut.