Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
Psikolog Samanta Elsener dan para tenaga ahli
Dok. Beranda Jiwa

Intinya sih...

  • Pahami kondisi mental dan perkembangan kognitif remaja

  • Konten mental health tidak boleh ditelan mentah-mentah

  • Bangun koneksi emosional yang kuat karena orangtua harus berfungsi sebagai garda terdepan untuk emosi anak

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menjadi orangtua di era digital bukan hal yang mudah. Remaja sekarang tumbuh dalam dunia yang dipenuhi media sosial, video online, dan informasi instan. Orangtua dituntut untuk tidak hanya mengawasi, tapi juga mendampingi, agar anak tumbuh dengan mental dan kognitif yang sehat.

Menurut Danny Ardianto, Head of Government Affairs and Public Policy YouTube Southeast Asia, “Parenting memang penuh tantangan, tapi dengan panduan yang tepat, proses ini bisa sangat rewarding.” Nah, setuju nggak, Ma?

Pada Kamis (20/11/2025) Popmama.com berkesempatan berbincang langsung dengan para ahli dan praktisi yang membahas tips meningkatkan kesejahteraan dan ketangguhan remaja di Indonesia.

Berikut 9 cara cerdas dampingi anak di era digital, ini kata psikolog dan ahli!

1. Pahami kondisi mental dan perkembangan kognitif remaja

Dok. Beranda Jiwa

Remaja bukan hanya “lebih tua dari anak-anak”, tapi fungsi kognitif mereka seperti memori, konsentrasi, pengendalian impuls, sedang berada di tahap perkembangan yang rawan terganggu. Dr. Zulivia Oktanida Syarif, Sp. K.J menjelaskan,

“Fungsi kognitif remaja sangat rentan, ini mengapa agresivitas meningkat dan terdapat kerentanan terhadap masalah mental.”

Misalnya, ketika anak tiba-tiba marah atau impulsif, bukan berarti mereka nakal. Bisa jadi kemampuan mereka untuk mengelola emosi sedang berkembang. Orangtua perlu memahami konteks ini sebelum memberi koreksi.

Pada periode ini, otak remaja sedang tinggi-tingginya mengalami kecemasan dan depresi. Maka dari itu, ada baiknya juga untuk mengurangi konsumsi media yang yang memengaruhi impulsivitas anak.

2. Konten mental health tidak boleh ditelan mentah-mentah

Popmama.com/Sekar Gadis Biantara

Kesehatan mental remaja semakin marak dibicarakan, tapi konten yang salah atau self-diagnose bisa berbahaya. Dr. Zulivia menekankan, “Konten harus jelas targetnya untuk anak/remaja, dengan dasar ilmiah, bukan sekadar tren.”

Fenomena ini pun ditambahkan oleh Psikolog Samanta, "Sepuluh tahun terakhir kita tahu banyak sekali konten tentang mental health. Menciptakan awareness memang sangat baik, tetapi jangan sampai jadi boomerang karena tidak ditangani oleh profesional sehingga hanya menduga sendiri berdasarkan relativitas terhadap konten tersebut."

Jika anak menonton video tentang kecemasan atau depresi, ajak mereka diskusi setelahnya dan bantulah memahami gejala secara sehat, bukan langsung memberi label diri.

3. Bangun koneksi emosional yang kuat

Freepik/rawpixel.com

Tanpa koneksi emosional, semua koreksi orangtua bisa sia-sia. Samanta Elsener, M.Psi memaparkan, “Tanpa koneksi, tidak ada koreksi. Orangtua harus mau melihat peran mereka terhadap perkembangan anak.”

Menurut Psikolog Samanta Elsener, saat ini banyak orangtua yang berlindung di balik kata Self Love. Sedihnya, self love itu sendiri terkadang menjadi egoisme dalam pengasuhan.

"Orangtua harus berfungsi sebagai garda terdepan untuk emosi anak-anaknya (bukan mementingkan diri sendiri). Social skills orangtua yang tidak ignorance sangat diperlukan dalam menjangkau anak-anak," tuturnya.

Ia menambahkan, bahwa orangtua wajib mau melihat dirinya memiliki peran terhadap perkembangan anaknya saat ini. Inilah peran media yang perlu membagikan kesadaran ini secara lembuut, agar orangtua tersadar dan tergerak bahwa tidak ada kata terlambat.

4. Jadilah contoh regulasi emosi

Freepik/peoplecreations

Anak belajar dari contoh, bukan hanya kata-kata. Psikolog Samanta menekankan, “Ketika ibu bisa mengatur emosinya di depan anak, itu menjadi inner voice anaknya.”

Misalnya, saat frustrasi dengan pekerjaan rumah, tunjukkan cara bernapas, menenangkan diri, atau berkata, “Aku perlu istirahat sebentar, nanti kita lanjut lagi.” Anak akan belajar cara sehat menghadapi emosi.

5. Gunakan media digital secara bijak

Popmama.com/Sekar Gadis Biantara

Digital bukan musuh. Indriyanto Banyumurti, ICT Watch mengatakan, “Media digital bisa berbahaya atau bermanfaat, tergantung konektivitas orangtua dengan anak, bukan platformnya.”

Ajak anak menonton video edukatif bersama, diskusikan isi konten, dan bedakan mana informasi yang positif dan mana yang perlu diwaspadai. Ini mengajarkan anak literasi digital sejak dini.

Indriyanto juga menambahkan, "Media is just a tool, sama seperti pisau dapur. Bukan masalah alatnya, tetapi bagaimana penggunaannya. Maka dari itu, parenting yang membiarkan anak permisif dan dibiarkan begitu saja maka alat ini menjadi bahaya. Tapi jika memang alatnya diberikan dengan pengasuhan pengawasan dan bonding maka ini akan jadi alat yang ampuh untuk edukasi dan bermanfaat bagi tumbuh kembang anak," jelasnya.

6. Terapkan "7 Langkah Parenting Digital"

Popmama.com/Sekar Gadis Biantara

Indriyanto menyarankan langkah praktis untuk parenting digital:

1. Membangun bonding
Luangkan waktu berkualitas bersama, offline dan online.

2. Edukasi diri orangtua
Pelajari fitur digital dan tren anak.

3. Optimalkan perilaku digital
Gunakan internet untuk belajar dan eksplorasi.

4. Aturan bersama
Buat kesepakatan penggunaan gadget.

5. Pengawasan seimbang
Tidak terlalu ketat, tapi pantau.

6. Belajar bersama
Konton konten edukatif dan berdiskusi.

7. Role model digital
Tunjukkan perilaku online yang baik.

Orangtua dapat menggunakan platform ini sebagai alat belajar bersama dengan anak tentang coding, bahasa asing, atau hobi baru melalui YouTube. Ini bukan sekadar hiburan, tapi alat belajar interaktif.

7. Kenali stresor dan fenomena sosial remaja

Freepik

Psikolog Samanta Elsener mengingatkan, “Banyak hal yang mendistraksi pengasuhan orangtua, terlebih saat orangtua sibuk bekerja. Remaja di-approach (oleh hal-hal negatif) melalui media sosial, dan orangtua harus dekat agar kooperatif.”

Jika anak sering stres karena tugas sekolah atau ekspektasi teman sebaya, jangan langsung menegur. Duduk bersama, tanyakan apa yang mereka rasakan, dan bantu mereka menyusun strategi menghadapi stres.

8. Pentingnya kenal dengan lingkungan pertemanan anak

Canva

Pertemanan remaja memiliki pengaruh besar terhadap perilaku, pilihan, dan kesehatan mental mereka. Psikolog Samanta Elsener menekankan, “Fenomena adolescence sering di-approach melalui media sosial. Jika orangtua dekat dengan anak, mereka lebih kooperatif dan mudah diajak bicara.”

Mengetahui siapa teman-teman anak, apa yang mereka sukai, dan bagaimana interaksi mereka di dunia digital membantu orangtua mendeteksi potensi stresor atau pengaruh negatif lebih dini. Misalnya, anak yang terlalu banyak terpapar teman dengan perilaku agresif online bisa belajar batasan perilaku yang sehat jika orangtua hadir sebagai pengawas dan mentor.

Tips praktis:

  1. Kenali teman dekat anak – Undang mereka ke rumah atau ikut kegiatan bersama.

  2. Perhatikan pola interaksi digital – Chatting, grup media sosial, atau komunitas online anak.

  3. Diskusikan nilai dan batasan – Ajarkan anak menilai mana perilaku yang sehat dan mana yang berisiko.

  4. Libatkan anak dalam keputusan – Ajak mereka memilih teman kegiatan positif seperti olahraga atau hobi edukatif.

Dengan memahami lingkungan pertemanan anak, orangtua bisa membantu anak membuat keputusan lebih sehat, tetap aman di dunia digital, dan tetap terhubung dengan keluarga.

9. Mulai sekarang, tidak ada kata terlambat

Freepik

Koneksi dan bimbingan anak bisa dimulai kapan saja. Psikolog Samanta menekankan, “Kesadaran lembut akan peran orangtua akan membuat mereka tergerak. Tidak ada kata terlambat.”

Bahkan jika sebelumnya orangtua merasa terlalu sibuk atau tidak cukup hadir, hari ini bisa menjadi momen untuk membangun rutinitas baru seperti diskusi malam hari, menonton konten edukatif, atau sekadar menanyakan perasaan anak sebelum tidur.

Parenting digital memang menantang, tapi bukan hal yang mustahil. Dengan pemahaman perkembangan anak, koneksi emosional yang kuat, penggunaan media digital secara bijak, dan keterlibatan aktif orangtua, anak dapat tumbuh dengan mental dan kognitif sehat. Semoga 9 cara cerdas dampingi anak di era digital bermanfaat untuk Mama dan Papa!

Editorial Team