Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
ilustrasi kehamilan (pexels.com/Kei Scampa)
ilustrasi kehamilan (pexels.com/Kei Scampa)

Intinya sih...

  • Couvade syndrome adalah kondisi di mana laki-laki mengalami gejala fisik atau emosional menyerupai kehamilan saat pasangannya hamil.

  • Penyebab couvade syndrome berkaitan dengan respons emosional Papa terhadap proses menjadi orang tua dan peningkatan stres yang dapat memicu munculnya gejala fisik.

  • Gejala couvade syndrome umumnya muncul pada trimester pertama kehamilan, mereda seiring waktu, dan bisa kembali menjelang trimester ketiga. Gejalanya meliputi perubahan fisik dan emosional seperti nyeri perut, mual, kenaikan berat badan, dan sulit tidur.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah merasakan ketika Mama sedang hamil, namun beberapa Papa juga ikut merasakan tanda kehamilan meskipun secara fisik nggak hamil? Nah, ternyata ada salah satu fenomena unik yang disebut Couvade Syndrome, lho!

Kondisi ini nggak berkaitan dengan faktor medis tertentu, melainkan lebih dipengaruhi oleh aspek psikologis dan emosional.

Papa yang mengalami Couvade Syndrome umumnya memiliki kedekatan emosional yang tinggi dengan pasangannya, sehingga tubuhnya secara nggak sadar ikut merespons perubahan yang terjadi selama masa kehamilan.

Popmama.com sudah merangkum mengenai apa itu couvade syndrome dan gejala apa saja yang mungkin muncul pada laki-laki saat mengalami sindrom ini. Yuk, simak bersama!

1. Apa itu couvade syndrome?

ilustrasi kehamilan (pexels.com/Jonathan Borba)

Dilansir dari Healthline, couvade syndrome merupakan sebuah kondisi di mana saat Mama sedang hamil, Papa juga ikut mengalami gejala fisik ataupun emosional yang menyerupai kehamilan.

Meskipun nggak diakui sebagai gangguan tersendiri dalam klasifikasi medis utama, fenomena ini telah tercatat di berbagai penelitian sebagai “pregnancy-like symptoms in expectant fathers”.

Dikutip dari Cleveland Clinic, couvade syndrome umumnya dialami oleh Papa yang secara aktif mendampingi kehamilan dari awal hingga menjelang kelahiran. Papa yang berada di tengah-tengah proses kehamilan setiap hari dan ikut membantu, mempersiapkan, serta merasakan perubahan Mama cenderung mengalami kondisi ini.

Uniknya fenomena ini belum terbukti terjadi pada anggota keluarga lain atau orang terdekat, karena biasanya hanya Papa yang paling terlibat secara emosional dan psikologis yang dapat merasakan dampaknya.

Hal ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan emosional antara pasangan selama masa kehamilan, hingga membuat tubuh secara nggak sadar ikut merespons perubahan tersebut.

Mengalami couvade syndrome bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan, selama gejala yang muncul masih dalam batas wajar. Sebaliknya, kondisi ini bisa menjadi tanda adanya empati dan kedekatan emosional yang kuat antara calon Papa dan Mama yang sedang hamil.

Namun, jika gejalanya terasa berat atau menimbulkan stres, penting untuk mencari bantuan profesional agar dapat memahami dan mengelolanya dengan lebih baik.

2. Penyebab couvade syndrome

ilustrasi kehamilan (unsplash.com/@johnlooy)

Dilansir dari Healthline, couvade syndrome berkaitan erat dengan respons emosional Papa terhadap proses menjadi orangtua.

Saat calon Papa ikut terlibat aktif dalam kehamilan, persalinan, hingga perawatan setelah bayi lahir, rasa empati yang muncul bisa sangat kuat. Tanpa disadari, Papa bisa ikut merasakan sebagian gejala fisik dan emosional yang dialami oleh Mama saat sedang hamil.

Kehamilan memang membawa kebahagiaan, tetapi juga bisa menimbulkan rasa cemas dan stres bagi kedua pasangan, lho.

Menurut Dr. Caponero yang dilansir dari Cleveland Clinic, peningkatan stres dapat menyebabkan naiknya kadar hormon kortisol, yang membuat tubuh lebih mudah merasa lelah atau sakit. Selain itu, stres juga bisa menurunkan hormon testosteron, yang memengaruhi suasana hati, fokus, dan energi sehari-hari.

Menariknya, pasangan yang sebelumnya menjalani program kesuburan atau perawatan infertilitas juga disebut memiliki risiko lebih tinggi mengalami kondisi ini.

Dalam kasus seperti ini, tingkat stres dan empati yang meningkat dapat memicu munculnya gejala fisik, seperti mual, nyeri, atau gangguan tidur.

Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya keterikatan emosional dan mental antara calon orang tua selama proses kehamilan.

3. Berapa lama couvade syndrome terjadi?

ilustrasi kehamilan (pexels.com/Amina Filkins)

Dilansir dari Cleveland Clinic, Gejala couvade syndrome umumnya nggak berlangsung lama.

Biasanya, kondisi ini muncul pada trimester pertama kehamilan, kemudian mulai mereda seiring waktu. Namun, gejala bisa muncul kembali menjelang trimester ketiga atau tiga bulan terakhir kehamilan.

Pola ini mirip dengan gejala kehamilan yang dialami oleh ibu hamil, karena sebagian Papa merasa lebih baik di trimester kedua, sama seperti kebanyakan ibu hamil.

Perubahan fisik dan emosional yang dirasakan Papa ini biasanya bersifat sementara.

Dengan dukungan yang baik dari Mama dan pemahaman terhadap kondisi tersebut, gejala akan hilang dengan sendirinya tanpa perlu perawatan khusus.

4. Gejala couvade syndrome yang umum dialami

ilustrasi kehamilan (pexels.com/Amina Filkins)

Dilansir dari Healthline, Setiap Papa bisa merasakan gejala couvade syndrome dengan cara yang berbeda-beda. Umumnya, gejala ini muncul sebagai campuran antara perubahan fisik dan emosional yang menyerupai gejala kehamilan. Kondisi ini juga bisa dipicu oleh peningkatan stres, kelelahan, serta tekanan psikologis saat mendampingi Mama yang sedang hamil.

Beberapa gejala yang paling sering terjadi meliputi:

  • Nyeri perut atau rasa tidak nyaman di bagian bawah perut

  • Perubahan nafsu makan

  • Mual dan muntah

  • Kenaikan berat badan

  • Sering merasa lelah atau sulit tidur

  • Nyeri punggung dan kram kaki

  • Kembung atau gangguan pencernaan seperti sembelit dan diare

  • Sakit gigi

  • Kecemasan, stres, hingga perasaan sedih atau depresi ringan

  • Sulit berkonsentrasi (brain fog)

Meski terdengar unik, couvade syndrome menjadi bukti bahwa kehamilan bukan hanya perjalanan bagi calon Mama, tetapi juga bagi calon Papa yang turut merasakan perubahan emosional dan fisik.

Dengan saling memahami dan memberi dukungan, proses menanti kehadiran buah hati pun bisa terasa lebih hangat dan penuh makna, lho.

Editorial Team