Review Film Abadi Nan Jaya, Jamu yang Mengubah Kehidupan!

- Kekuatan film: horor yang berakar budaya
- Produksi dan teknis: dedikasi di balik layar
- Akting dan karakter: ketegangan yang bernyawa
Bayangkan sebuah desa kecil di Yogyakarta. Pagi hari, aroma jamu tradisional menyeruak di antara kabut, suara ayam berkokok, dan anak-anak berlarian di tanah becek.
Tapi saat malam turun, semua berubah secara cepat. Desa yang damai itu menjadi ladang kematian, di mana jeritan manusia bercampur dengan lolongan makhluk yang haus darah.
Itulah dunia yang dibangun Kimo Stamboel dalam film Abadi Nan Jaya, proyek Netflix Original Indonesia yang tidak hanya menakutkan, tapi juga sarat makna.
Film ini adalah perpaduan antara horor, drama keluarga, dan refleksi budaya, di mana tradisi, ambisi, dan cinta berkelindan dalam situasi paling ekstrem.
Kimo berhasil membuat zombie terasa begitu “Indonesia”, bukan makhluk asing dari kota besar, tapi bagian dari masyarakat desa yang selama ini kita kenal dekat.
Synopsis
Kisah dimulai dengan Sadimin (Donny Damara), seorang pembuat jamu di desa yang dikenal karena ramuan-ramuan tradisionalnya. Ia mulai mencoba resep baru untuk jamu buatannya.
Ia terobsesi menciptakan jamu yang bisa memberikan keabadian, sebuah warisan yang menurutnya akan membuat namanya dikenang selamanya.
Namun, eksperimennya berujung bencana. Ramuan yang semula untuk menyembuhkan justru memunculkan wabah aneh yang mengubah penduduk desa menjadi zombie.
Di tengah kekacauan itu, keluarganya menjadi pusat badai.Kenes (Mikha Tambayong), anak perempuan Sadimin, pulang ke kampung dengan hati yang masih terluka.
Ia belum memaafkan sang ayah yang menikahi Karina (Eva Celia) sahabatnya sendiri. Rasa benci dan cinta beradu di antara mereka, sementara dunia di sekeliling mereka perlahan hancur.
Rudi (Dimas Anggara), suami Kenes, berjuang menyelamatkan keluarga kecilnya di tengah serangan zombie yang terus meluas.
Namun lebih dari sekadar bertahan hidup, film ini menyoroti pertarungan batin manusia antara memaafkan dan melupakan, antara cinta dan dendam.
Kimo tidak hanya menampilkan darah dan teriakan. Ia memperlihatkan bagaimana bencana bisa membuka luka lama, dan bagaimana cinta keluarga bisa bertahan bahkan di tengah kehancuran.
Kimo dengan cermat menjahit kisah ini menjadi metafora tentang keserakahan manusia terhadap alam dan waktu. Bahwa keinginan untuk hidup selamanya justru membawa kematian.
Nah, selengkapnya Popmama.com akan spill review film Abadi Nan Jaya lewat artikel di bawah ini. Yuk simak pembahasannya dibawah ini.
| Producer | Edwin Nazir, Tia Hasibuan |
| Writer | Kimo Stamboel, Rayya Makarim |
| Age Rating | D 17+ |
| Genre | Horor, Drama, Thriller |
| Duration | 118 Minutes |
| Release Date | 23 Oktober 2025 |
| Theme | Keluarga, Tradisi, Ketamakan |
| Production House | Netflix Indonesia, Frontier Pictures |
| Where to Watch | Netflix |
| Cast | Donny Damara, Mikha Tambayong, Eva Celia, Dimas Anggara, Marthino Lio |
Trailer Abadi Nan Jaya (2025)
Cuplikan Film Abadi Nan Jaya
Review Film Abadi Nan Jaya (2025)
1. Kekuatan film: horor yang berakar budaya

Yang membuat Abadi Nan Jaya berbeda dari film zombie lainnya adalah keberaniannya untuk menampilkan akar budaya Indonesia sebagai inti cerita.
Kimo tidak memilih laboratorium, tapi ia memilih virus buatan, atau kota besar sebagai sumber wabah. Keputusan ini bukan sekadar simbolik, tapi juga emosional.
Ia justru memusatkan segalanya pada jamu kantong semar, yang dijadikan ramuan tradisional dari tanaman karnivora khas tropis yang menjadi simbol ambisi manusia terhadap alam.
Penonton akan melihat bagaimana tradisi, yang seharusnya jadi penopang kehidupan, justru bisa membawa kehancuran ketika manusia berusaha “mempermainkan” alam.
Dalam film ini, alam membalas dengan cara yang halus namun mematikan. Zombie versi Kimo bukan hanya makhluk menyeramkan mereka adalah representasi keserakahan dan kesalahan manusia.
Latar desa juga menjadi karakter tersendiri. Sawah, jalan berbatu, warung jamu, hingga iringan musik dangdut menambah dimensi realitas yang kuat.
Kita bukan hanya menonton kiamat, tapi juga melihat potret kehidupan rakyat kecil yang bertahan dengan cara mereka sendiri.
2. Produksi dan teknis: dedikasi di balik layar

Pembuatan film tidak akan berjalan lancar kalau tidak ada strategi teknisnya. Dari segi teknis, film ini adalah salah satu produksi zombie paling ambisius di Indonesia.
Lebih dari 200 pemeran zombie dilatih secara intensif oleh Bobby Ari Setiawan dan Astrid Sambudiono agar setiap gerakan punya karakter tersendiri.
Make up prostetik dibuat berdasarkan tekstur tanaman kantong semar, menciptakan tampilan yang menjijikkan tapi juga artistik. Astrid menambahkan bahwa beberapa adegan zombie membutuhkan waktu rias hingga tiga jam sebelum syuting.
Tim artistik di bawah Mbak Sum dan Mas Kiki juga layak diapresiasi. Mereka membangun set desa fiktif yang benar-benar terasa hidup.
Sinematografinya pun memikat, mulai dari pencahayaan lembut di pagi hari berkontras dengan warna oranye dan kelam di malam hari, memperkuat atmosfer mistis yang khas Indonesia.
3. Akting dan karakter: ketegangan yang bernyawa

Kekuatan emosional film ini datang dari penampilan para pemeran utamanya. Mikha Tambayong memerankan Kenes dengan performa paling matang sepanjang kariernya.
Ia berhasil menyeimbangkan antara kemarahan, ketakutan, dan kasih sayang yang tak terucap. Eva Celia tampil memukau sebagai Karina, sosok perempuan yang berani tapi penuh rasa bersalah.
Sedangkan Dimas Anggara membawa sisi realistis dan manusiawi lewat karakternya, Rudi, yang berjuang keras untuk melindungi keluarga di tengah kekacauan.
Ketiganya menciptakan dinamika yang kuat. Di tengah teriakan zombie, emosi mereka tetap jadi pusat perhatian menjadikan film ini bukan hanya menegangkan, tapi juga menyentuh hati.
Sementara Donny Damara menjadi jantung moral film ini. Dengan tatapan lelah dan suara tenang, ia memerankan Sadimin sebagai sosok yang tragis dan kompleks seperti seorang ayah yang ingin meninggalkan warisan, tapi justru membawa kutukan.
Chemistry antar pemain terasa alami. Di tengah jeritan zombie dan darah di mana-mana, hubungan antar tokoh tetap menjadi fokus emosional utama.
4. Kekurangan: tempo dan ketimpangan fokus

Meski kuat secara visual dan tema, film ini sedikit tersandung di bagian tengah. Walau solid, film ini tidak sepenuhnya tanpa cela.
Beberapa adegan di paruh kedua terasa lambat karena fokus cerita berpindah ke drama keluarga. Adegan dramatis terasa terlalu lama dan mengganggu ritme ketegangan
Transisi antara adegan aksi dan konflik emosional kadang terasa belum mulus. Beberapa karakter pendukung pun terasa hanya sekadar pelengkap, padahal punya potensi memperkuat lapisan cerita.
Namun, kelemahan ini tidak sampai mengganggu pengalaman menonton secara keseluruhan. Justru, bagian-bagian dramatis itu memberi ruang bagi penonton untuk bernapas di antara intensitas horor.
5. Horor dengan hati dan identitas Indonesia

Pada akhirnya, Abadi Nan Jaya bukan hanya film tentang mayat hidup tapi tentang manusia yang berjuang menghadapi kesalahan, tradisi yang menuntut pertanggungjawaban, dan cinta yang tetap hidup bahkan di tengah kehancuran.
Kimo Stamboel menunjukkan bahwa horor bisa jadi wadah untuk berbicara tentang kemanusiaan dan kebudayaan. Ia menonjolkan kebudayaan Indonesia melalui jamu.
Dengan visual yang memukau, akting yang tulus, dan pesan yang relevan, Abadi Nan Jaya adalah bukti bahwa film Indonesia bisa berdiri sejajar dengan karya global tanpa kehilangan jati diri.
Film ini membuat kita sadar bahwa di balik darah dan ketakutan, selalu ada cerita tentang cinta, penyesalan, dan harapan yang tak bisa mati.













-6KuiNBKfxCvpv9oJAMam5uD46zqMOz2Z.jpg)





-CnWLbSLFGYhrI0ixxt0sQ0qptd1uw3em.png)