Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

10 Puisi R.A. Kartini untuk Anak SD

Digitalcollections.universiteitleiden.nl

Mama, Hari Kartini bukan hanya perihal merayakan hari lahir Kartini dan perjuangan apa yang telah dilakukannya untuk memajukan pendidikan perempuan.

Hari Kartini ada, juga agar kita bisa merenungkan ulang kesadaran akan emansipasi diri kita sendiri. Kebebasan apa yang saat ini belum bisa kita capai. 

Berikut adalah 10 puisi R.A. Kartini untuk anak SD yang Popmama.com kumpulkan dari berbagai sumber. Puisi-puisi ini berhubungan dengan perjuangan dan tantangan kehidupan perempuan:

1. Perempuan (Siti Nuraini)

Perempuan lena mematah-matahkan
seranting kering, bersandar di jendela tinggi
empat persegi, rahasia kejauhan
di luar memanggil, di hatinya hingga rasa ganjil

Jiwanya mesra, danau terbuka
alam kedua bagi kehidupan di pinggir
Kasih dan dambanya
beriak di dasar, tiada sekali diberinya gilir.

Rumahnya pudar didekap sunyi
burung-burung dihalaunya masuk malam
Ia sendiri menggigil, lalu berdiri
di ambang ia gugup sekali, ketika ke dalam
disentaknya pintu dan wajahnya terkatup.

September, 1949

Sumber: Mimbar Indonesia, No. 46, Th. III, 12 November 1949 lewat Tonggk 2 (Gramedia, 1987)

2. Sajak Kartini

Betapa si anak manusia,

Betapa asing mula tadinya,

Cuma sekilas, hati ikrar setia,

Tinggal menetap, tunggal dan esa.

 

Betapa hati di dada,

Tersayat dengan suara,

Betapa asing mula tadinya,

Lama, lama gaungi diri laksana doa.

 

Betapa ini jiwa,

Dalam sorak-sorai melanglang,

Jantung pun gelegak berdenyar,

Bila itu mata sepasang,

Ramah pandang menatap,

Jabat tangan hangat diulurkan!

 

Tahu kau, samudra biru,

Menderai dari pantai-ke pantai?

Di mana, bisikan padaku,

Di mana, mujizat bersemai?

 

Bayu tangkas, katakan padaku,

Pendatang dari daerah-daerah tanpa nama,

Siapa gerangan dia, pendatang tanpa dipinta,

Mengikat hati abadi begini?

 

Oi, bisikan padaku, surya bercaya kencana

Sumber sinar, sumber panas kuasa,

Apa gerangan mukjizat agung,

Nikmatkan hati bahagia begini,

Lembutkan, lunakkan derita,

Yang selalu datang dengan manjanya?

 

Sepancar surya, habis tembusi dedaunan,

Jatuh di laut pasang mengimbak-imbak,

Terang sekarang, gemilang dunia,

Dalam paduan caya kencana surya.

 

Permainan caya dan warna,

Pameran ditentang mata mesra, dan hati kecil yang terpesona,

Hembuskan doa-syukur tulus-rela.

 

Mukjizat ternyata tiga!

Di hamparan mutiara cair gemerlapan,

Dipahatkan aksara padanya oleh surya:

Cinta, Persahabatan, Simpati.

 

Cinta, Persahabatan, Simpati,

Berdesau ombak datang bisikan kembali,

Berdendang baju dan pohon,

Pada si anak manusia menganga bertanya.

 

Manis membelai terdengar,

Nyanyi gaib ombak dan bayu,

"Seluruh, seluruh dunia,

Jiwa setia bakal bersua!"

 

Tiada tenaga kuasa lerai,

Apapun, pangkat, martabat,

Tiada peduli segala,

Tangan pun berjabatan!

 

Dan bila jiwa telah seia,

Retak tidak, tali abadi,

Mengikat erat, setia arungi segala,

Rasa, Jarak, dan Masa.

 

Tunggal dalam suka, satu dalam duka,

Seluruh hidup gagap ditempuh!

Oi, berbahagia dia si penemu jiwa seia,

Yang mahakuasa dia suntingkan

3. Dalam Mata Ibu (Komang Ira Puspitaningsih)

Ada langit dalam mata ibu

Menjadi hujan membuat semut-semut berlarian

Dari sarang menuju tembok-tembok yang berlubang

 

Ada kelabu dalam mata ibu

Meyinggung kenangan anjing-anjing,

Kupu-kupu, atau setumpuk boneka

di kamar tidurku

 

Senja ini langit kelabu

Tercekam dalam mata ibu

Senja ini langit kelabu

Mencekam dalam mata ibu

4. Perempuan Muda di Jendela (Rieke Saraswati)

sisa-sisa hujan menggelincir di kaca jendela

bau stroberi dari kotak makanku melumer

bersama ketakutan dari layar ponsel

anak kecil di belakang kursiku terus berteriak

 

tanganku dingin dadaku berdebar

meminta teh hangat dan selimut

ini bukan lelucon

tak ada waktu untuk lelucon

 

cairan kuing keluar dari gendang telingaku

mengeluarkan suara hore yang bertumpuk-tumpuk

kadang aku ingin mati

kadang aku ingin hidup

5. Prosa Pengantin (Rieke Saraswati)

para pengiring pengantin berdiri berjejer

di tangan mereka, buket-buket mawar putih

seseorang tertawa di atas balkon gereja

oh, peri-peri khayangan yang tersesat

begitu katanya

 

di mana si cantik?

para om dan tante bertanya

aku, yang kalian cari,

tidak mampu pergi ke mana-mana

kecuali ke kamar rias

 

impian-impian masa kecilku

terselip di bawah pintu kamar

rupanya mereka masih bertahan 

menolak terbakar oleh tangan mama papa

 

sementara bayiku menendang keras perut

suatu hari ia akan merasakan sakit

sakit dan mati tapi tetap kulahirkan

semua perempuan diharapkan membawa kematian

dan orang-orang menganggapnya anugerah

 

di dalam telingaku

lonceng gereja terus-menerus berdentang

6. Wanita (Toeti Heraty)

Untuk Ajeng

hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi

berjalan lambat karena kainnya kain berwiru

meninggalkan rumah depan menuju jalan

terlentang antara pohon palma berderetan

 

jari hari-hati memegang wiru kataku

sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi

kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi

belum lagi angin melambaikan selendang warna-warni

 

menengok ke kiri ke kanan mereka berhenti gelisah

karena kain berwiru dan bertumit tinggi, rambut

terbelai angin dan panas matahari, — becak lalu —

mereka segera musyawarah suaranya tinggi

 

nada-nada tinggi tawar-menawar rupanya dimulai

entah mengapa kusak-kusuk terhenti, ternyata —

bung becak mengayunkan kakinya lagi dan mereka

asyik dan riang akhirnya tidak tampak olehku lagi

 

meninggalkan halaman depan agaknya mencari

rindang

deretan pohon sepanjang jalan, asyik dan riang

gerak, warna, irama rapi membawa kesungguhan

arisan pada minggu pagi ini —

 

wanita ...

 

berapalah kemesraan sepanjang umur

tiada berlimpah tiada mencukupi

karena kau dengan tak acuh, tidak peduli

membawa pilu yang tak tersembuhkan dan

tak kau sadari, tak kau sadari

7. perempuan dan gelisah (Theoresia Rumthe)

perempuan dan gelisah,

bagai belahan bumi dua musim

kalau kau bertanya tentang rindu

ia akan menjawab dengan

menggugurkan daun-daun jati

perempuan dan gelisah,

layaknya lautan biru

kalau kau berdiri di pantai

dan bertanya tentang rindu

maka ia akan memberimu satu ombak

untuk menghapus jejak kaki

dan menyiapkan seribu lainnya

supaya engkau terus kembali

perempuan dan gelisah,

selalu seperti nusa ina

kalau kau bertanya tentang jalan

menuju puncak gunung binaiya

jawabnya ada di selimut kabut

yang menutupi lembah-lembahnya

supaya engkau berpaling pergi, atau

terus datang dan tak dapat pergi lagi

[WJ // Saumlaki, 30 Juli: 15.30]

8. Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem (Joko Pinurbo)

untuk Linus Suryadi AG

Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam mulai merambat ke leher,
encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang.
Dan angin pantai Jepara yang kering
berjingkat pelan di alis yang tenang;
di pelupuknya anak-anak kesunyian
ingin lelap berbaring, ingin teduh dan tenteram.

"Terimalah salam damaiku
lewat angin laut yang kencang, dinda.
Resah tengah kucoba.
Sepi kuasah dengan pena.
Kaudengarkah suara gamelan
tak putus-putusnya dilantunkan
di pendapa agung yang dijaga
tiang-tiang perkasa
hanya untuk mengalunkan
tembang-tembang lara?
Kaudengarkah juga
derap kereta di jauhan
datang melaju ke arah jantungku."

Kereta api hitam berderap membelah malam,
melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu.
Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,
di belakangnya perempuan-perempuan pemberani
berduyun-duyun mengusung matahari.

"Perahu-perahu kembara, dinda,
telah kulepas dari pantai Jepara.
Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku
ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara.
Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,
ke Nederland sana.
Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon
dan Stella: ingin rasanya aku
menembus gerbang cakrawala."

Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Tangan masih menyurat di atas kertas.
Hati melemas pada berkas-berkas cemas.
Angin merambat lewat kain dan kebaya.
Dingin merayap hingga sanggulnya.
Dan anak-anak kesunyian bergelayutan
pada bulu matanya yang sayup,
yang mengungkai cahaya redup.

"Sering kubayangkan, dinda,
perempuan-perempuan perkasa
berbondong-bondong menyunggi matahari,
menggendong bukit-bukit tandus
di gugusan pegunungan seribu
menuju hingar-bingar pasar palawija
di keheningan langit Jogja.
Kubayangkan pula
ladang-ladang karang
dirambah, disiangi
kaki-kaki telanjang
dengan darah sepanjang zaman."

Kereta api hitam berderap membelah malam,
membangunkan si lelap dari tidur panjang.
Jari masih menulis bersama gerimis,
bersama angin dan kenangan.
Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan
ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh
tak terjangkau.

"Badai, dinda,
badai menyerbu ke atas ranjang.
Kaudengarkah kini biduk mimpiku
sebentar lagi karam
di laut Rembang?"

Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam membara, encok meruyak pula.
Dan sepasang alap-alap melesat
dari ujung pena yang luka.
(1997)

9. Apakah Kartini (Sosiawan Leak)

kartini, apakah kau akan tersenyum

tahu astronot wanita kita gagal mengangkasa lantaran keburu tua

sementara amerika menunda peluncuran pesawatnya

dan kita belum mampu meracik roket sendiri

 

kartini, apakah kau akan tertawa

lantaran sekarang wanita dapat menjadi birokrat

atau wakil rakyat di parlemen

bahkan presiden

 

kartini, apakah kau akan menangis

lantaran kini untuk yang pertama kali

presiden wanita kita sudah turun tahta

dan entah nanti apakah terpilih lagi atau frustasi

 

kartini, apakah kau akan menderita

tatkala di koran kau baca

ada ibu rumah tangga rela menjadi pengedar ganja dan narkoba

untuk membantu suaminya menghadapi keruwetan ekonomi

atau seorang ibu yang membunuh suami

lantaran selingkuh dengan teman sendiri

 

kartini, apakah kau akan susah

ketika kau jumpa para remaja

kehormatannya diobral murah

di tanah sendiri atau di negeri tetangga

 

kartini, kalau kau lahir di jaman ini

mungkin bingung mencari arti emansipasi

seperti kami linglung mengingat nama dan arti kartini

 

untung kau lahir 127 tahun lalu

sehingga tak mengalami,

betapa susahnya menjadi wanita berkelamin ganda;

ibu rumah tangga sekaligus pekerja!

pelangi, mojosongo-solo, 25 april 2004

10. Layar Lebar (Cyntha Hariadi)

Lihat sendok ini Sayang
berenang seperti kecubung ke arahmu

Lihat kuali ini
melindungimu dari serangan senjata musuh

Lihat kolong meja ini
persembunyian kita dari binatang buas

Lihat karpet ini
menerbangkan kita ke negeri berlapis emas

Lihat sapu lidi ini
memberikan kau kekuatan sihir

Lihat sarung guling ini
menggulungmu menjadi kupu-kupu

Lihat bak mandi ini
ke arah mana layar kau bentang?

Lihat tangga ini
mari mendaki pelangi

Lihat remah-remah roti ini
memandu jalan kita pulang

Lihat kunci ini
membuka pintu sebuah puri di atas awan

Lihat lemari ini
menjelma menjadi negeri salju abadi

Lihat jendela ini
seorang anak manusia dan peri mengintaimu

Lihatlah tembok ini
dengarlah ia bicara:

runtuhkan aku dengan krayon-krayonmu
mainkan layar lebar yang menayangkan mimpi-mimpi
kau dan ibumu.

Sumber: Ibu Mendulang Anak Berlari (Gramedia, 2016)

Itulah kumpulan 10 puisi R.A. Kartini, dikumpulkan oleh Popmama.com dari berbagai sumber. Indah sekali, bukan? Kata-katanya mampu menyentuh hati dan mengajak kita merenungi makna sejati dari emansipasi. Jika Mama menyukainya, jangan lupa untuk mencatatnya dan kembali lagi ke sini, ya!

Share
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us