10 Puisi R.A. Kartini untuk Anak SD
-2o90yCJPFnJVwvSeDY7GJG3C6H27oxSs.png)
Mama, Hari Kartini bukan hanya perihal merayakan hari lahir Kartini dan perjuangan apa yang telah dilakukannya untuk memajukan pendidikan perempuan.
Hari Kartini ada, juga agar kita bisa merenungkan ulang kesadaran akan emansipasi diri kita sendiri. Kebebasan apa yang saat ini belum bisa kita capai.
Berikut adalah 10 puisi R.A. Kartini untuk anak SD yang Popmama.com kumpulkan dari berbagai sumber. Puisi-puisi ini berhubungan dengan perjuangan dan tantangan kehidupan perempuan:
1. Perempuan (Siti Nuraini)
Perempuan lena mematah-matahkan
seranting kering, bersandar di jendela tinggi
empat persegi, rahasia kejauhan
di luar memanggil, di hatinya hingga rasa ganjil
Jiwanya mesra, danau terbuka
alam kedua bagi kehidupan di pinggir
Kasih dan dambanya
beriak di dasar, tiada sekali diberinya gilir.
Rumahnya pudar didekap sunyi
burung-burung dihalaunya masuk malam
Ia sendiri menggigil, lalu berdiri
di ambang ia gugup sekali, ketika ke dalam
disentaknya pintu dan wajahnya terkatup.
September, 1949
Sumber: Mimbar Indonesia, No. 46, Th. III, 12 November 1949 lewat Tonggk 2 (Gramedia, 1987)
2. Sajak Kartini
Betapa si anak manusia,
Betapa asing mula tadinya,
Cuma sekilas, hati ikrar setia,
Tinggal menetap, tunggal dan esa.
Betapa hati di dada,
Tersayat dengan suara,
Betapa asing mula tadinya,
Lama, lama gaungi diri laksana doa.
Betapa ini jiwa,
Dalam sorak-sorai melanglang,
Jantung pun gelegak berdenyar,
Bila itu mata sepasang,
Ramah pandang menatap,
Jabat tangan hangat diulurkan!
Tahu kau, samudra biru,
Menderai dari pantai-ke pantai?
Di mana, bisikan padaku,
Di mana, mujizat bersemai?
Bayu tangkas, katakan padaku,
Pendatang dari daerah-daerah tanpa nama,
Siapa gerangan dia, pendatang tanpa dipinta,
Mengikat hati abadi begini?
Oi, bisikan padaku, surya bercaya kencana
Sumber sinar, sumber panas kuasa,
Apa gerangan mukjizat agung,
Nikmatkan hati bahagia begini,
Lembutkan, lunakkan derita,
Yang selalu datang dengan manjanya?
Sepancar surya, habis tembusi dedaunan,
Jatuh di laut pasang mengimbak-imbak,
Terang sekarang, gemilang dunia,
Dalam paduan caya kencana surya.
Permainan caya dan warna,
Pameran ditentang mata mesra, dan hati kecil yang terpesona,
Hembuskan doa-syukur tulus-rela.
Mukjizat ternyata tiga!
Di hamparan mutiara cair gemerlapan,
Dipahatkan aksara padanya oleh surya:
Cinta, Persahabatan, Simpati.
Cinta, Persahabatan, Simpati,
Berdesau ombak datang bisikan kembali,
Berdendang baju dan pohon,
Pada si anak manusia menganga bertanya.
Manis membelai terdengar,
Nyanyi gaib ombak dan bayu,
"Seluruh, seluruh dunia,
Jiwa setia bakal bersua!"
Tiada tenaga kuasa lerai,
Apapun, pangkat, martabat,
Tiada peduli segala,
Tangan pun berjabatan!
Dan bila jiwa telah seia,
Retak tidak, tali abadi,
Mengikat erat, setia arungi segala,
Rasa, Jarak, dan Masa.
Tunggal dalam suka, satu dalam duka,
Seluruh hidup gagap ditempuh!
Oi, berbahagia dia si penemu jiwa seia,
Yang mahakuasa dia suntingkan
3. Dalam Mata Ibu (Komang Ira Puspitaningsih)
Ada langit dalam mata ibu
Menjadi hujan membuat semut-semut berlarian
Dari sarang menuju tembok-tembok yang berlubang
Ada kelabu dalam mata ibu
Meyinggung kenangan anjing-anjing,
Kupu-kupu, atau setumpuk boneka
di kamar tidurku
Senja ini langit kelabu
Tercekam dalam mata ibu
Senja ini langit kelabu
Mencekam dalam mata ibu
4. Perempuan Muda di Jendela (Rieke Saraswati)
sisa-sisa hujan menggelincir di kaca jendela
bau stroberi dari kotak makanku melumer
bersama ketakutan dari layar ponsel
anak kecil di belakang kursiku terus berteriak
tanganku dingin dadaku berdebar
meminta teh hangat dan selimut
ini bukan lelucon
tak ada waktu untuk lelucon
cairan kuing keluar dari gendang telingaku
mengeluarkan suara hore yang bertumpuk-tumpuk
kadang aku ingin mati
kadang aku ingin hidup
5. Prosa Pengantin (Rieke Saraswati)
para pengiring pengantin berdiri berjejer
di tangan mereka, buket-buket mawar putih
seseorang tertawa di atas balkon gereja
oh, peri-peri khayangan yang tersesat
begitu katanya
di mana si cantik?
para om dan tante bertanya
aku, yang kalian cari,
tidak mampu pergi ke mana-mana
kecuali ke kamar rias
impian-impian masa kecilku
terselip di bawah pintu kamar
rupanya mereka masih bertahan
menolak terbakar oleh tangan mama papa
sementara bayiku menendang keras perut
suatu hari ia akan merasakan sakit
sakit dan mati tapi tetap kulahirkan
semua perempuan diharapkan membawa kematian
dan orang-orang menganggapnya anugerah
di dalam telingaku
lonceng gereja terus-menerus berdentang
6. Wanita (Toeti Heraty)
Untuk Ajeng
hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi
berjalan lambat karena kainnya kain berwiru
meninggalkan rumah depan menuju jalan
terlentang antara pohon palma berderetan
jari hari-hati memegang wiru kataku
sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi
kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi
belum lagi angin melambaikan selendang warna-warni
menengok ke kiri ke kanan mereka berhenti gelisah
karena kain berwiru dan bertumit tinggi, rambut
terbelai angin dan panas matahari, — becak lalu —
mereka segera musyawarah suaranya tinggi
nada-nada tinggi tawar-menawar rupanya dimulai
entah mengapa kusak-kusuk terhenti, ternyata —
bung becak mengayunkan kakinya lagi dan mereka
asyik dan riang akhirnya tidak tampak olehku lagi
meninggalkan halaman depan agaknya mencari
rindang
deretan pohon sepanjang jalan, asyik dan riang
gerak, warna, irama rapi membawa kesungguhan
arisan pada minggu pagi ini —
wanita ...
berapalah kemesraan sepanjang umur
tiada berlimpah tiada mencukupi
karena kau dengan tak acuh, tidak peduli
membawa pilu yang tak tersembuhkan dan
tak kau sadari, tak kau sadari
7. perempuan dan gelisah (Theoresia Rumthe)
perempuan dan gelisah,
bagai belahan bumi dua musim
kalau kau bertanya tentang rindu
ia akan menjawab dengan
menggugurkan daun-daun jati
perempuan dan gelisah,
layaknya lautan biru
kalau kau berdiri di pantai
dan bertanya tentang rindu
maka ia akan memberimu satu ombak
untuk menghapus jejak kaki
dan menyiapkan seribu lainnya
supaya engkau terus kembali
perempuan dan gelisah,
selalu seperti nusa ina
kalau kau bertanya tentang jalan
menuju puncak gunung binaiya
jawabnya ada di selimut kabut
yang menutupi lembah-lembahnya
supaya engkau berpaling pergi, atau
terus datang dan tak dapat pergi lagi
[WJ // Saumlaki, 30 Juli: 15.30]
8. Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem (Joko Pinurbo)
untuk Linus Suryadi AG
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam mulai merambat ke leher,
encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang.
Dan angin pantai Jepara yang kering
berjingkat pelan di alis yang tenang;
di pelupuknya anak-anak kesunyian
ingin lelap berbaring, ingin teduh dan tenteram.
"Terimalah salam damaiku
lewat angin laut yang kencang, dinda.
Resah tengah kucoba.
Sepi kuasah dengan pena.
Kaudengarkah suara gamelan
tak putus-putusnya dilantunkan
di pendapa agung yang dijaga
tiang-tiang perkasa
hanya untuk mengalunkan
tembang-tembang lara?
Kaudengarkah juga
derap kereta di jauhan
datang melaju ke arah jantungku."
Kereta api hitam berderap membelah malam,
melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu.
Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,
di belakangnya perempuan-perempuan pemberani
berduyun-duyun mengusung matahari.
"Perahu-perahu kembara, dinda,
telah kulepas dari pantai Jepara.
Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku
ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara.
Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,
ke Nederland sana.
Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon
dan Stella: ingin rasanya aku
menembus gerbang cakrawala."
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Tangan masih menyurat di atas kertas.
Hati melemas pada berkas-berkas cemas.
Angin merambat lewat kain dan kebaya.
Dingin merayap hingga sanggulnya.
Dan anak-anak kesunyian bergelayutan
pada bulu matanya yang sayup,
yang mengungkai cahaya redup.
"Sering kubayangkan, dinda,
perempuan-perempuan perkasa
berbondong-bondong menyunggi matahari,
menggendong bukit-bukit tandus
di gugusan pegunungan seribu
menuju hingar-bingar pasar palawija
di keheningan langit Jogja.
Kubayangkan pula
ladang-ladang karang
dirambah, disiangi
kaki-kaki telanjang
dengan darah sepanjang zaman."
Kereta api hitam berderap membelah malam,
membangunkan si lelap dari tidur panjang.
Jari masih menulis bersama gerimis,
bersama angin dan kenangan.
Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan
ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh
tak terjangkau.
"Badai, dinda,
badai menyerbu ke atas ranjang.
Kaudengarkah kini biduk mimpiku
sebentar lagi karam
di laut Rembang?"
Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam membara, encok meruyak pula.
Dan sepasang alap-alap melesat
dari ujung pena yang luka.
(1997)
9. Apakah Kartini (Sosiawan Leak)
kartini, apakah kau akan tersenyum
tahu astronot wanita kita gagal mengangkasa lantaran keburu tua
sementara amerika menunda peluncuran pesawatnya
dan kita belum mampu meracik roket sendiri
kartini, apakah kau akan tertawa
lantaran sekarang wanita dapat menjadi birokrat
atau wakil rakyat di parlemen
bahkan presiden
kartini, apakah kau akan menangis
lantaran kini untuk yang pertama kali
presiden wanita kita sudah turun tahta
dan entah nanti apakah terpilih lagi atau frustasi
kartini, apakah kau akan menderita
tatkala di koran kau baca
ada ibu rumah tangga rela menjadi pengedar ganja dan narkoba
untuk membantu suaminya menghadapi keruwetan ekonomi
atau seorang ibu yang membunuh suami
lantaran selingkuh dengan teman sendiri
kartini, apakah kau akan susah
ketika kau jumpa para remaja
kehormatannya diobral murah
di tanah sendiri atau di negeri tetangga
kartini, kalau kau lahir di jaman ini
mungkin bingung mencari arti emansipasi
seperti kami linglung mengingat nama dan arti kartini
untung kau lahir 127 tahun lalu
sehingga tak mengalami,
betapa susahnya menjadi wanita berkelamin ganda;
ibu rumah tangga sekaligus pekerja!
pelangi, mojosongo-solo, 25 april 2004
10. Layar Lebar (Cyntha Hariadi)
Lihat sendok ini Sayang
berenang seperti kecubung ke arahmu
Lihat kuali ini
melindungimu dari serangan senjata musuh
Lihat kolong meja ini
persembunyian kita dari binatang buas
Lihat karpet ini
menerbangkan kita ke negeri berlapis emas
Lihat sapu lidi ini
memberikan kau kekuatan sihir
Lihat sarung guling ini
menggulungmu menjadi kupu-kupu
Lihat bak mandi ini
ke arah mana layar kau bentang?
Lihat tangga ini
mari mendaki pelangi
Lihat remah-remah roti ini
memandu jalan kita pulang
Lihat kunci ini
membuka pintu sebuah puri di atas awan
Lihat lemari ini
menjelma menjadi negeri salju abadi
Lihat jendela ini
seorang anak manusia dan peri mengintaimu
Lihatlah tembok ini
dengarlah ia bicara:
runtuhkan aku dengan krayon-krayonmu
mainkan layar lebar yang menayangkan mimpi-mimpi
kau dan ibumu.
Sumber: Ibu Mendulang Anak Berlari (Gramedia, 2016)
Itulah kumpulan 10 puisi R.A. Kartini, dikumpulkan oleh Popmama.com dari berbagai sumber. Indah sekali, bukan? Kata-katanya mampu menyentuh hati dan mengajak kita merenungi makna sejati dari emansipasi. Jika Mama menyukainya, jangan lupa untuk mencatatnya dan kembali lagi ke sini, ya!