Stres yang signifikan selama kehamilan membuat semua gejala 'normal' kehamilan terasa lebih buruk - mulai dari mual di pagi hari, atau sakit dan nyeri, hingga kelelahan dan perubahan suasana hati.
Dalam kasus yang ekstrem, stres dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan lonjakan hormon stres, yang dapat dikaitkan dengan persalinan prematur atau bayi berat lahir rendah.
Dr. Elphick menambahkan, hormon stres juga dapat merusak perubahan hormon terkait kehamilan.
Hormon estrogen dan hCG (human chorionic gonadotropin) memainkan peran penting dalam merawat janin dan mempersiapkan tubuh perempuan untuk persalinan. Semua itu dapat dipengaruhi oleh hormon stres seperti kortisol. Campuran hormon ini dapat mempersulit ibu hamil untuk mengatasi stres tambahan dan mungkin juga memengaruhi keseimbangan hormon kehamilan yang vital.
Ketika seorang ibu hamil mengalami stres, ini juga dapat secara langsung memengaruhi janin yang sedang berkembang karena banyak hormon melewati plasenta.
Ketika stres tidak dikelola dengan baik, berikut dampak negatif yang bisa Mama hadapi:
- sulit tidur,
- nafsu makan berkurang,
- tekanan darah cenderung meningkat, ini berbahaya jika terjadi saat hamil karena bisa menimbulkan komplikasi,
- sakit kepala dan problem kesehatan lain yang membuat kehamilan semakin sulit,
- kelahiran prematur yang sering dikaitkan dengan sejumlah isu tumbuh kembang anak.
Hormon kortisol juga memiliki dampak negatif bagi bayi kelak. Penelitian mengungkapkan bahwa hormon stres yang dikenal sebagai kortisol lazim dijumpai dalam kadar tertentu sejak usia kandungan 17 minggu.
Saat level kortisol di darah ibu meningkat, level cairan ketuban juga turut meningkat.
Secara umum kortisol membantu tubuh menangani situasi penuh tekanan dengan optimal. Namun, ketika kadarnya berlebih, ada kemungkinan berdampak pada kondisi bayi kelak.
Beberapa di antaranya, kemungkinan tingkat intelegensi bayi 18 bulan rendah akibat tingginya kadar kortisol saat ibu mengandung, atau meningkatnya risiko anak mengalami gangguan perkembangan ADHD.