TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

WHO: Kesehatan Mental untuk Semua, Mari Kita Wujudkan Bersama

Pada Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini, WHO berarap kita lebih sadar akan kesehatan mental

Freepik/Rawpixel.com

10 Oktober 2021, World Mental Health Day pertama kali dicanangkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Richard Hunter. Peringatan Hari Kesehatan Melntal sedunia tersebut sudah disahkan sejak 10 Oktober 1992. 

Sejak Mei 2021, WHO menyadari bahwa masyarakat mulai menyadari bahwa kesehatan mental terutama saat masa pandemi begitu perlu diperhatikan.

Untuk merayakan Hari Kesehatan Mental sedunia, berikut beberapa informasi menarik yang berhasil Popmama.com himpun untuk Mama.

1. WHO ingin seluruh negara bekerjasama dalam meningkatkan kualitas kesehatan mental warganya

upload.wikimedia

Dilansir dari who.int, selama bulan Mei 2021 Majelis Kesehatan Dunia dan pemerintah dari seluruh dunia menyadari perlunya meningkatkan layanan kesehatan mental berkualitas di semua tingkatan.

Dan beberapa negara telah menemukan cara baru untuk menyediakan perawatan kesehatan mental bagi penduduknya. Tahun ini, WHO memiliki kampanye Mental health care for all: let's make it a reality. 

Kesejahteraan Mental Warga di Selandia Baru Selama Pandemi Bisa Menjadi Inspirasi

Freepik/tirachardz

Dilansir dari firstpost.com, Data Stats NZ yang baru-baru ini diterbitkan memberikan gambaran umum tentang kesejahteraan warga Selandia Baru selama pandemi dan menyimpulkan:

  • Warga Selandia Baru tetap tangguh selama pandemi, dengan sebagian besar orang tetap bahagia, sehat, dan puas dengan kehidupan mereka, terlepas dari tantangan hidup saat pandemi.
  • Untuk Māori di Selandia Baru, umumnya mengalami tingkat kesehatan mental yang buruk dibandingkan dengan kelompok lain, penelitian terbaru menyoroti bahwa pada tahun 2021, mereka mengalami perubahan positif setelah negara melakukan lockdown Covid-19 tahun 2020.

Jadi, berikut adalah tiga cara yang dapat kita gunakan untuk tetapbisa menjadi tangguh saat masa pandemi. Apa saja?

1. Akui bahwa kamu memang sedang tidak baik-baik saja

Pexels/Elijah O'Donnell

Pernah nggak sih, sepanjang masa pandemi ini kamu merasa kalau kamu nggak baik-baik saja? 

Merasa tak bersemangat, mandek, dan tidak bahagia, kamu tidak sendirian. Rasa mendekam adalah salah satu emosi yang dominan di tahun 2021, banyak orang yang merasakan hal ini. Tapi, nggak sedikit orang yang terus berkata dalam diri, nggak kok, aku nggak apa-apa, padahal jelas perasaan kalut terus membayangi diri saat pandemi. 

Dilansir dari webmd.com, masalah ini disebut Dialectical behavioral therapy (DBT) atau Terapi perilaku dialektik adalah jenis terapi perilaku kognitif. Terapi perilaku kognitif yang mencoba untuk mengidentifikasi dan mengubah pola berpikir negatif dan mendorong perubahan perilaku positif.

DBT dapat digunakan untuk mengobati orang yang selalu ingin bunuh diri dan perilaku merusak diri lainnya. Ini mengajarkan keterampilan pasien untuk mengatasi, dan mengubah perilaku tidak sehat. Paling sederhana, DBT mendorong keseimbangan antara yang berlawanan.

PPKM dan virus Covid-19 yang masih ada adalah contoh tantangan yang baik di mana kita mungkin merasa sulit untuk melihat keseimbangan, terombang-ambing antara berpikir "segalanya tidak akan pernah kembali normal" atau "semuanya baik-baik saja".

DBT komprehensif berfokus pada empat cara untuk meningkatkan keterampilan hidup:

  • Toleransi terhadap Distress: Merasakan emosi yang intens seperti kemarahan tanpa bereaksi secara impulsif atau menggunakan tindakan melukai diri sendiri atau penyalahgunaan zat untuk mengurangi tekanan.
  • Regulasi emosi: Mengenali, memberi label, dan menyesuaikan emosi.
  • Perhatian: Menjadi lebih sadar akan diri sendiri dan orang lain dan memerhatikan apa yang terjadi saat ini.
  • Efektivitas interpersonal: Menavigasi konflik dan berinteraksi secara asertif.

Saat kamu merasa bahwa diri kamu sedang marah, luapkan marahmu, jangan terus menekan apalagi terus menyalahkan diri atas keadaan. Akui bahwa kehidupan normal kita sedang terganggu saat ini, dan mengetahui bahwa kita memiliki alat untuk melewatinya dengan utuh.

Cara ini akan memberi kita ruang untuk merasakan frustrasi dan kembali bersyukur, marahlah dengan tenang, dan optimis dengan hati-hati sambil merasa takut.

2. Berlatihlah menjadi orang yang aktif dalam menerima keadaan

Freepik/Karlyukav

Pendekatan mengambil alih ini memang kurang efektif ketika kita harus mengelola situasi di luar kendali kita, seperti pandemi saat ini.

Ketika kita memiliki beberapa kemampuan untuk memengaruhi atau mengendalikan suatu situasi, strategi penanggulangan atau pemecahan masalah menjadi cara yang baik.

Penelitian menunjukkan gaya koping yang disebut “penerimaan koping” menghasilkan lebih sedikit tekanan selama masa pandemi.

Yang penting, penerimaan bukanlah proses pasif, seperti menyerah dengan keadaan. Sebaliknya, proses ini mengingatkan diri kita sendiri "ini adalah bagaimana keadaan sekarang". Psikolog menyebut cara ini membantu, penerimaan aktif, sebagai lawan dari penerimaan mengundurkan diri atau menyerah.

Langkah-langkah kunci untuk penerimaan adalah dengan memperhatikan dan mengakui pikiran dan perasaan tentang suatu situasi, lalu kemudian fokus pada apa yang penting saat kita mengatasi tantangan.

Misalnya kita mungkin merasa sedih, biarkan diri mengalami emosi (penerimaan) dan kemudian fokus pada sesuatu yang penting untuk hari itu. 

3. Selalu terhubung dengan orang lain

Freepik/user18526052

Selalu terhubung membantu mendorong kita untuk berkembang. Meski kita sedang melalukan jaga jarak, sebaiknya manfaatkan teknologi yang ada untuk bisa tetap terkoneksi dengan dunia luar. 

Manfaat melalukan percakapan bersama orang lain adalah hubungan emosional yang kita buat dengan orang lain orang. Penelitian signifikan telah menunjukkan bahwa sering mengalami emosi positif (harapan, kegembiraan, dan pencapaian) membantu orang tetap tangguh dan berkembang bahkan di saat krisis.

Studi terbaru menunjukkan emosi positif yang dialami bersama-sama menimbulkan perasaan baik yang kita dapatkan ketika benar-benar terhubung dengan seseorang, mungkin bahkan lebih penting daripada emosi positif yang dialami sendiri.

Sekarang, jangan berlarut pada sepi. Ambil ponselmu dan telepon keluarga, teman, dan semua orang yang kamu sayangi. Berbagilah kesedihan bersama yang kalian alami saat pandemi ini, lalu ceritakan apa saja perkembangan diri yang kamu dapatkan selama di rumah. 

Demikian informasi mengenai pentingnya mengelola kesehatan mental saat masa pandemi yang menjadi saran dari WHO. Semoga pandemi cepat selesai dan membuat kita lebih baik dalam mengatur kesehatan mental. Semangat!

Baca juga:

The Latest