Beberapa elite Partai Komunis Indonesia (PKI) dikejar dan ditangkap setelah gagal melakukan kudeta dalam gerakan G30S PKI. Beberapa nama tersebut adalah:
Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit
Ketua Committee Central Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit atau D.N. Aidit ditangkap di Solo pada 22 November 1965. Penangkapan orang nomor satu PKI ini dilakukan atas perintah Soeharto kepada Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri.
Aidit ditemukan di rumah simpatisan PKI di Solo. Keberadaanya diketahui usai Yasir dan pasukannya menemui Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI yang sedang berada di rumah tahanan. Di sana Yasir mendapatkan informasi bahwa Aidit akan segera pergi ke sebuah rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November.
Penggerebekan Aidit dilakukan pukul sembilan malam oleh Brigif IV yang dipimpin oleh Letnan Ning Prayitno. Sedangkan Yasir hanya mengawasinya dari jauh. Usai ditangkap, Aidit diinterogasi di Markas Brigif IV Loji Gandrung, Solo dan rencananya akan dibawa ke Semarang untuk diadili. Akan tetapi, Yasir justru membawa Aidit ke Markas Batalion 444. Tepatnya pada 23 November 1965, Aidit dieksekusi mati di tepi sumur tua di Boyolali, Jawa Tengah. DN Aidit meninggal sebelum sempat diadili.
Letnan Kolonel Untung
Letkol Untung merupakan salah satu tokoh penting dalam tragedi G30S 1965. Komandan Batalyon KK I Cakrabirawa ini tertangkap secara tidak sengaja. Kejadian itu terjadi pada 11 Oktober 1965, saat Untung berusaha kabur ke Jawa Tengah. Saat itu, bus yang ditumpangi oleh Untung dimasuki oleh anggota Armed TNI tidak dikenal, karena takut tertangkap Untung pun loncat keluar dari bus tersebut.
Orang-orang yang melihat kejadian tersebut mengira Untung adalah seorang pencopet, sehingga Untung pun kena amuk massa. Saat tertangkap, ia tak lantas mengaku bernama Untung. Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak mengira bahwa sosok yang ditangkapnya adalah Komando Operasional G30S. Identitas Untung baru diketahui Setelah dilakukan pemeriksaan di markas CPM Tegal.
Untung diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa atau Mahmilub pada awal 1966. Ia disidangkan di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di dekat Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Pada 6 Maret 1966, Mahmilub yang dipimpin Letnan Kolonel CHK Soedjono Wirjohatmodjo itu memberi vonis hukuman mati kepada Untung. Sehari setelahnya, surat keputusan dari Menteri Panglima Angkatan Darat dibuat, dan Letnan Jenderal Soeharto menyetujui keputusan eksekusi mati terhadap salah satu pelaksana G30S itu.
Brigjen Supardjo
Supardjo telah menghilang sejak 1 Oktober 1965. Mantan Brigjen Supardjo yang menjabat wakil ketua Dewan Revolusi pada kudeta yang gagal itu, beberapa kali pindah dari wilayah basis PKI untuk menghindar dari kejaran. Ia bahkan mengubah kartu penduduknya atas nama Syarief dan Ibrahim untuk menghindari penggerebekan yang diadakan oleh ABRI maupun rakyat.
Mantan Brigjen Supardjo ditangkap dalam operasi Kalong, sebutan operasi untuk menangkap dan mengejar para tokoh G30S/PKI. tepatnya pada tanggal 12 Januari 1967. Penggerebekan Supardjo berlangsung setengah jam dari pukul 05.00 sampai pukul 05.30 pagi. Ia ditemukan di atas loteng rumah Kopral Udara Sutarjo, di kawasan Halim.
Kala itu, Supardjo hanya memakai baju kaos putih tanpa leher dan celana pendek putih. Ia kemudian dibawa ke Kodim 0501 dengan dikawal Kapten Suroso bersama empat anggota AURI. Ia lantas divonis hukuman mati oleh Mahmilub.
Itulah informasi mengenai kronologi G30S PKI. Kejadian ini tidak hanya mengguncang stabilitas politik nasional tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menandai titik balik dalam perjalanan politik negara, yang pada akhirnya mendorong perubahan besar dalam tatanan pemerintahan serta munculnya penumpasan terhadap PKI dan simpatisannya.