Darurat Bullying di Sekolah, Orangtua Pertanyakan Sistem Keamanan di Sekolah

Belakangan ini, masyarakat Indonesia kerap dibuat miris dengan sejumlah pemberitaan terkait kasus perundungan (bullying) yang menimpa anak-anak, bahkan hingga merenggut nyawa.
Fenomena ini menandakan bahwa kekerasan di lingkungan sekolah telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan aturan tentang pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap sekolah, pada kenyataannya, aturan ini sering dianggap sebagai "macan kertas" belaka yang membuat banyak orangtua yang justru mempertanyakan keberadaannya.
Melansir dari wawancara yang dilakukan BBC News Indonesia kepada sejumlah orangtua korban, terungkap betapa dalam luka yang ditinggalkan oleh perundungan. Mereka tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga harus berjuang mencari keadilan.
Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap di tengah maraknya kasus bullying pada anak? Berikut Popmama.com rangkumkan informasi selengkapnya.
1. Kisah pilu orangtua korban kelas 3 SD yang tewas akibat pengeroyokan

Dedik Handi Kusuma menjadi salah satu dari banyaknya orangtua korban bullying di kalangan anak-anak.
Sebagai seorang papa, ia harus merasakan pahitnya kehilangan anak semata wayangnya, TA, yang merupakan seorang siswa kelas 3 SD di Wonosobo, Jawa Tengah.
Kasus TA sempat ramai dan viral di media sosial pada bulan Oktober lalu, setelah kabar tewasnya TA yang diduga mengalami perundungan fisik oleh empat teman sekelasnya.
Dalam ceritanya, Dedik menjelaskan bahwa awal mulanya sang anak hanya mengeluh sakit perut dan dilarikan ke rumah sakit. Ia dan istri baru menyadari kejadian sebenarnya lima hari kemudian, setelah mendapat informasi bahwa anaknya dikeroyoki oleh teman-temannya.
Saat kondisinya sudah kritis dan terbaring lemah di ICU, TA akhirnya bercerita bahwa ia dipukul di perut oleh temannya. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan tulang rusuk yang retak dan pendarahan infeksi di paru-paru.
Yang paling menyedihkan, Dedik menuturkan bahwa pihak sekolah seolah menutupi dan tidak memberitahukan insiden tersebut kepadanya.
Setelah berjuang selama beberapa hari, TA akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Pihak sekolah yang datang hanya bisa mengutarakan rasa sesal dan maafnya karena telat memberi tahu insiden mengerikan tersebut.
Dedik sangat menyayangkan bahwa selama ini dirinya tak mengetahui adanya sosialisasi anti-perundungan yang seharusnya dilakukan pihak sekolah untuk keamanan semua murid, termasuk mendiang anaknya.
Tragedi ini viral di media sosial dan memaksa polisi melakukan ekshumasi untuk menyelidiki penyebab kematiannya. Hingga kini hampir sebulan berlalu, Dedik masih menunggu kejelasan tanggung jawab dari pihak sekolah atas meninggalnya sang putra.
2. Verbal bullying berujung menyakiti diri

Selain Dedik, Edo yang juga orangtua dari anaknya yang menjadi korban bullying turut mengutarakan rasa pilu dan kecewanya akan perlindungan anak di sekolah.
Orangtua dari Bibim, seorang pelajar kelas 3 SD di Padang Pariaman, Sumatra Barat, tak menyangka anaknya menjadi korban perundungan verbal.
Awalnya, ia mengamati perubahan drastis pada putrinya yang semula ceria menjadi murung dan kehilangan nafsu makan. Bibim bahkan tiba-tiba hanya makan dengan porsi sangat sedikit tak seperti biasanya.
Kekhawatiran Edo memuncak ketika Bibim sampai memaksakan diri berolahraga hingga kelelahan dan mengeluarkan darah dari hidung. Setelah dibawa ke rumah sakit dan diperiksa dokter, ia hanya dinyatakan kelelahan dan kekurangan karbohidrat.
Saat ditanya, barulah Bibim mengaku bahwa ia melakukan diet ketat karena sering diejek "gendut" oleh teman-temannya di sekolah.
Orangtua mana yang tak geram ketika mengetahui sang anak mendapatkan perundungan. Edo kemudian memposting kejadian tersebut di status WhatsApp-nya yang langsung direspons oleh pihak sekolah.
Pihak sekolah segera memanggilnya dan mempertemukan dengan para terduga pelaku yang melakukan perundungan pada anaknya.
Meskipun akhirnya memilih berdamai, Edo sebagai orangtua juga mengutarakan kekecewaan yang sama, yakni menyayangkan tidak adanya sosialisasi anti-perundungan yang jelas di sekolah anaknya.
3. Minimnya kanal pengaduan

Kisah pilu yang dialami oleh orangtua TA dan Bibim hanya sebagian dari kesaksian orangtua korban, Ma. Hal ini tentu menyoroti sebuah masalah sistemik yang mana masih minim atau bahkan tidak adanya kanal pengaduan yang jelas dan aktif di sekolah.
Dedik, Papa dari mendinag TA, mengungkapkan kekecewaannya karena pihak sekolah tidak proaktif melaporkan insiden yang menimpa anaknya, padahal ada guru yang mengetahui kejadian tersebut.
Ia merasa bahwa tidak ada saluran yang efektif bagi orangtua untuk melaporkan atau mendapatkan informasi tentang kekerasan di sekolah.
Hal serupa juga dirasakan oleh Edo, Papa dari Bibim, yang sama sekali tidak mengetahui prosedur penanganan perundungan di sekolah putrinya.
Ketidaktahuan ini membuat orangtua seperti mereka terjebak dalam kebingungan saat anaknya menjadi korban.
Lebih mirisnya, fakta ini juga diperkuat oleh pernyataan Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, yang menyimpulkan bahwa jika orangtua tidak mengetahui adanya prosedur pengaduan, maka bisa dipastikan tim yang dibentuk hanya sekadar formalitas tanpa fungsi yang nyata.
4. TPPK apakah benar nyata atau sekadar formalitas belaka?

TPPK atau Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan sebenarnya telah diatur dalam Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023.
Tim ini wajib dibentuk di setiap sekolah, mulai dari PAUD hingga SMA/SMK, dengan tugas antara lain menerima laporan kekerasan, menindaklanjuti laporan, mendampingi korban, dan melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan.
Namun, dalam praktiknya, keberadaan TPPK sering kali hanya sebagai formalitas di atas kertas. Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menyoroti masalah mendasar ada pada guru yang menjadi anggota TPPK sudah disibukkan dengan tugas mengajar sehari-hari, sehingga sulit untuk fokus menangani kasus kekerasan. Mereka juga tidak mendapatkan insentif atau anggaran khusus untuk tugas tambahan ini.
Akibatnya, TPPK justru tak berfungsi optimal. Alih-alih menjadi garda terdepan pencegahan, tim ini justru tidak dikenal oleh warga sekolah, termasuk orangtua.
Pembiaran dan ketidakseriusan dalam menangani laporan pun akhirnya terjadi, seperti yang dialami oleh keluarga korban TA dan Bibim sebagaimana diceritakan sebelumnya.
5. Pemerintah menanggapi dan janji evaluasi

Maraknya kasus perundungan yang memakan korban jiwa akhirnya mendapat respons dari pemerintah. Presiden Prabowo Subianto yang ditemui saat mengunjungi SMPN 4 Bekasi langsung meminta menteri terkait untuk mengatasi masalah kekerasan di lingkungan sekolah.
Sinyal positif ini diikuti oleh pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, yang menyatakan bahwa pihaknya akan segera menerbitkan peraturan menteri baru untuk memitigasi kasus kekerasan di sekolah.
Peraturan baru ini akan memperbaiki aturan sebelumnya dengan membentuk tim di sekolah yang lebih humanis, komprehensif, dan partisipatif dengan melibatkan orangtua, murid, dan masyarakat.
Meski demikian, masyarakat menunggu langkah pasti dan implementasi yang menyeluruh. Janji evaluasi dan peraturan baru ini juga harus diiringi dengan pengawasan yang ketat dan alokasi anggaran yang memadai agar tak berakhir sebagai wacana semata.
Darurat perundungan di Indonesia yang sudah memakan banyak korban anak-anak ini tentu tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Setiap anak berhak merasa aman dan terlindungi di lingkungan sekolahnya.
Kisah-kisah tragis seperti yang dialami TA dan Bibim harus menjadi cerminan bagi semua pihak terutama sekolah, orangtua, dan pemerintah untuk bergerak bersama menciptakan sistem pencegahan dan penanganan yang benar-benar efektif dan berperspektif korban.
Jangan sampai ada lagi nyawa anak-anak yang menjadi tumbal karena pembiaran dan sistem yang lamban bertindak. Yuk, terus suarakan stop bullying di sekolah!



















