Puisi Sapardi Djoko Damono selanjutnya mengangkat tema universal tentang pergulatan dengan waktu, kesendirian, dan bayang-bayang kenangan. Berikut di antaranya:
17. Kita Saksikan
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
18. Sementara Kita Saling Berbisik
Sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal pada debu,
cinta yang tinggal berupa bunga kertas dan lintasan angka-angka
ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki,
menyekap sisa-sisa unggun api sebelum fajar
Ada yang masih bersikeras abadi.
19. Menjenguk Wajah di Kolam
Jangan kau ulang lagi menjenguk wajah yang merasa sia-sia,
yang putih yang pasi itu
Jangan sekali-kali membayangkan
Wajahmu bagai rembulan
20. Tentang Matahari
Matahari yang ada di atas kepalamu itu
Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!”
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu itu.
Itu dia 20 puisi Sapardi Djoko Damono terpopuler yang telah menyentuh hati banyak orang. Setiap baitnya bukan sekadar rangkaian kata indah, tapi juga cermin dari pergulatan batin, ketulusan cinta, dan permenungan mendalam tentang kehidupan.
Karya-karya beliau akan terus abadi, menemani pembaca dari generasi ke generasi, membuktikan bahwa yang fana adalah waktu, tapi puisi dan makna di dalamnya adalah keabadian itu sendiri.