“Jadi mungkin ini seperti trauma yang diturunkan turun-temurun gitu. Trauma yang mungkin tidak disadari gitu,” ungkap Wulan Guritno mengenai latar belakang konflik dalam film Malam 3 Yasinan.
Pesan Film Malam 3 Yasinan untuk Memutus Trauma Keluarga

- Menyadari adanya trauma yang turun-temurun Langkah awal untuk menciptakan perubahan dalam keluarga adalah dengan mengakui adanya luka lama yang mungkin belum sembuh.
- Berani melepaskan diri dari dikte orangtua yang kaku Karakter Samira merepresentasikan generasi masa kini yang berani mengambil jarak dari pola asuh lama yang terlalu mendikte.
- Film ini memperlihatkan bahwa ketidakmauan untuk berkompromi justru bisa memicu tragedi yang mendalam bagi seluruh anggota keluarga.
Film Malam 3 Yasinan hadir bukan sekadar memberikan pengalaman horor yang mencekam, melainkan juga membawa pesan mendalam mengenai dinamika hubungan di dalam sebuah keluarga. Lewat karakter Samira yang diperankan oleh Shaloom Razade, penonton diajak melihat bagaimana sebuah trauma masa lalu yang tidak diselesaikan dapat diwariskan secara tidak sadar dari generasi ke generasi.
Berbeda dari gambaran keluarga ideal pada umumnya, film ini dengan jujur menampilkan sisi rapuh, keangkuhan, hingga obsesi terhadap pencitraan yang justru bisa menjadi bumerang bagi keharmonisan rumah tangga. Hal ini memberikan sudut pandang baru bagi Mama dan Papa mengenai pentingnya kejujuran dan keberanian untuk memutus mata rantai pola asuh yang merugikan demi masa depan anak-anak.
Dalam wawancara eksklusif di IDN HQ pada Jumat (19/12/2025), para pemain membagikan pandangan mereka tentang pentingnya kejujuran dan keberanian untuk memutus mata rantai pola asuh yang merugikan demi masa depan anak-anak. Berikut Popmama.com merangkum ceritanya untuk Mama dan Papa simak.
Yuk, disimak!
1. Menyadari adanya trauma yang turun-temurun

Langkah awal untuk menciptakan perubahan dalam keluarga dengan mengakui adanya luka lama yang mungkin belum sembuh. Dalam film ini, diperlihatkan bagaimana trauma yang tidak disadari terus mengalir dan memengaruhi keputusan anggota keluarga di masa sekarang.
Dengan menyadari hal ini, kita bisa lebih mawas diri agar tidak mewariskan luka yang sama kepada si Kecil di rumah. Menyadari trauma bukan berarti menyalahkan masa lalu, melainkan langkah bijak untuk memulai pola asuh yang lebih sehat.
2. Berani melepaskan diri dari dikte orangtua yang kaku

“Jadi aku udah cut the cord. Hal-hal seperti itu, yang kayak harus nurut, kesukaannya harus yang orangtua mau, harus jadi yang orangtua mau, itu sudah nggak ada di generasi aku,” jelas Shaloom Razade mengenai sikap karakternya yang memilih memutus rantai kendali tersebut.
Karakter Samira merepresentasikan generasi masa kini yang berani mengambil jarak dari pola asuh lama yang terlalu mendikte. Shaloom melihat bahwa anak-anak saat ini perlu memiliki pendirian sendiri tanpa harus selalu terkekang oleh standar kaku yang ditetapkan orangtua zaman dulu.
Melalui hal ini, kita diingatkan untuk menjadi sosok pendengar yang baik. Memberikan ruang bagi anak untuk berekspresi akan membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, bukan sekadar penurut karena rasa takut.
3. Pentingnya menurunkan ego bagi anggota keluarga tertua

Sering kali, konflik dalam keluarga besar sulit mencapai titik temu karena adanya tembok ego yang terlalu tinggi dari anggota keluarga yang paling dituakan. Film ini memperlihatkan bahwa ketidakmauan untuk berkompromi justru bisa memicu tragedi yang mendalam bagi seluruh anggota keluarga.
“Sebenarnya sih sangat mudah untuk diselesaikan asal yang tertua tuh mau menurunkan egonya. Tapi kadang-kadang yang tertua itu kan nggak mau menurunkan egonya, tetap semua anak cucunya itu harus di bawah naungan dia,” tutur Wulan Guritno.
Menurunkan ego di depan anak atau cucu bukanlah tanda kelemahan bagi kita. Justru, ini adalah bentuk kebesaran hati untuk menciptakan suasana keluarga yang lebih hangat dan demokratis.
4. Jangan mengutamakan pencitraan di atas kejujuran

“Terlalu obsesi yang terlalu berlebihan untuk pencitraan, dan itulah yang terjadi di keluarga ini juga. Jadi terjadilah tragedi di keluarga ini,” jelas Wulan Guritno mengenai dampak buruk dari memprioritaskan "tampilan luar" semata.
Salah satu isu sentral dalam film ini adalah obsesi berlebihan terhadap martabat keluarga di mata publik. Menutup aib serapat mungkin demi reputasi sosial justru sering kali mengorbankan kesehatan mental anggota keluarga di dalamnya.
Mari kita belajar untuk lebih mengutamakan kejujuran di dalam rumah daripada sibuk membangun pencitraan sempurna di mata orang lain. Kejujuran akan menciptakan rasa aman bagi anak-anak untuk selalu pulang ke pelukan keluarga saat mereka menghadapi masalah.
5. Membangun empati untuk memahami satu sama lain

Memutus trauma keluarga bukan berarti kita harus memusuhi orangtua atau memutuskan tali silaturahmi. Sebaliknya, film ini mengajarkan bahwa empati adalah kunci untuk mengerti bahwa setiap orang, termasuk orangtua kita dahulu, adalah manusia yang juga bisa berbuat salah.
“Akting itu sebenarnya belajar untuk menjadi manusia dan mengerti manusia satu sama lain. Kita harus punya empati juga atas peran lawan kita,” ujar Hamish Daud yang menekankan pentingnya memahami sisi emosional antarmanusia.
Dengan mengedepankan empati, film ini memberikan pesan tersirat untuk bisa membangun komunikasi yang lebih hangat dan terbuka. Memahami perasaan satu sama lain akan menjauhkan keluarga dari konflik yang berkepanjangan.
Pada akhirnya, pesan dari film Malam 3 Yasinan mengajak kita untuk lebih berani menghadapi luka masa lalu demi menciptakan hubungan keluarga yang lebih sehat dan jujur. Bagaimana menurut mama, apakah sudah siap untuk mulai terbuka dan memutus rantai trauma demi masa depan si kecil yang lebih cerah?
FAQ Pesan Film Malam 3 Yasinan
| Apa pesan utama film Malam 3 Yasinan tentang keluarga? | Film ini menyoroti bagaimana trauma keluarga yang tidak disadari bisa diwariskan lintas generasi, serta pentingnya kejujuran untuk memutus pola tersebut |
| Bagaimana film ini menggambarkan peran anak dalam keluarga? | Lewat karakter Samira, film menunjukkan keberanian anak untuk mengambil jarak dari pola asuh kaku dan membangun identitas diri yang lebih sehat. |
| Mengapa kejujuran menjadi tema penting dalam Malam 3 Yasinan? | Ego yang terlalu tinggi dari anggota keluarga tertua sering kali menjadi penghalang komunikasi dan memicu konflik berkepanjangan. Menurunkan ego menjadi langkah bijak untuk menciptakan keharmonisan dan memberikan ruang bagi anak untuk didengar. |


















