Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
Pixabay.com/MasterTux
Pixabay.com/MasterTux

Ramainya pemberitaan soal penyakit Japanese Encephalitis (JE) tentu membuat Mama khawatir. Wajar jika muncul pertanyaan, apakah bayi sudah bisa mendapatkan vaksin JE sebagai langkah pencegahan?

Japanese Encephalitis adalah radang otak akibat infeksi virus yang menjadi masalah kesehatan utama di Asia, termasuk Indonesia. Setiap tahunnya, diperkirakan ada sekitar 67.900 kasus baru di 24 negara di Asia dan Oceania.

Penyakit ini tergolong serius karena memiliki angka kematian (CFR) 20%–30%. Bahkan, 30%–50% dari penyintas dapat mengalami gejala sisa seperti kelumpuhan, kejang, gangguan perilaku, hingga kecacatan berat.

Berikut Popmama.com akan bahas lebih lanjut mengenai kapan bayi boleh diberi vaksin Japanese Encephalitis?

Mengenal Penyakit Japanese Encephalitis (JE)

Pixabay.com/FotoshopTofs

Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit radang otak akibat infeksi virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penularannya terjadi saat nyamuk menggigit hewan yang terinfeksi, seperti babi atau burung air, lalu menularkan virus tersebut ke manusia. Namun, penyakit ini tidak menular dari manusia ke manusia.

Penyakit ini banyak ditemukan di negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Meski kasusnya tergolong jarang, Japanese Encephalitis bisa menyebabkan komplikasi serius, bahkan berakibat fatal.

Anak-anak di bawah usia 10 tahun menjadi kelompok yang paling rentan. Karena itu, penting bagi Mama untuk mengetahui apakah si Kecil sudah bisa mendapatkan vaksin Japanese Encephalitis sebagai langkah pencegahan.

Penyebab Penyakit Japanese Encephalitis

Pixabay.com/jggrz

Japanese Encephalitis merupakan radang otak yang disebabkan oleh virus dari kelompok flavivirus, yang masih satu keluarga dengan virus demam berdarah, demam kuning, dan demam West Nile.

Virus ini ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan nyamuk Culex Tritaeniorhynchus, yang aktif di malam hari dan banyak ditemukan di area persawahan.

Kasus Japanese Encephalitis biasanya meningkat saat musim hujan karena populasi nyamuk yang melonjak. Penyakit ini juga kerap ditemukan di daerah peternakan babi.

Gejala Penyakit Japanese Encephalitis

Pinterest.com

Beberapa gejala penyakit Japanese Encephalitis biasanya akan timbul 4-15 hari setelah penderita tergigit nyamuk yang terinfeksi. Gejala yang disebabkan umumnya ringan, seperti demam, sakit kepala, serta mual dan muntah.

Meski demikian, sekitar 1 dari tiap 250 kasus, Japanese Encephalitis dapat menimbulkan gejala yang berat, seperti:

  • Demam tinggi

  • Napas cepat

  • Muntah-muntah parah

  • Leher terasa kaku

  • Kaku otot

  • Gangguan penglihatan akibat adanya pembengkakan saraf mata (papiledema)

  • Linglung

  • Kesulitan bicara

  • Kejang, terutama pada anak

  • Tremor

  • Lumpuh

  • Koma

Lantas, Kapan Bayi Boleh Diberi Vaksin Japanese Encephalitis?

Pinterest.com

Pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi masyarakat dari risiko sakit, cacat, hingga kematian akibat penyakit berbahaya yang dapat dicegah melalui imunisasi. Salah satu upaya nyata adalah dengan memasukkan vaksin Japanese Encephalitis (JE) ke dalam program imunisasi rutin di wilayah endemis.

Sesuai rekomendasi WHO dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI), sebelum vaksin JE diberikan secara rutin pada bayi usia 10 bulan, terlebih dahulu dilakukan imunisasi tambahan massal. Program ini menyasar anak-anak berusia 9 bulan hingga kurang dari 15 tahun sebagai langkah awal pencegahan dan perlindungan menyeluruh.

Saat ini, pelaksanaan vaksin JE masih difokuskan di wilayah Bali dan Kalimantan Barat sebagai daerah dengan risiko tertinggi. Namun, langkah ini menjadi awal penting yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin JE untuk anak-anak telah dimulai, dan ke depannya diharapkan cakupan wilayahnya akan diperluas ke seluruh Indonesia.

Itu tadi penjelasan soal kapan bayi boleh diberi vaksin Japanese Encephalitis. Vaksin JE sudah bisa diberikan mulai usia 9 hingga 10 bulan, sesuai jadwal imunisasi yang dianjurkan di daerah endemis, ya, Ma.

Semoga bermanfaat.

Editorial Team