Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

Viral ‘Married Is Scary’, Kenapa Pernikahan Kini Terlihat Menakutkan?

ilustrasi pernikahan
Freepik
Intinya sih...
  • Paparan informasi negatif soal hubungan muncul lebih cepat di era media sosial.
  • Negativity bias membuat otak lebih fokus pada risiko, mempengaruhi persepsi individu tentang pernikahan.
  • Pengaruh lingkungan dan pengalaman masa kecil membentuk cara seseorang memandang pernikahan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dikutip dari Pew Research Center dalam artikel “As Millennials Near 40, They’re Approaching Family Life Differently Than Previous Generations” (2020), generasi Milenial dinilai memiliki pandangan berbeda soal pernikahan. Pada 2019, hanya 44% Milenial yang menikah, ini lebih rendah dibanding Gen X (53%), Boomers (61%), dan Silent Generation (81%) pada usia yang sama. 

Banyak yang merasa pernikahan bukan lagi tujuan hidup utama, sehingga memilih menikah di usia lebih matang, yakni rata-rata 30 tahun untuk laki-laki dan 28 tahun untuk perempuan.

Fenomena serupa terlihat di Indonesia lewat tren “Married is Scary”, yang ramai di kalangan Gen Z dan Milenial. Ada faktor psikologis, lingkungan, hingga pengalaman pribadi yang membuat banyak orang makin waspada terhadap pernikahan. 

Menurut Dya Adis Putri Rahmadanti, M.Psi., Psikolog, C.Ht, ketakutan ini terbentuk dari paparan informasi negatif yang terus muncul, terutama dari media sosial.

Berikut Popmama.com rangkum penjelasannya!

1. Paparan informasi negatif soal hubungan muncul lebih cepat

perempuan panik
Pexels/Karola G

Di era media sosial, informasi tentang perselingkuhan, drama rumah tangga artis, hingga hubungan toksik menyebar dengan sangat cepat. Bahkan seseorang tidak perlu mencarinya karena berita tersebut akan muncul sendiri di timeline.

Menurut Dya Adis, maraknya informasi ini membuat seseorang juga bisa terpengaruh.

“Kita hidup di era dimana informasi mengenai hubungan negatif itu lebih cepat diterima tanpa harus dicari terlebih dahulu. Konten-konten tentang perselingkuhan dan toxic relationship membuat individu lebih waspada, bahkan berlebihan," jelasnya.

Akibatnya, banyak orang mulai membangun keyakinan bahwa hubungan penuh risiko dan pernikahan identik dengan sakit hati. Ketakutan ini akhirnya berubah menjadi sikap menghindar.

2. Negativity bias membuat otak lebih fokus pada risiko

ilustrasi tangan laki-laki dan perempuan
Pexels/Kevin Vásquez Abudeye

Satu berita KDRT atau perselingkuhan yang viral bisa muncul berkali-kali di FYP (For Your Page) seseorang. Otak pun menangkap informasi negatif lebih kuat daripada sebaliknya. Akibatnya? Orang tersebut lebih percaya kepada pemikiran negatif tersebut.

Negativity bias atau bias negatif adalah kecenderungan alami manusia untuk lebih memperhatikan, mengingat, dan terpengaruh oleh pengalaman atau informasi negatif daripada yang positif, meskipun keduanya memiliki intensitas yang sama.

“Secara psikologis, otak manusia lebih cepat menerima informasi negatif ketimbang positif. Ini membuat persepsi individu berubah menjadi: menikah itu susah, menikah itu sumber stres," pungkas Dya Adis.

Karena negativity bias ini, ketakutan seperti “kalau aku diselingkuhin bagaimana?” atau “bagaimana kalau pasangan menyakitiku?” muncul bahkan sebelum seseorang masuk hubungan yang serius.

3. Pengaruh lingkungan dan pengalaman masa kecil

ilustrasi perempuan stres
Pexels/MART PRODUCTION

Lingkungan sosial memiliki peran besar membentuk cara seseorang memandang pernikahan. Melihat pernikahan orangtua yang penuh pertengkaran, pernah menyaksikan KDRT, atau mendengar teman dekat diselingkuhi dapat meninggalkan trauma tersendiri.

“Jika seseorang tumbuh di lingkungan yang sarat konflik atau melihat hubungan orang-orang terdekatnya tidak sehat, persepsi yang terbentuk adalah pernikahan itu stressor utama," tutur Psikolog Dya Adis.

Pengalaman ini membuat banyak orang merasa pernikahan bukan zona aman, melainkan sesuatu yang harus dihindari demi melindungi diri.

4. Ketakutan kehilangan jati diri setelah menikah

ilustrasi pre-wedding
Pexels/kriisszzz kriisszzz

Banyak individu, terutama perempuan, khawatir mimpi, karier, atau kebebasannya hilang setelah menikah. Hal ini sering kali muncul dari contoh nyata yang mereka lihat di sekitar.

Seperti dijelaskan Dya Adis kekhawatiran itu menciptakan ketakutan pada orang tersebut.

“Ada ketakutan akan kehilangan jati diri. Misalnya karier yang sudah dibangun, khawatir setelah menikah tidak dibolehkan bekerja atau harus tinggal di rumah," jelasnya.

Kekhawatiran ini membuat seseorang merasa lebih aman untuk tidak menikah daripada menghadapi risiko pembatasan yang bisa mengubah hidupnya.

POPMAMA TALK Desember 2025 - Dya Adis Putri Rahmadanti, M.Psi, Psikolog, C.Ht

Psikolog klinis & Hipnoterapis Audentia Mind Medcare

Senior Editor - Novy Agrina    

Editor - Onic Metheany & Denisa Permataningtias  

Content Writer - Putri Syifa Nurfadilah & Sania Chandra Nurfitriana    

Script - Sania Chandra Nurfitriana    

Social Media - Irma Erdiyanti  

Photographer - Hari Firmanto

Videographer - Hari Firmanto

Video Editor - Hari Firmanto

Design - Aristika Medinasari

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Denisa Permataningtias
EditorDenisa Permataningtias
Follow Us

Latest in Life

See More

Kenapa Tas Perempuan Isinya Penuh dengan Barang? Studi Ungkap Alasannya

11 Des 2025, 09:33 WIBLife