Kenali 6 Tahap Pengembangan Bermain pada Anak Balita

Tahapan permainan yang berbeda, memberikan manfaat pada perkembangan anak dengan cara yang berbeda

9 Juli 2021

Kenali 6 Tahap Pengembangan Bermain Anak Balita
Freepik/Bearfotos

Masa kanak-kanak seringkali disebut sebagai “Masa Bermain” dan dalam masa ini, Mama mungkin melihat perubahan anak dalam bermain. Ketika awalnya si Kecil nyaman bermain sendiri, terus merasa kesulitan saat bermain dengan anak lain, hingga akhirnya bisa saling bekerja sama.

Berbicara dengan perubahan cara bermain, kembali pada akhir 1920-an, sosiolog dan peneliti Mildred Parten menyusun enam tahap perkembangan bermain untuk anak-anak.

Penelitiannya telah membantu para pendidik memahami bagaimana anak belajar bermain, dan juga membantu orangtua dalam memahami tahapan dalam proses bermain anak, serta bagaimana masing-masing anak mempelajarinya secara berbeda.

Ingin tahu tentang enam tahapan dan perkembangan bermain pada anak yang dapat Mama harapkan? Baca terus informasi yang telah Popmama.com rangkum di bawah ini ya, Ma!

1. Unoccupied Play (0-3 bulan)

1. Unoccupied Play (0-3 bulan)
Freepik

Dari lahir hingga usia tiga bulan, bayi terlibat dalam apa yang disebut unoccupied play atau bermain kosong. Dalam tahapan ini, tidak perlu mainan mewah, atau bahkan mainan apa pun.

Selama waktu ini, bayi berganti-ganti waktu antara tidur, makan, dan mencari tahu bagaimana tubuh mungilnya bekerja, sehingga Mama bisa menyimpan kartu bergambar untuk saat ini.

Karakteristik utama unoccupied play meliputi:

  • Kurangnya interaksi sosial.
  • Kurangnya fokus berkelanjutan.
  • Tidak ada alur cerita yang jelas saat bermain.
  • Penggunaan bahasa tidak ada atau sangat terbatas.

Contoh unoccupied play meliputi:

  • Anak mengambil, mengocok, lalu membuang benda-benda di sekitarnya
  • Anak memukul dan cekikikan mainan bunyi-bunyian.

Bentuk-bentuk permainan ini mungkin terlihat tak mendidik pada awalnya, tetapi memiliki tujuan perkembangan yang penting. Dalam beberapa bulan pertama kehidupan, bermain kosong membantu bayi dalam menyesuaikan diri di dunia.

Ia belajar untuk menguasai anggota tubuh dan keterampilan motoriknya, serta mengembangkan persepsi kedalaman, keterampilan taktil, dan objek permanen.

2. Solitary Play (3 bulan-2,5 tahun)

2. Solitary Play (3 bulan-2,5 tahun)
Freepik/Kireyonok_Yuliya

Ketika balita beranjak pada usia ini, ia kemudian akan beralih ke solitary play atau bermain secaara soliter. Ini adalah tahapan yang melibatkan anak yang bermain sendiri dan dengan sedikit minat pada mainan di luar lingkungan terdekatnya.

Dibandingkan dengan unoccupied play, tahap bermain ini membuat si Kecil menjadi lebih fokus dan berkelanjutan. Selama tahap solitary play, balita masih memiliki sedikit minat pada orang dewasa atau anak-anak lain selama waktu bermain.

Karakteristik utama solitary play meliputi:

  • Peningkatan fokus dan perhatian berkelanjutan pada mainan.
  • Narasi permainan yang muncul, seperti penggunaan permainan simbolik (menggunakan objek untuk mewakili objek lain, seperti mendorong balok untuk mewakili mobil).
  • Tidak tertarik pada anak-anak lain selama bermain.
  • Permainan tidak terstruktur, tidak memiliki tujuan yang jelas.

Contoh solitary play meliputi:

  • Dua balita bermain dengan mainan mereka tetapi tidak pernah melihat atau menunjukkan minat satu sama lain.
  • Balita telah mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan minat pada satu mainan selama lebih dari 60 detik.
  • Balita berjalan-jalan di taman, menjelajahi lingkungannya.

Ketika si Kecil telah bertambah besar dan menguasai bentuk permainan yang lebih maju, bermain secara soliter ini terus digunakan. Bahkan di masa dewasa, terkadang orang dewasa cenderung bermain sendiri untuk refreshing, merefleksikan diri, dan mengeksplorasi ide-ide baru sendiri.

Dilansir dari Helpful Professor, Jean Piaget, seorang ahli teori pendidikan utama, percaya bahwa solitary play sangat penting bagi balita untuk belajar. Piaget menyebut anak-anak sebagai "ilmuwan tunggal", menjelajahi lingkungan mereka melalui coba-coba dan penemuan.

Editors' Pick

3. Onlooker Play (2,5 tahun-3,5 tahun)

3. Onlooker Play (2,5 tahun-3,5 tahun)
Freepik/Studiopeace

Sekitar usia dua tahun, si Kecil mungkin pindah ke tahap onlooker play atau tahap bermain perilaku penonton. Ini adalah saat balita mulai memerhatikan anak-anak lain bermain tetapi belum siap untuk bergabung.

Misalnya, jika balita mama yang berusia dua tahun pernah menatap anak lain yang sedang bermain dengan mobil-mobilan di taman, ia tidak bersikap pasif agresif atau menghakimi, hanya ingin tahu.

Karakteristik utama onlooker play meliputi:

  • Balita menunjukkan minat pada permainan anak-anak lain.
  • Menahan diri dari bermain karena takut, tidak tertarik, atau ragu-ragu.

Contoh onlooker play meliputi:

  • Balita akan mengamati anak-anak yang lebih besar bermain, tetapi tidak terlibat dalam “permainan anak-anak yang besar”
  • Balita yang usianya lebih besar ikut menonton acara olahraga.
  • Anak yang pemalu menonton orang lain bermain tanpa melibatkan dirinya karena rasa takut.

Onlooker play adalah tanda pertama balita menunjukkan minat pada perilaku bermain anak-anak lain. Ia juga akan sering duduk dalam jarak pendengara, sehingga dapat mendengar percakapan bermain anak-anak lain.

4. Parallel Play (3,5 tahun-4 tahun)

4. Parallel Play (3,5 tahun-4 tahun)
Freepik/Odua

Parallel play atau bermain paralel mengikuti tahapan bermain penonton. Ini melibatkan anak-anak bermain di dekat satu sama lain tetapi tidak bersama-sama. Mereka cenderung untuk berbagi mainan dan mengamati satu sama lain dari kejauhan. Namun, mereka tidak akan berbagi mainan atau tidak memiliki tujuan yang sama ketika bermain.

Karakteristik utama parallel play meliputi:

  • Bermain di ruangan yang sama dan dengan mainan yang sama, tetapi tidak bermain bersama.
  • Eksplorasi dan penemuan mandiri.
  • Mengamati dan meniru.
  • Memiliki tujuan dan fokus yang terpisah selama bermain.
  • Minimal komunikasi dengan anak lain.

Contoh parallel play antara lain:

  • Kakak dan adik bermain dengan set masak-masakan yang sama, tetapi bermain dengan cara yang berbeda.
  • Anak-anak balita berbagi kuas dan cat, tetapi melukis di kanvas yang berbeda.

Tahapan ini biasanya tentang membuat anak lebih nyaman dengan teman sebayanya, tetapi balita yang lebih kecil seringkali tidak mulai bermain bersama dengan baik.

Bermain paralel ini juga sering terlihat seperti dua anak kecil bermain dengan mainan yang sama sekali berbeda, sambil duduk berdekatan. Tahapan ini sangat normal dan penting! Si Kecil akan belajar untuk berbagi ruang satu sama lain dan merupakan tahap awal pengembangan keterampilan sosial.

5. Associative Play (4-4,5 tahun)

5. Associative Play (4-4,5 tahun)
Freepik/elenka_klimova

Associative play atau bermain asosiatif ini muncul ketika anak-anak mulai mengakui keberadaan satu sama lain dan bekerja berdampingan, tetapi tidak harus bersama-sama. Bermain asosiatif berbeda dari bermain paralel karena anak-anak mulai berbagi, mengakui, menyalin, dan bekerja satu sama lain.

Namun, ini juga berbeda dengan tahap berikutnya (bermain kooperatif) karena balita belum memiliki tujuan yang sama selama bermain, dengan kata lain, mereka belum bermain “bersama'” dengan cara yang kohesif.

Karakteristik utama associative play meliputi:

  • Melakukan obrolan seperti pembagian mainan
  • Muncul obrolan dan keterampilan bahasa. Mereka saling bertanya tentang permainannya.
  • Balita masih bermain secara mandiri dengan tujuan dan strategi yang berbeda.
  • Meniru dan mengamati terus terjadi, tetapi pada jarak yang lebih dekat.

Contoh associative play antara lain:

  • Balita saling bertanya tentang permainannya, apa yang dilakukan, dan bagaimana melakukannya. Tetap melakukan permainan yang berbeda.
  • Mulai menyadari ada sumber daya yang terbatas di area bermain, jadi saling bernegosiasi untuk mainan mana yang akan digunakan.

Si Kecil dan anak-anak lain mungkin terlihat seperti rekan kerja di taman bermain, bermain bersama dan puas bersama, tetapi mereka masing-masing juga mengerjakan "proyeknya" sendiri dalam kegiatan bermain

6. Cooperative Play (4,5 tahun ke atas)

6. Cooperative Play (4,5 tahun ke atas)
Freepik/Kalinovskiy

Cooperative play atau bermain kooperatif muncul segera setelah tahapan bermain asosiatif dan mewakili permainan kelompok sosial yang terikat penuh.

Selama tahap ini, Mama akan melihatsi Kecil bermain bersama dan berbagi permainan yang sama dengan anak-anak lain. Mereka akan memiliki tujuan yang sama, saling menugaskan peran dalam permainan, dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan permainan yang telah ditetapkan.

Tahap ini merupakan pencapaian sosialisasi, tetapi keterampilan sosial masih akan berkembang. Balita mama mungkin memerlukan dukungan, latihan yang terbimbing, dan alat untuk membantunya mengembangkan keterampilan sosial yang positif seperti berbagi, berkompromi, dan bergiliran.

Karakteristik utama cooperative play meliputi:

  • Anak bekerja sama dalam permainan bersama, atau berbagi tujuan yang sama selama bermain.
  • Anak memiliki peran tim selama bermain.
  • Mungkin ada unsur kompromi dan pengorbanan untuk kebaikan bersama dalam permainan.

Contoh cooperative play antara lain:

  • Permainan imajinatif, di mana anak-anak saling mengambil peran karakter film favorit untuk memerankan sebuah adegan atau membuat adegan baru.
  • Permainan papan dimana anak-anak harus bergiliran agar permainan dapat berjalan sesuai dengan aturan bersama.
  • Olahraga yang terorganisir.

Bermain kooperatif didukung oleh teori pembelajaran konstruktivis sosial. Ahli teori kunci dari pendekatan ini termasuk Barbara Rogoff dan Lev Vygotsky. Ide utama dalam teori ini adalah interaksi sosial membantu anak untuk maju dalam pemikirannya.

Ketika anak mendiskusikan berbagai hal dalam kelompok, ia dapat melihat ide dari perspektif yang berbeda,  dan idenya sendiri yang ditantang atau disempurnakan.

Nah itulah enam tahap bermain pada anak-anak sejak usia dini, yang dapat dikuasai secara linier (satu demi satu), atau menguasai satu jenis tahapan.

Dengan kata lain, meskipun balita telah menguasai bermain kooperatif, Mama mungkin masih mengamatinya terlibat dalam bermain paralel.

Meskipun tahapan bermain ini dapat bermanfaat bagi pendidik dan orangtua, ingatlah bahwa anak yang berbeda memiliki preferensi bermain yang berbeda. Dengan kata lain, gunakan tahapan ini sebagai bentuk pembelajaran anak, bukan untuk melihat apakah anak “normal”atau tidak.

Baca juga:

The Latest