TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Pentingnya Peran Orangtua untuk Jaga Privasi Anak di Dunia Maya

Yuk Ma, orangtua perlu ikut mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender online

Freepik/peoplecreations

Nama Kalis Mardiasih yang merupakan seorang penulis opini dan aktivis muda Nahdatul’ Ulama mungkin sudah tak asing lagi di telinga Mama. Banyak karya tulisnya sebagai pemerhati isu gender yang menjadi viral dan menuai banyak pujian.

Salah satunya tentang Kekerasan Berbasis Gender Online: Anak Perempuanmu, Adikmu atau Kamu Bisa Jadi Korban. Karya tulisnya yang disebarkan di akun media sosialnya tersebut, membahas tentang bagaimana anak perempuan yang menjadi korban penyebaran video pornografi di dunia maya.

Selain itu, Kalis juga membahas tentang bagaimana tubuh perempuan yang diperdebatkan dari nilai-nilai ekonomi, politik, moral, serta normal sosialnya.

Dalam hal ini, peran orangtua sangatlah penting untuk mengedukasi serta menjaga privasi anak agar tidak terjerumus dalam pornografi di dunia maya.

Untuk mengetahui informasi tentang apa yang dibahas Kalis Mardiasih serta apa saja yang perlu orangtua lakukan, berikut Popmama.com berikan informasi privasi anak di dunia maya selengkapnya:

1. Para perempuan yang digambarkan cantik dan seksi yang "dijual" di media sosial

Pexels.com/Tracy Le Blanc

Dalam akun facebook nya, Kalis Mardiasih mengatakan bahwa di media sosial terdapat akun-akun penjual “komik strip” dengan konten intim, yang tokohnya adalah para perempuan yang digambarkan seksi dan dilecehkan secara seksual. Komik ini dijual hanya Rp.15.000 saja.

“Siapa pembelinya? Dari komentar-komentar yang ada, barangkali anak-anak seusia SD dan SMP. 15 ribu itu sangat murah. Cukup transer lewat gopay/ovo, lalu anak-anak remaja akan mendapatkan link khusus unyuk mendownload konten” tulis Kalis di facebooknya.

Selain itu, ia juga membahas tentang banyaknya konten intim yang beredar di twitter dan dijual secara terbuka, seperti konten rekaman vcs (videocall sex) yang dijual seharga Rp.50.000-Rp.100.000,-. Tak jarang, akun-akun tersebut menggunakan foto profil curian.

2. Konten intim ilegal menargetkan remaja perempuan yang belum memahami digital dengan baik

Freepik/dashu83

Menurut Kalis, kebanyakan konten intim non-konsensual tersebut adalah illegal content. Karena, “pengepul konten” menargetkan banyak remaja perempuan yang belum memahami digital dengan baik, serta memiliki ekonomi rendah sehingga membutuhkan uang.

Pelaku kemudian memaksa korban remaja perepuan untuk merekam video nudes mereka dengan durasi kurang lebih 10 menit, yang akan dibeli seharga Rp.100.000an. Karena termakan bujuk rayu, banyak korban remaja yang tidak penyadari konsekuensinya.

Tak hanya itu, banyaknya remaja perempuan yang hidup di perkampungan yang belum memahami literasi digital dengan baik. Sehingga menjadi korban manipulasi atau korban kekerasan seksual oleh pacarnya, yang bisa menjadi korban perekaman konten intim ilegal.

3. Pengguna internet yang kebanyakan menyalahkan perempuan di dalam video konten intim

Freepik/Ipopba

Selain itu, Kalis juga membahas tentang melawan istilah “Revenge Porn” yaitu penyebaran konten intim yang dilakukan pasangan karena motif balas dendam. Di sini Kalis mencoba agar pengguna internet untuk tidak selalu menyalahkan perempuan yang merupakan korban penyebaran video.

Ia pun menyayangkan adanya komentar seperti, “Salah siapa lagi gituan direkam.” Dan “Itu balasan untuk perempuan yang nakal. Tuhan membuka aibnya.”

“Pikiran tersebut datang dari doktrinasi bahwa perempuan adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk menjadi penjaga moral. Wajar, perempuan selalu lekat dengan peran sebagai ibu yang punya peran “nurture” ke anak-anaknya. Jika moral ibu rusak, gimana nasib bangsa ini? Begitulah kira-kira,” menurut Kalis.

Ia juga menambahkan bahwa tubuh perempuan selalu menjadi medan kontestasi nilai-nilai ekonomi, politik, dan moral, sehingga di satu waktu wajib selalu tampil dalam kepatuhan norma sosial. Namun di sisi lain perempuan juga harus mengikuti iklan produk dengan standar kecantikan masyarakat.

Dari berbagai asumsi pengguna internet, Kalis mengatakan bahwa korban persebaran konten intim ilegal tetap merupakan korban kekerasan digital. Menghakimi moralnya adalah pekerjaan lain.

4. Cara mengurangi korban dan mencegah remaja menjadi korban atau pelaku kekerasan digital

Freepik

Dalam mengurangi korban kekerasan digital dan mencegah anak remaja Mama menjadi korban atau pelaku kekerasan digital, terdapat beberapa cara yang bisa Mama lakukan:

Memberikan pendidikan pada anak sejak dini

Perlu waktu yang lama untuk mengajari anak perempuan bisa melawan, menolak, percaya pada keputusannya sendiri, dan mengambil langkah taktis jika menjadi korban.

Proses memberikan pengetahuan pada anak perempuan ini tidak bisa hanya sehari saja. Proses ini dilakukan sejak kecil yang menyatu dalam pengasuhan keluarga yang setara.

Report akun-akun yang menyebarkan konten ilegal

Jika Mama melihat konten intim tersebuar di internet, Mama bisa langsung report akun-akun tersebut. Jika di twitter, Mama tidak perlu quote tweet atau menyebarkan linknya, karena sama saja berperan dalam penyebaran konten ilegal.

Mama mungkin tetap menghakimi moral orang di konten tersebut, namun hindari untuk menjadi pelaku kekerasan digital yang akan berdampak panjang pada hidup korban.

“Ini logika sederhana, mirip peristiwa bullying, kamu bisa memiliki untuk tak ikutan jadi pelaku bullying,” ujar Kalis.

Dari karya tulis Kalis Mardiasih tersebut, mengingatkan setiap orangtua untuk membantu jaga privasi agar mencegah Kekerasan Berbasis Gender Online.

Tujuannya agar meringankan beban dari korban penyebaran, serta mengedukasi anak agar mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh disebarkan di media sosial.

Berikut tadi informasi mengenai privasi anak di dunia maya, semoga berguna Ma!

Baca juga:

The Latest