"Setiap generasi cenderung mengeluh tentang generasi di sebelah kita," kata Adam.
Psikolog Ungkap Gen Z Bukan Pemalas, Justru Pekerja Keras

- Stereotip generasi selalu berulang, kini Gen Z yang jadi sasaran Adam Grant, seorang psikolog organisasi di Wharton Business School.
- Banyak Gen Z bekerja lebih keras dari yang publik kira. Mereka lebih produktif dibandingkan apa yang publik kira.
- Gen Z lebih menghargai efisiensi, kesehatan mental, dan fleksibilitas. Mereka tidak menormalisasi lembur kerja.
Belakangan ini, Gen Z kerap kali dicap sebagai generasi yang malas dan manja. Pernyataan ini terus viral, dan bahkan berdampak pada cara pandang orang lain melihat Gen Z.
Dilansir dari The Guardian, tudingan tersebut nyatanya hanyalah bentuk dari transisi melihat adanya perubahan antara Gen Millenial dengan Gen Z. Psikolog justru menyebut Gen Z sebagai generasi yang pekerja keras dan kaya akan inovasi.
Simak penjelasan selengkapnya telah Popmama.com siap membahas informasinya lebih lanjut.
1. Stereotip generasi selalu berulang, kini Gen Z yang jadi sasaran

Adam Grant, seorang psikolog organisasi di Wharton Business School, menjelaskan bahwa setiap generasi pernah dicap sebagai ‘masalah’. Milenial dulu pernah dianggap narsistik dan tidak loyal. Kini, stereotip yang buruk juga dicap kepada Gen Z.
"Dulu semua orang membenci generasi milenial, dan sekarang generasi Z." tambahnya.
Gen Z tumbuh dewasa di era ketika dunia finansial hingga politik tidak dalam keadaan baik-baik saja. Generasi mereka melihat secara langsung adanya gelombang PHK massal, gaji stagnan, biaya hidup terus melonjak, dan perusahaan yang tak lagi menjanjikan loyalitas jangka panjang.
Kepercayaan mereka kepada perusahaan seketika runtuh, bahkan sebelum mengirimkan CV pertama ke tempat yang semulanya dituju.
2. Banyak Gen Z bekerja lebih keras dari yang publik kira

Alih-alih dicap sebagai pemalas atau manja, justri Gen Z adalah generasi yang dipenuh dengan orang-orang pekerja keras. Mereka lebih produktif dibandingkan apa yang publik kira.
Kisah Jahnavi Shah (25) menjadi bukti. Ia membutuhkan tujuh bulan dan hampir seribu lamaran sebelum akhirnya mendapatkan satu pekerjaan penuh waktu di San Francisco. Ia menolak anggapan bahwa Gen Z ‘tak mau kerja’.
Menurutnya, Gen Z hanya menolak diperas oleh jam kerja yang melelahkan tanpa adanya imbalan layak. Pendiri perusahaan menstrual care August, Nadya Okamoto (27), juga menegaskan hal serupa.
Banyak pekerjaan yang kini dikuasai Gen Z, seperti kreator digital dan pemasaran media sosial. Pekerjaan-pekerjaan tersebut justru muncul saat era Gen Z produktif.
“Bagaimana mungkin kita disebut unemployable untuk pekerjaan yang kami ciptakan sendiri?” ujarnya.
3. Gen Z lebih menghargai efisiensi, kesehatan mental, dan fleksibilitas

Gen Z adalah generasi yang tidak menormalisasi lembur kerja. Mereka lebih menghargai fleksibilitas, tujuan hidup, serta kesehatan mental.
Kesehatan mental dulu kerap jadi bahan ledekan, namun kini justru dipromosikan perusahaan sebagai bagian dari wellbeing program.
Selain itu, Gen Z sangat cepat memanfaatkan kecerdasan artifisial. Tugas 10 jam bisa diselesaikan dalam lima jam, bukan karena malas, tetapi karena efisien.
Riset Deloitte bahkan menemukan bahwa lebih dari separuh Gen Z rutin memakai AI dalam pekerjaan mereka.
4. Budaya yang masih menolak cara Gen Z bekerja

Gen Z melihat pekerjaan sebagai transaksi yang harus diimbangi dengan kesehatan mental dan fisik. Mereka mengutamakan keseimbangan hidup, keamanan, dan nilai yang sejalan dengan diri.
Melihat semua dinamika ini, ada kemungkinan bahwa masalahnya bukan pada Gen Z. Generasi satu ini dipenuhi dengan orang-orang pekerja keras, adaptif, dan mapu menyesuaikan diri dengan realitas baru. Justru dunia kerja lama yang masih menolak bertransformasi.
Nah, itu dia penjelasan mengenai psikolog yang menyebut Gen Z bukan pemalas. Bagaimana menurut pendapat Mama?



















