Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
anak lomba sepak bola
Freepik

Tak sedikit orangtua percaya bahwa mengikutsertakan anak dalam berbagai lomba adalah resep jitu untuk melatih mentalnya agar tangguh dan tahan banting atau resiliensi.

"Biar anak tahan banting, ikutin lomba aja!" begitu katanya. Namun, di balik niat baik itu, apakah kompetisi selalu berdampak positif bagi psikologis anak?

Faktanya, fokus berlebihan pada kompetisi justru bisa memicu kecemasan dan ketakutan akan kegagalan, Ma. Lantas, bagaimana cara tepat membangun mental tahan banting anak sesuai tahap perkembangannya?

Melansir dari berbagai sumber, berikut Popmama.com rangkumkan ulasan selengkapnya.

1. Mengikuti lomba bisa melatih anak tahan banting. Benarkah?

Freepik

Banyak yang beranggapan bahwa arena kompetisi atau lomba adalah "sekolah kehidupan" terbaik untuk mengajarkan ketangguhan.

Padahal, para ahli banyak yang menyebutkan bahwa resiliensi justru lebih efektif dibangun dari rasa aman dan dukungan, bukan tekanan untuk mengalahkan orang lain, Ma.

Jika Mama memaksa si Kecil untuk ikut lomba, padahal mereka belum siap, ini justru bisa menimbulkan perasaan tidak aman dan membuat harga dirinya bergantung semata-mata pada kemenangan.

Alih-alih menjadi tangguh, anak justru bisa takut mencoba hal baru karena trauma akan kegagalan yang didapat pada lomba sebelumnya.

Memang tujuan awal orangtua itu baik, tapi pastikan yang kita lakukan adalah membangun mental yang fleksibel dan mampu bangkit, bukan sekadar "tahan banting".

2. Prioritaskan rasa aman anak dalam membangun resiliensi

Freepik.com

Kunci dari mental tahan banting yang sebenarnya adalah fondasi rasa aman dari kita sebagai orangtua, Ma, Pa.

Anak membutuhkan kepercayaan tanpa syarat dari orangtua bahwa mereka mampu menghadapi tantangan. Ditambah dengan lingkungan kolaboratif, bukan kompetitif, juga menjadi media terbaik untuk melatih hal ini.

Nah, ketika anak belajar kerja sama dengan teman atau keluarganya, di sinilah anak belaja empati, menghargai proses, dan menemukan solusi bersama.

Dari cara ini, kemudian mereka mulai memahami bahwa kegagalan bukanlah akhir segalanya, melainkan bagian dari belajar. Anak dengan pola pikir ini akan mengukur pencapaiannya berdasarkan perkembangan dirinya sendiri, bukan orang lain.

3. Tips membangun mental tahan banting sesuai tahap perkembangan

Freepik/yanalya

Memberikan tantangan yang sesuai usia adalah kunci sukses membangun resiliensi. Jadi, nggak serta merta kita sebagai orangtua bisa menyamaratakan kemampuan anak, Ma.

Mendidik dan membesarkan anak perlu disesuaikan juga dengan tahap perkembangan sesuai kemampuan masing-masing anak.

Nah, berikut ini adalah beberapa tips yang bisa Mama coba untuk membangun mental tahan banting anak sesuai dengan usia anak, yaitu:

  • Usia 2-4 tahun: Tantangan sederhana seperti membereskan mainan atau memakai sepatu sendiri bisa dicoba untuk melatih kebiasaan anak. Yang terpenting adalah proses mencoba, bukan hasil sempurna. Jangan lupa untuk memberikan pujian atas usahanya agar anak merasa dihargai.

  • Usia 5-12 tahun: Kenalkan tanggung jawab seperti mengerjakan PR sendiri atau mengatur jadwal bermain. Bantu anak mengidentifikasi perasaannya saat menghadapi kesulitan dan ajak ia mencari solusi bersama, bukan langsung mendikte apa yang harus mereka lakukan tanpa usaha.

  • Usia remaja 13 tahun ke atas: Dukung mereka untuk mengejar minat yang lebih menantang, seperti mengikuti organisasi di sekolah. Fokuskan komunikasi bersamanya dengan strategi mengatasi kegagalan dan pembelajaran yang didapat. Jadilah orangtua yang suportif, bukan yang langsung memberikan solusi.

Membangun mental tahan banting bisa kita ibaratkan sebagai sebuah maraton, bukan lari sprint.

Jadi, membangun mental kuat anak bukanlah sekadar urusan mengikutkannya dalam lomba saja, Ma, Pa, melainkan tentang memberikan fondasi rasa aman dan dukungan yang tepat di setiap langkah perkembangannya.

Dengan demikian, kita pun sedang mempersiapkan anak untuk menghadapi segala bentuk tantangan kehidupan dengan percaya diri dan hati yang resilien.

Editorial Team