5 Fakta Penting tentang Kematian Ibu Nifas Usai Persalinan, Wajib Tahu

- Angka kematian ibu masih tinggi di dunia, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah
- Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menurunkan angka kematian ibu nifas usai persalinan
- Pendarahan pascapersalinan menjadi penyebab utama kematian ibu nifas, peran tenaga kesehatan sangat menentukan
Kehilangan seorang ibu setelah melahirkan bukan hanya duka bagi keluarga, tetapi juga tragedi sosial yang bisa dicegah.
World Health Organization atau WHO mencatat bahwa lebih dari 700 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan dan persalinan, atau hampir satu kematian setiap 2 menit.
Sebagian besar kematian ini terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia, di mana akses dan kualitas layanan kesehatan masih belum merata.
Padahal, sebagian besar komplikasi yang menyebabkan kematian dapat diatasi dengan penanganan medis yang tepat waktu.
Penting bagi kita untuk memahami bagaimana kondisi ini masih terjadi, apa penyebab utamanya, serta bagaimana upaya yang bisa dilakukan agar angka tersebut menurun.
Dilansir dari beberapa sumber Popmama.com telah rangkumkan 5 fakta penting tentang kematian ibu nifas usai persalinan. Simak baik-baik, ya, Ma.
1. Angka kematian ibu masih tinggi di dunia

Menurut WHO, pada tahun 2023 terdapat sekitar 260.000 kematian ibu di seluruh dunia akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Sebanyak 92% kasus terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana akses ke tenaga medis terlatih masih terbatas.
Artinya, masalah utama bukanlah karena komplikasi tidak bisa ditangani, melainkan karena keterlambatan atau kurangnya layanan medis yang berkualitas.
WHO menegaskan bahwa kematian akibat perdarahan, hipertensi, atau infeksi bisa dicegah dengan perawatan tepat waktu.
Di sisi lain, ilansir dari Xinhua, The United Nations Population Fund UNFPA menyoroti bahwa di Indonesia, target penurunan angka kematian ibu masih jauh dari ideal sehingga butuh percepatan upaya penangangan.
Dengan kata lain, kondisi ini bukanlah takdir, melainkan cerminan dari sistem kesehatan yang masih perlu diperkuat.
2. Indonesia masih menghadapi tantangan besar

Dilansir dari BMC Pregnancy and Childbirth, meskipun angka Maternal Mortality Ratio (MMR) di Indonesia berhasil turun dari 450 menjadi 249 per 100.000 kelahiran hidup antara tahun 1990–2020, angka ini masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan sembilan negara tetangga di Asia Tenggara.
Penurunan ini memang menunjukkan kemajuan, tetapi ketimpangan antarwilayah masih menjadi masalah besar. Wilayah Jawa–Bali mencatat MMR yang relatif rendah, sementara di Sulawesi dan bagian timur Indonesia bisa lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional.
Data dari WHO juga mencatat bahwa jarak rata-rata ke rumah sakit di Jawa–Bali hanya 0,5 km, sedangkan di Sulawesi bisa mencapai 29 km.
Bayangkan, Ma, seorang ibu yang mengalami perdarahan hebat setelah melahirkan harus menempuh jarak sejauh itu sebelum mendapatkan pertolongan. Kondisi darurat seperti tekanan darah tinggi atau komplikasi lain menjadi sulit tertangani dengan cepat.
Akibatnya, banyak kasus kematian ibu nifas terjadi karena keterlambatan penanganan. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun angka MMR nasional sudah menurun, namun upaya menekan angka kematian ibu nifas usai persalinan masih panjang dan penuh tantangan.
3. Pendarahan pascapersalinan jadi penyebab utama

Salah satu penyebab paling sering dari kematian ibu nifas adalah perdarahan pascapersalinan. WHO menekankan bahwa perdarahan hebat setelah melahirkan dapat membunuh perempuan sehat hanya dalam hitungan jam bila tidak segera ditangani.
Penelitian dalam Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science juga menemukan bahwa perdarahan masih menduduki posisi teratas penyebab kematian ibu di Sukabumi, meski jumlah kasus menurun dari 14 kasus pada tahun 2022 menjadi 7 kasus di tahun 2023.
Hal tersebut menegaskan bahwa kontrol dan penanganan perdarahan sangat penting dalam penyelamatan nyawa ibu.
4. Peran tenaga kesehatan sangat menentukan

Kematian ibu nifas banyak terjadi karena ibu tidak mendapatkan pertolongan yang cepat dan tepat. WHO menyebutkan, suntikan oksitosin segera setelah melahirkan mampu mengurangi risiko perdarahan.
Sayangnya, akses ke tenaga kesehatan terampil masih rendah di negara berkembang.
Kembali dilansir Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science menunjukkan 77% bidan di wilayah Pelabuhan Ratu belum pernah mengikuti pelatihan PPGDON atau Pelatihan Penanggulangan Gawat Darurat Obstetri Neonatal.
Padahal, semakin terlatih tenaga kesehatan, semakin besar peluang ibu untuk selamat. Mama bisa melihat betapa krusialnya peran bidan dan tenaga medis dalam menekan kematian ibu nifas usai persalinan.
5. Pentingnya monitoring dan sistem respons cepat

Salah satu langkah kunci untuk menekan angka kematian ibu adalah membangun sistem monitoring dan respons cepat terhadap komplikasi.
WHO menekankan perlunya audit maternal, yaitu evaluasi kasus kematian ibu untuk menemukan penyebab dan langkah pencegahan.
Dengan sistem seperti ini, setiap kematian ibu bukan hanya sekadar angka, melainkan menjadi pelajaran dan evaluasi untuk menyelamatkan nyawa berikutnya.
Dengan sistem monitoring yang kuat, tenaga medis bisa bertindak lebih cepat ketika ada komplikasi. Oleh karena itu, monitoring dan sistem respons cepat menjadi kunci pencegahan kematian ibu nifas usai persalinan.
Itulah beberapa fakta penting tentang kematian ibu nifas usai persalinan yang masih menjadi masalah serius, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Sebagian besar kematian sebenarnya bisa dicegah, tetapi perdarahan, hipertensi, dan infeksi tetap menjadi penyebab utama. Peran tenaga kesehatan yang lebih kuat, ditambah sistem monitoring dan audit maternal yang efektif, bisa menjadi solusi penting untuk menekan angka ini.
Mari bersama dukung upaya peningkatan layanan kesehatan ibu agar lebih banyak nyawa terselamatkan.



















