Cara orangtua merespons fase perkembangan remaja turut memengaruhi seberapa dekat atau jauhnya hubungan yang terjalin.
Misalnya, bentuk intimidasi dari orangtua seperti, “Aku menurut karena takut dimarahi” memang bisa membuat anak patuh, tetapi hanya karena dilandasi rasa takut. Di sisi lain, manipulasi emosional seperti misalnya, “Aku merasa bersalah karena membuat orangtuaku sedih” dapat membuat anak merasa bersalah atas emosi yang tidak ada dalam kontrolnya. Kedua pendekatan ini sebaiknya dihindari karena bisa merusak rasa aman dan kepercayaan dalam hubungan antara orangtua dan anak.
Remaja yang merasa terlalu dikontrol atau justru diabaikan cenderung menjaga jarak lebih jauh, baik sebagai bentuk perlindungan diri maupun protes terhadap sikap orangtua.
Namun sebenarnya, konflik-konflik yang muncul selama masa ini bisa menjadi kesempatan untuk menegosiasikan kembali peran dan batasan antara orangtua dan anak.
Pertengkaran atau ketegangan yang muncul dapat menjadi jalan untuk mengatur ulang hubungan agar lebih setara, ketika otonomi remaja dihargai dan keputusan diambil lebih banyak melalui dialog.
Ketika orangtua bersedia mengurangi kontrol berlebih dan bersikap lebih terbuka terhadap kebutuhan anak untuk mandiri, konflik biasanya akan berkurang. Hubungan pun bisa kembali hangat, bahkan lebih sehat dibanding sebelumnya.
Dengan kata lain, konflik yang terjadi selama masa remaja bukanlah tanda hubungan rusak, melainkan bagian penting dalam proses penyesuaian dan pertumbuhan hubungan yang lebih dewasa antara orangtua dan anak.
Ternyata ada banyak faktor ya, Ma, di balik alasan mengapa anak remaja menjauh dari orangtua saat masa adolesens. Tapi tidak apa-apa, Ma, ketahuilah bahwa anak remaja, sama seperti kita, kadang membutuhkan ruang mereka sendiri untuk menerima perubahan. Asalkan tetap selalu dipantau, ya!