"Mereka membuat merasa kita tidak cukup, merasa kekurangan sehingga harus membeli apa yang mereka jual. Ini adalah marketing yang picik. Jadi bukan standar baru sebenarnya karena nggak pernah ada habisnya, kalau terus merasa kurang ya nggak akan pernah cukup," jelas Cinta dalam sesi talkshow-nya.
Indonesia Summit 2025: Manajemen Keuangan atau Manajemen Diri yang Salah?

- FOMO membuat seseorang merasa kurang, terjebak dalam jebakan psikologis marketing yang membuat merasa tidak cukup.
- Frugal living bukan pelit ke diri sendiri, tapi membatasi pengeluaran secara bijak dan hati-hati dengan apa yang dihabiskan.
- Perbedaan antara 'mampu' dan 'bisa' membeli barang ternyata berbeda, serta tren pay later yang membutuhkan self control dalam manajemen keuangan.
FOMO atau fear of missing out menjadi tren yang banyak diadaptasi dan lumrah di kalangan gen Z saat ini. Hal itu dilihat oleh Cinta Laura Kiehl dan Philip Mulyana dalam salah satu sesi talkshow berjudul "Spend Wisely, Live Fully: The Frugal Formula for Financial Freedom" dalam acara Indonesia Summit 2025, Kamis (28/8/2025).
Ternyata gaya hidup FOMO, ini bisa sangat berdampak, bukan hanya membuat pengeluaran membengkak tetapi membuat diri selalu merasa tidak cukup. Selain finansial yang berantakan, juga bisa masuk lebih dalam sampai ranah psikologis.
Berikut Popmama.com rangkum informasi selengkapnya mengenai hal ini.
1. FOMO membuat seseorang merasa kurang

Menurut Cinta Laura Kiehl, pengaruh tren FOMO ini tidak hanya memengaruhi pengeluaran seseorang. Pasalnya, hal ini membuat kita selalu ingin barang baru. Padahal sebenarnya tidak butuh-butuh amat atau bahkan tidak terlalu diperlukan.
Ini semacam jebakan psikologis dari marketing picik, sebut Cinta soal tren ini. Marketing yang membuat ilusi dari orang yang melihatnya seolah membutuhkan barang atau hal tersebut dan harus membelinya.
2. Frugal living bukan berarti pelit ke diri sendiri

Selanjutnya yang dibahas adalah mengenai frugal living, di mana bagi gen Z cukup sulit diterapkan di tengah gempuran tren FOMO dan dunia digital yang cepat berganti. Pengaruh teknologi membuat konsep frugal living rasanya tidak mungkin diterapkan di zaman modern.
Namun, Cinta punya pengertian tersendiri mengenai frugal living ini. Ia mengasosiasikan frugal living sebagai cara seseorang membatasi pengeluaran secara bijak, bukan membatasi banyak hal dan pelit ke diri sendiri.
"Frugal living disini lebih ke hati-hati dengan apa yang kita spend. Kenapa semakin sulit tapi jadi aspirasi? Karena sering memberikan nilai ke diri sendiri bergantung dari persepsi orang lain ke kita dan barang-barang material," pungkas Cinta.
3. Antara mampu dan bisa beli berbeda lho!

Sementara itu, Philip Mulyana selaku Financial Coach, membahas mengenai tren antara 'mampu' dan 'bisa' membeli suatu hal. Baginya setiap orang bisa terjebak mengenai pengertian ini, karena bisa membeli suatu barang/hal bukan berarti orang tersebut 'mampu'.
"Antara mampu dan bisa beli itu berbeda. Ini barang harganya 1 juta punya gaji 10 juta, tentu bisa beli, tapi setiap bulan ternyata hal-hal yang perlu di-maintain. Nah, mampu itu berarti juga mempertimbangkan hal-hal seperti itu. Kalau bisa beli ya bisa, karena gajinya juga mecukupi, tapi bisa gak itu suistanable?," jelasnya pada kesempatan yang sama.
4. Tren pay later yang jadi 'bypass' untuk bisa self control ke uang

Philip menyoroti tren berkembangnya paylater atau bayar nanti yang semakin menjamur dan mudah dimiliki seseorang. Ini yang membuat pengertian antara 'mampu' dan 'bisa' membeli suatu barang semakin abu-abu dipahami.
Baginya saat ini butuh pemahaman lebih soal konsep uang dan mampu atau bisa membeli barang/hal dengan uang tersebut. Ada pertimbangan keuangan yang saat ini jalan keluarnya gampang, paylater misalnya.
Zaman dulu orang memahami soal menabung dan berinvestasi dulu, baru menggunakan kartu kredit.
"Kalau sekarang ada credit card, paylater, itu mem-bypass banyak banget pertimbagan keuangan yang harus dipelajari. Kalau mau lebih aware, sekarang banyak bank digital sudah bisa cek sendiri pengeluan harian itu berapa, nah bisa digunakan," jelas Philip.
5. Pertimbangan keuangan harus punya self control yang baik

Keputusan keungan untuk menimbang baik dan buruknya tidak bisa dipelajari asal-asalan. Menurut Philip ini ada hubungannya dengan self control atau kontrol diri. Jangan-jangan core masalahnya bukan di manajemen keuangan tetapi dari manajemen diri untuk bisa bijak spending.
"Kebanyakan justru dari masalah keuangan itu bukan dari cara mengatur uangnya, tapi tidak mampu mengontrol diri sendiri. Kalau sudah tidak bisa mengatur diri sendiri, ya mau pakai cara apapun akan gagal," pungkas Philip.
Itulah tadi informasi mengenai manajemen keuangan dan hubungannya dengan self control. Semoga membantu!



















