Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

Sejarah Perang Padri (1803-1837)

Sejarah Perang Padri (1803-1837)
Wikimedia Commons

Perang Padri adalah salah satu konflik paling signifikan dalam sejarah Indonesia pada abad ke-19.

Perang yang berlangsung dari tahun 1803 hingga 1837 ini terjadi di wilayah Sumatera Barat dan melibatkan tiga kekuatan utama, yaitu kaum Padri yang menganut paham Islam puritan, kaum Adat yang mempertahankan tradisi Minangkabau, dan pemerintah kolonial Belanda.

Salah satu tokoh besar dalam perang ini adalah Tuanku Imam Bonjol, ulama pejuang kemerdekaan yang memimpin perang padri melawan Belanda.

Konflik ini bermula dari gerakan pemurnian agama Islam yang dibawa oleh para haji yang baru kembali dari tanah suci, namun kemudian berkembang menjadi perang yang kompleks melawan penjajahan Belanda.

Perang Padri tidak hanya mengubah kondisi sosial dan politik di Minangkabau, tetapi juga menjadi titik penting dalam sejarah kolonisasi Belanda di Nusantara.

Dampak dari perang ini masih dapat dirasakan hingga kini, terutama dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau.

Di artikel ini, Popmama.com telah merangkum informasi seputar sejarah perang padri.

1. Latar belakang terjadinya Perang Padri (1803-1815)

Sejarah Perang Padri (1803-1837)
Wikimedia Commons

Gerakan Padri dimulai pada tahun 1803 ketika tiga haji bernama Haji Miskin dari Pandai Sikek, Haji Sumanik dari Sumanik, dan Haji Piobang dari Piobang kembali dari menunaikan ibadah haji di Mekah.

Mereka terpengaruh oleh ajaran Wahabi yang berkembang di Arab Saudi dan mulai menyebarkan gerakan pemurnian Islam di kampung halaman mereka.

Pada tahun 1804, mereka mulai aktif berdakwah dan mengkritik praktik-praktik yang dianggap menyimpang seperti perjudian, minum tuak, dan ritual adat yang bercampur dengan kepercayaan animisme.

Periode 1803-1810 masih dipenuhi dengan dakwah yang bersifat damai, namun mulai tahun 1810 ketegangan meningkat ketika kaum adat menolak perubahan yang diusulkan.

Pada tahun 1815, konflik terbuka pertama kali meletus di daerah Agam ketika kaum Padri mulai memaksakan aturan syariat Islam secara ketat.

Peristiwa pembunuhan beberapa tokoh adat yang menentang gerakan ini menandai berubahnya sifat gerakan dari dakwah menjadi perjuangan bersenjata.

Periode ini berakhir dengan kaum Padri berhasil menguasai beberapa daerah kecil di sekitar Agam dan Pasaman.

2. Ekspansi kaum Padri (1815-1821)

Sejarah Perang Padri (1803-1837)
direktoratk2krs.kemsos.go.id

Setelah konflik terbuka dimulai, gerakan Padri memasuki fase ekspansi yang dipimpin oleh tokoh-tokoh baru yang lebih militan.

Tuanku Nan Renceh menjadi pemimpin penting dalam periode ini dan berhasil memperluas pengaruh Padri ke wilayah yang lebih luas.

Pada tahun 1816, kaum Padri berhasil merebut Bonjol dan menjadikannya sebagai pusat kekuatan mereka. Tahun 1817 menjadi titik balik dalam perang ini ketika Tuanku Imam Bonjol mulai memimpin gerakan dengan strategi yang lebih terorganisir.

Ia membangun sistem pemerintahan teokratis dan membentuk pasukan yang disiplin.

Lalu, tahun 1818-1820 terjadi serangkaian pertempuran sengit antara kaum Padri dan kaum Adat di berbagai daerah seperti Kamang, Tanjung Emas, dan daerah sekitar Danau Maninjau.

Kaum Padri berhasil menguasai wilayah yang cukup luas termasuk sebagian besar daerah Agam dan Pasaman.

Pada tahun 1821, situasi semakin memanas ketika kaum Padri menyerang dan merebut beberapa wilayah yang dikuasai kaum Adat, termasuk daerah-daerah penting di sekitar Batusangkar.

Sebagai akibatnya, kaum Adat mulai mencari bantuan dari pihak luar untuk melawan kekuatan Padri yang semakin menguat.

3. Kedatangan dan intervensi Belanda (1821-1825)

Sejarah Perang Padri (1803-1837)
Wikimedia Commons

Tahun 1821 menandai dimulainya babak baru dalam Perang Padri dengan masuknya Belanda sebagai pihak ketiga dalam konflik.

Pada tanggal 25 November 1821, kaum Adat yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung menandatangani Perjanjian Padang dengan Belanda, meminta bantuan untuk melawan kaum Padri.

Belanda melihat kesempatan ini untuk memperluas pengaruh mereka di Sumatera Barat dan secara resmi ikut campur dalam konflik.

Pada tahun 1822, Belanda mulai mengirimkan pasukan dan membangun benteng-benteng di daerah strategis seperti Padang, Solok, dan Padang Panjang.

Periode tahun 1822-1823 ditandai dengan serangkaian pertempuran antara pasukan gabungan Belanda dan kaum Adat melawan kaum Padri.

Namun, situasi menjadi kompleks ketika pada tahun 1824, beberapa tokoh adat mulai menyadari maksud sebenarnya Belanda dan berbalik melawan kolonial.

Tuanku Imam Bonjol berhasil memanfaatkan situasi ini dengan menyatukan faksi padri dan kaum adat yang sebelumnya bermusuhan untuk bersatu melawan Belanda.

4. Puncak Perang Padri (1825-1830)

Sejarah Perang Padri (1803-1837)
Wikimedia Commons

Tahun 1825-1830 merupakan masa paling intens dalam Perang Padri, ditandai dengan perlawanan sengit melawan kolonial Belanda menggunakan taktik gerilya.

Tuanku Imam Bonjol mengubah strategi dari perang terbuka menjadi perang gerilya yang memanfaatkan medan pegunungan Sumatera Barat.

Pada tahun 1826, terjadi Pertempuran Marapalam yang menjadi salah satu pertempuran paling sengit, di mana pasukan Padri berhasil mengalahkan pasukan Belanda dan sekutunya.

Di tahun 1827 kaum Padri melancarkan serangkaian serangan mendadak terhadap pos-pos Belanda di berbagai tempat, termasuk serangan terhadap Benteng Fort de Kock yang hampir berhasil direbut.

Akhirnya, pada tahun 1828, Belanda mengalami kekalahan besar dalam Pertempuran Pandai Sikek ketika Kolonel Raaff tewas bersama banyak pasukannya.

Keberhasilan ini mendorong semangat perlawanan kaum Padri dan menarik dukungan dari berbagai daerah.

Tahun 1829 menjadi puncak kekuatan kaum Padri ketika mereka berhasil mengepung beberapa benteng Belanda dan hampir memaksa kolonial untuk menarik diri dari Sumatera Barat.

Namun, pada tahun 1830, Belanda mulai mengubah taktik mereka dengan mendatangkan pasukan yang lebih besar dari Jawa setelah berakhirnya Perang Diponegoro.

5. Akhir Perang Padri dan penangkapan Tuanku Imam Bonjol (1830-1837)

Sejarah Perang Padri (1803-1837)
Wikimedia Commons

Fase terakhir Perang Padri dimulai pada tahun 1830 ketika Belanda melancarkan serangan besar-besaran dengan kekuatan penuh setelah menyelesaikan Perang Diponegoro.

Jenderal De Stuers memimpin operasi militer yang sistematis untuk menghancurkan kekuatan Padri satu per satu.

Dimulai pada tahun 1831 yang ditandai dengan jatuhnya beberapa benteng penting kaum Padri, termasuk beberapa posisi strategis lainnya.

Pada tahun 1832, tekanan semakin menguat ketika Belanda berhasil memutus jalur persediaan dan komunikasi antara berbagai kelompok Padri.

Tuanku Imam Bonjol terpaksa mundur ke daerah-daerah yang lebih terpencil di pegunungan.

Tanggal 25 Oktober 1837, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Penangkapan di Plakat Tinggi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dijanjikan perlakuan yang baik dan kebebasan untuk berdakwah.

Namun janji ini tidak ditepati oleh pihak Belanda, beliau justru diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon, dan akhirnya ke Manado hingga wafat pada tahun 1864.

Berakhirnya perlawanan Tuanku Imam Bonjol menandai berakhirnya Perang Padri dan dimulainya era kolonialisme penuh di Sumatera Barat.

Itulah informasi tentang sejarah Perang Padri, semoga dapat menambah wawasan seputar sejarah perjuangan Indonesia, ya!

Share
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us

Latest in Big Kid

See More

Contoh & Ciri Gerak Manipulatif dalam Olahraga, Materi PJOK Kelas 4 SD

04 Des 2025, 18:38 WIBBig Kid