TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

10 Cara Menangani Anak yang Bersikap Temperamental

Bantu anak Mama mengatur emosi, agar ia tidak mudah mengamuk

Pixabay/martakoton

Di usia ini, anak bisa jadi memiliki kesulitan untuk  mengatur emosi yang mereka rasakan. Contohnya, mengamuk karena kemauannya tidak terpenuhi, teramat sedih jika kalah dalam perlombaan, atau keinginan spontan untuk berkelahi saat merasa terganggu oleh teman.

Ini artinya, si Anak mengalami perasaan kuat yang tak bisa ia kendalikan. Ada anak yang malah menjadi seperti tak terkendali karena tahu dengan bertingkah demikian maka orangtua akan mengabulkan keinginannya, dan ada juga anak yang memang tidak bisa memendam perasaan karena dirinya amat sensitif.

Adakah cara untuk menangani anak seperti ini? Jangan khawatir, Ma, yuk ajarkan anak untuk menenangkan dirinya daripada sikapnya menjadi berlebihan.

Mengapa Hal ini Bisa Terjadi?

Pixabay/Geralt

Lindsey Giller, seorang psikolog di Child Mind Institute, AS, menjelaskan bahwa, "reaksi beberapa anak memang lebih berlebihan dibandingkan teman sebaya atau bahkan saudara kandungnya. Mereka tidak hanya merasakan sesuatu dengan lebih intens dan cepat, namun mereka bisa jadi sering memiliki kemampuan yang lambat untuk kembali menjadi tenang."

Menurutnya, sisi emosional otak pada anak-anak seusia ini tidak berkomunikasi dengan sisi rasional, yang biasanya mengatur emosi dan merencanakan cara terbaik untuk menghadapi suatu situasi.

Berikut 10 cara yang dapat Mama lakukan dalam membantu si Anak agar bisa memenangkan dirinya:

1. Pikirkan kembali emosi yang ada

Pixabay/Engin_Akyurt

Mama bisa membantu si Anak untuk memahami bagaimana cara emosi mereka terjadi. Emosi tidak datang dalam sekejap, namun semakin menumpuk dari waktu ke waktu. Ajarilah anak untuk mengendalikan emosi dengan merasakan dan memberi nama perasaan tersebut saat awal emosi itu hadir, sebelum menjadi terlalu besar untuk ditangani.

Banyak anak yang tidak mau mengakui adanya emosi negatif dalam diri mereka. "Banyak anak tumbuh dengan menanggap bahwa kecemasan, kemarahan, atau kesedihan adalah emosi yang buruk," ungkap Stephanie Samar, seorang psikolog dari Child Mind Institute.  Menurutnya, menerima dan kemudian memberi nama emosi yang dirasakannya ini adalah "dasar untuk memecahkan masalah agar ia bisa mengelolanya."

Mama juga harus mengakui, bahwa Mama bisa jadi selalu menekan munculnya perasaan negatif, karena ingin si Anak bahagia. Tidak boleh menangis misalnya. Tetapi menurut Dr. Samar, anak-anak perlu belajar bahwa semua orang memiliki beragam perasaan.

2. Berilah contoh dalam mengelola emosi

Pixabay/PublicDomainPictures

“Untuk anak-anak yang lebih muda, menggambarkan perasaan Anda sendiri dan memberi contoh bagaimana Anda mengelolanya, adalah hal yang amat berguna,” kata Dr. Samar. Mereka akan memperhatikan bagaimana Mama menyusun strategi terkait perasaan Mama sendiri. Misalnya ketika Mama merasa gugup atau frustrasi, kemudian bagaimana Mama menangani perasaan itu.

Mama dapat membantu si Anak untuk berlatih mengenali emosi. Coba beri rangking intensitas emosi Mama mulai 1-10, dengan 1 adalah cukup tenang dan 10 sangat marah. Mama bisa menggunakan termometer untuk membantu si Anak menilai amarahnya. Jika Mama lupa membawa barang yang seharusnya dibawa saat mengunjungi sang Nenek, misalnya, Mama bisa mengatakan kepada si Anak bahwa Mama merasa frustasi pada level 4. Hal ini akan mengajarkan si Anak untuk berhenti sejenak dan memperhatikan apa yang mereka rasakan.

Jika Mama melihat si Anak mulai marah terkait akan sesuatu, tanyakan kepadanya apa yang ia rasakan, dan seberapa besar angka amarah yang ia rasakan.

3. Dengarkan dan pahami perasaan si Anak

Pixabay/Geralt

Ini adalah alat yang ampuh untuk membantu anak menjadi tenang. Mama juga harus mau memahami dan menerima apa yang si Anak rasakan. Perhatikanlah ia dengan sepenuh hati. "Jadi, Anda bisa mengenali bahasa tubuh serta ekspresi wajahnya, dan benar-benar bisa mencoba memahami sudut pandangnya," kata Dr. Samar.

Dalam memahami emosi si Anak, Mama bisa bertanya, "Mama benar tidak soal perasaanmu?" Atau jika Mama belum mengerti perasaan si Anak, Mama bisa berkata kepadanya, "Sebentar ya, Mama lagi berusaha mengerti apa yang kamu rasakan."

Membantu si Anak dengan menunjukkan kepada mereka bahwa Mama mendengarkan dan mencoba memahami apa yang ia alami, dapat membantu menghindari perilaku meledak-ledak saat emosinya semakin membuncah.

4. Abaikanlah tingkah buruknya

Pixabay/iamyouwere

Memberi perhatian pada perasaan yang dialami si Anak bukan berarti memberi perhatian pada perilaku buruk yang ia lakukan. Mengabaikan perilaku buruk seperti rengekan, bahasa yang tidak pantas, atau amukan tiba-tiba, adalah salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan perilaku ini diulang kembali oleh si Anak.

"Palingkan wajah atau tubuh Anda, atau menjauhlah bahkan tinggalkan ruangan ketika anak sengaja melakukan perilaku buruk untuk menarik perhatian Anda," papar Dr. Giller.

Namun jangan lupa ya Ma, begitu si Anak melakukan sesuatu yang terpuji, fokuskan kembali perhatian Mama kepadanya.

5. Beri perhatian positif

Pixabay/Adinavoicu

Hal paling kuat yang dimiliki orangtua dalam mempengaruhi perilaku adalah perhatian. Perhatian positif akan meningkatkan perilaku yang ingin Mama bentuk.

Saat Mama ingin membentuk perilaku baru, perilaku untuk tenang misalnya, Mama harus benar-benar menekankah si Anak bahwa itu adalah hal yang baik, dan Mama benar-benar fokus pada perilaku itu.

Jadi, saat membantu si Anak menghadapi emosinya, perhatikan upayanya untuk bersikap tenang, misalnya. Contohnya, Mama mengajarkannya untuk menarik napas dalam-dalam saat si Anak merasakan emosinya meningkat. Mama harus menghargai sekecil apapun usaha si Anak untuk melakukan hal itu. Temanilah ia untuk mengambil napas dalam lagi, secara bersama-sama.

6. Tetapkan harapan yang jelas

Pixabay/Pexels

Cara lain agar anak dapat mengatur emosinya adalah Mama harus bisa membuat harapan yang jelas, dan membuatnya mengikuti rutinitas secara konsisten. "Sangat penting untuk menjaga harapan itu jelas dan singkat," kata Dr. Samar. Sampaikan aturan dan perilaku yang diharapkan ketika Mama dan si Anak tenang.

Saat perubahan tidak dapat dihindari, ada baiknya memberikan peringatan terlebih dahulu. Transisi sangat sulit untuk anak-anak yang memiliki masalah dengan emosi, terutama jika itu artinya menghentikan kesenangan yang sedang mereka lakukan.

Memberikan peringatan sebelum transisi dapat membantu anak-anak merasa lebih siap. Dr Giller mencontohkan, Mama bisa mengatakan kepada si Anak, bahwa, "dalam 15 menit, kita akan duduk di meja untuk makan malam. Jadi kamu harus mematikan PS4 kamu saat itu." Mungkin si Anak masih merasa sulit untuk mematuhi hal ini. Namun, menegaskan harapan Mama secara jelas akan membantu si Anak agar lebih merasa terkendali dan tetap tenang.

7. Berikan pilihan

Pixabay/geralt

Saat Mama meminta si Anak untuk melakukan sesuatu yang bisa jadi tidak mereka sukai,  Mama bisa memberikan pilihan agar ledakan emosinya bisa dikurangi, serta membuat kepatuhannya meningkat.

Misalnya: "Kamu bisa ikut Mama belanja makanan, atau kamu bisa pergi dengan Papa menjemput kakakmu." Atau, "Kamu siap-siap tidur sekarang dan kita bisa baca buku sama-sama, atau kamu siap-siap tidur 10 menit lagi dan tidak ada membaca buku bersama-sama."

“Memberi dua pilihan akan mengurangi negosiasi yang dapat menyebabkan ketegangan,” saran Dr. Samar.

8. Berpikir ke depan

Pixabay/freeGraphicToday

Ini artinya merencanakan terlebih dahulu hal yang Mama prediksi mungkin merupakan situasi yang menantang secara emosional. Itu artinya, berbicaralah saat Mama dan si Anak dalam keadaan tenang. Misalnya tentang apa yang akan terjadi, berterus terang akan emosi negatif apa yang bisa muncul, dan mengatur strategi bagaimana melewatinya.

Jika terakhir kali di rumah sang Nenek si Anak mengamuk karena tidak diizinkan untuk melakukan sesuatu yang biasa dia lakukan di rumah, saat merencanakan kunjungan berikutnya Mama jadi tahu bahwa si Anak bisa jadi kembali frustrasi dan marah. Mama dan si Anak harus bisa mendiskusikan bagaimana ia bisa mengatasi perasaan itu. Melalui pembicaraan ini, bisa jadi timbul kesepakatan untuk melakukan hal lain yang boleh dilakukan di rumah sang Nenek dan membuat si Anak senang.

Membicarakan situasi stres sebelumnya akan membantu menghindari krisis. "Jika Anda membuat rencana terlebih dahulu, ini artinya meningkatkan kemungkinan, keadaan akan berakhir dalam situasi positif," ungkap Dr. Samar.

9. Selesaikan masalah

Pixabay/TeroVesalainen

Jika seorang anak mengamuk, orangtua seringnya ragu untuk membicarakan kembali hal itu, menurut Dr. Samar. “Wajar jika kita ingin melupakan hal itu. Tapi, lebih baik untuk membicarakannya kembali secara singkat, dengan cara yang tidak menghakimi," paparnya.

Meninjau kembali peristiwa sebelumnya, misalnya amukan di toko mainan, membuat anak berpikir tentang apa yang terjadi, dan menyusun strategi tentang apa yang bisa dilakukan secara berbeda.

Jika Mama dapat menemukan satu atau dua hal yang mungkin mengarah pada hasil yang berbeda, si Anak mungkin akan mengingatnya lain kali, saat ia mulai merasa kewalahan menghadapi emosinya.

10. Sediakan liima menit yang spesial dalam sehari

Pixabay/Congerdesign

Walaupun Mama hanya menyisihkan sedikit waktu setiap hari untuk melakukan sesuatu yang dipilih oleh si Anak, hal ini bisa membantunya untuk mengatasi stres di lain waktu.

Lima menit yang spesial ini adalah waktu bagi terbentuknya: hubungan yang positif, tanpa komentar yang bersifat menggurui, mengabaikan kesalahan kecil, yang intinya orangtua hadir untuk si Anak dan membiarkan ia untuk memutuskan semuanya.

Hal ini dapat membantu anak yang mengalami masa sulit di sekolah, misalnya. Karena ia dapat menantikan waktu spesial tersebut bersama orangtuanya. "Lima menit perhatian orangtua ini seharusnya memang tidak bergantung hanya pada perilaku yang baik," kata Dr. Samar. "Inilah saatnya, tidak peduli apa yang terjadi hari itu, sebagai penegasan orangtua kepada anak bahwa, "Aku mencintaimu apa pun yang terjadi.'"

Baca Juga:

The Latest