7 Dampak Buruk Sering Memarahi Anak, Mengganggu Otak hingga Kesehatan!

Mendidik anak tentunya bukanlah perkara yang mudah, Ma. Seringkali, Mama harus memarahi si Anak dalam menghadapi tingkah laku anak mama yang mengejutkan maupun sebagai upaya pendisiplinan.
Meskipun memarahi atau berteriak pada anak adalah respon spontan yang terkadang sulit dihindari, Mama perlu mengetahui bahwa perilaku dalam pola asuh ini dapat memberikan berbagai dampak serius pada kesehatan mental dan tumbuh kembang anak secara keseluruhan.
Dilansir dari Healthline, tindakan memarahi atau meninggikan suara saat si Anak melakukan perilaku yang tidak baik, ternyata dapat memperparah perilaku buruk tersebut.
Membuat si Anak semakin sering melakukan hal yang tidak Mama sukai karena efek trauma dari peristiwa dimarahi dapat termanifestasi menjadi perilaku buruk lainnya.
Hal tersebut tentunya menjadi pengingat bahwa marah bukanlah respon yang tepat terhadap perilaku si Anak yang kurang baik.
Di artikel ini, Popmama.com telah merangkum 7 dampak buruk sering memarahi anak yang harus Mama ketahui dan waspadai.
1. Gangguan perkembangan otak dalam jangka panjang

Sering memarahi anak dengan nada keras atau teriakan bukan hanya memengaruhi perasaan mereka saat itu, tetapi juga berdampak langsung pada perkembangan otak.
Stres yang muncul berulang kali akan mengaktifkan hormon kortisol dalam jumlah tinggi, yang dalam jangka panjang bisa mengganggu area otak seperti amigdala, yang berfungsi sebagai pengatur emosi dan prefrontal cortex yang berfungsi sebagai pengatur pengambilan keputusan dan konsentrasi.
Menurut penelitian yang diterbitkan di BMJ Open, anak yang mengalami pelecehan verbal memiliki risiko 64% lebih besar mengalami masalah kesehatan mental di masa dewasa, termasuk depresi, gangguan cemas, hingga PTSD.
Bahkan, efeknya dapat lebih buruk dibandingkan kekerasan fisik.
Kondisi ini bisa semakin parah jika kemarahan orang tua menjadi pola yang konsisten, karena anak akan tumbuh dalam keadaan selalu siaga yang melelahkan mental dan fisiknya.
2. Menurunnya rasa percaya diri dan harga diri

Anak yang sering dimarahi, terutama dengan kata-kata kasar atau kritikan yang merendahkan, akan mulai meyakini bahwa dirinya tidak pernah cukup sebagai manusia.
Hal ini akan mengikis rasa percaya diri dan harga diri si Anak sedikit demi sedikit. Bukannya merasa termotivasi, anak justru akan takut mencoba hal baru karena khawatir akan salah dan dimarahi lagi.
Kondisi ini dapat memberi pengaruh besar terhadap hubungan sosial si Anak karena mereka lebih memilih diam atau menghindar daripada tampil di depan orang lain.
Seiring waktu, anak yang terbiasa mendengar omelan cenderung memiliki pola pikir negatif tentang dirinya dan merasa kurang berharga di mata orang lain.
Studi psikologi perkembangan menjelaskan bahwa kata-kata orangtua memiliki efek jangka panjang pada pembentukan konsep diri anak,
terutama di masa usia prasekolah hingga sekolah dasar ketika otak dan kepribadian si Anak sedang berkembang pesat.
3. Kecemasan, ketakutan, dan gangguan emosi

Kemarahan berlebihan dari orangtua bisa memunculkan rasa takut yang berkepanjangan pada diri si Anak.
Anak akan merasa selalu berada di bawah ancaman sehingga sulit untuk merasa aman, bahkan di rumah sendiri.
Akibatnya, si Anak cenderung mengalami kecemasan berlebihan, sulit berkonsentrasi, dan memiliki respon emosional yang tidak stabil.
Jika kondisi ini berlangsung lama, anak berisiko besar mengalami gangguan kecemasan, depresi, atau stres pasca trauma.
Rasa takut ini juga membuat anak enggan berinteraksi atau mencoba hal baru, karena selalu mengantisipasi kemarahan orangtua.
Beberapa psikolog anak menyebut efek ini sebagai emotional dysregulation. Dimana anak tidak mampu mengelola emosi dengan sehat karena terlalu sering berada di bawah tekanan emosional.
Lingkungan rumah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi sumber stres utama, adalah kondisi yang sangat tidak ideal dalam mendukung tumbuh kembang anak.
4. Terhambatnya hubungan emosional dengan orangtua

Hubungan anak dan orangtua dibangun dari rasa aman, kepercayaan, dan komunikasi positif. Namun, jika interaksi didominasi oleh kemarahan dan omelan, anak akan sulit merasa nyaman.
si Anak bisa memilih untuk menyembunyikan perasaan atau masalahnya agar tidak dimarahi. Hal ini akan menciptakan jarak emosional yang semakin lebar seiring waktu.
Anak yang kehilangan rasa percaya pada orangtua akan mencari sumber dukungan dari luar, yang tidak selalu positif.
Dalam jangka panjang, relasi yang rusak ini sulit diperbaiki jika tidak ada perubahan pola komunikasi. Anak akan cenderung membuka diri kepada orangtua yang mendengarkan tanpa menghakimi, bukan yang langsung memarahi setiap kali terjadi kesalahan.
Rasa hubungan emosional yang sehat menjadi dasar penting tumbuh kembang anak
5. Munculnya perilaku agresif atau pemberontak

Anak belajar banyak hal dari perilaku orangtua. Jika yang sering si Anak lihat adalah kemarahan dan teriakan, maka kemungkinan besar pola tersebutlah yang akan diadaptasi dalam perilakunya.
Anak bisa menjadi mudah tersinggung, memukul, atau membentak teman dan saudara sebagai bentuk menyalurkan emosi.
Anak juga berpotensi besar untuk menjadi pemberontak yang sengaja melanggar aturan sebagai bentuk protes terhadap kontrol berlebihan dari orangtua.
Pola ini disebut sebagai modeling behavior. Dimana perilaku orangtua menjadi acuan utama anak dalam bereaksi terhadap masalah.
Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat menghambat kemampuan anak untuk memecahkan konflik secara sehat, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat.
6. Menarik diri dan kesulitan sosial

Tidak semua respon terhadap kemarahan orangtua terwujud dengan perlawanan. Banyak yang justru memilih menarik diri, menjadi pendiam, dan menghindari interaksi sosial.
Anak yang tumbuh di bawah kemarahan orangtua menjadi lebih takut salah bicara atau berbuat, atau melakukan apapun yang bisa memicu kemarahan orangtua.
Sikap ini berisiko membuat si Anak kesulitan membangun pertemanan, kehilangan rasa percaya pada orang lain, dan merasa kesepian.
Dalam beberapa kasus, anak bisa mengembangkan social anxiety yang menghambat prestasi sekolah maupun perkembangan pribadinya.
Dukungan emosional yang konsisten dari orangtua sangat penting untuk membangun keterampilan sosial anak.
Jika rumah menjadi tempat yang penuh kritik, anak akan kehilangan kesempatan untuk belajar berinteraksi secara sehat dan penuh percaya diri.
7. Gangguan fisik dan masalah kesehatan

Stres akibat sering dimarahi tidak hanya memberi pengaruh pada pikiran, tetapi juga tubuh anak.
Kortisol, atau hormon stres, yang diproduksi berlebihan dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh, membuat anak lebih rentan terhadap infeksi, gangguan pencernaan, dan sakit kepala.
Tekanan berkepanjangan juga dapat memicu masalah tidur, kelelahan kronis, hingga nyeri otot. Dalam beberapa kasus, stres jangka panjang pada masa kecil dikaitkan dengan risiko penyakit serius di kemudian hari, seperti penyakit jantung atau masalah metabolisme.
Anak yang mengalami gangguan fisik akibat tekanan emosional biasanya juga menunjukkan tanda-tanda psikosomatis, yaitu keluhan fisik yang dipicu oleh stres mental.
Oleh karena itu, menjaga kestabilan emosi saat berinteraksi dengan anak menjadi langkah penting untuk kesehatan holistik mereka.
Itulah informasi mengenai 7 dampak buruk sering memarahi anak. Yuk, lebih bijak dalam merespon kenakalan anak agar si Anak mendapatkan haknya untuk tumbuh secara optimal!



















