Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

Wajarkah Anak Saling Pukul? Ini Kata Psikolog dan Cara Menanganinya

ilustrasi anak tidak akur
Freepik/tonodiaz
Intinya sih...
  • Penyebab anak saling pukul, dari bercanda sampai merasa tersaingi.
  • Dampak konflik fisik terhadap hubungan saudara di masa depan.
  • Sibling rivalry yang sehat itu seperti apa? Psikolog menjelaskan secara detail nih.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Konflik antar saudara kandung adalah hal yang sangat umum terjadi. Anak-anak terutama di usia balita masih dalam tahap belajar mengelola emosi cenderung mengekspresikan perasaan secara fisik, seperti memukul, mencubit, atau mendorong. 

Fenomena ini sering membuat orangtua bingung: apakah harus langsung melerai, membiarkan anak menyelesaikan sendiri, atau justru menegur salah satu di antara mereka?

Menurut psikolog, perilaku agresif antar saudara bukan hanya soal “nakal” atau “bandel,” tetapi dipengaruhi banyak faktor seperti perkembangan usia, kemampuan berkomunikasi, dinamika keluarga, hingga rasa kompetisi sebagai saudara kandung (sibling rivalry). 

Hertha Christabelle Hambalie, M.Psi., Psikolog, seorang Psikolog & Play Therapist di MAI Mental Care sekaligus Psikolog di Clarity Psychology Center, untuk membahas penyebabnya dan bagaimana orangtua bisa hadir sebagai pendamping yang tepat.

Berikut rangkuman wawancara oleh Popmama.com!

1. Penyebab anak saling pukul, dari bercanda sampai merasa tersaingi

ilustrasi anak tidak akur
Freepik

Biasanya, konflik fisik tidak muncul tiba-tiba. Sebagian besar dimulai dari candaan atau permainan yang berujung pada salah paham. 

Ketika salah satu merasa kesal atau tidak nyaman, mereka mengekspresikan emosinya dengan cara fisik karena belum mampu menyampaikan perasaan lewat kata-kata. Faktor lain seperti kelelahan, lapar, atau overstimulasi juga bisa memicu mereka lebih mudah tersinggung saat bermain.

Hertha menjelaskan bahwa hal ini sangat mungkin berakar dari rasa kompetisi sebagai saudara kandung. Karena itu, orangtua perlu peka bahwa pertengkaran fisik anak sering kali merupakan ekspresi dari kebutuhan emosi yang belum terpenuhi. 

"Awalnya main dan bercanda, tapi bisa memicu marah. Bisa juga karena persaingan, merasa orangtua lebih sayang ke saudara,” jelasnya. 

2. Dampak konflik fisik terhadap hubungan saudara di masa depan

ilustrasi anak tidak akur
Freepik/pvproductions

Jika tidak diarahkan, kebiasaan saling pukul dapat berdampak negatif pada hubungan saudara. Anak-anak bisa belajar bahwa menyakiti adalah cara menyelesaikan konflik, sehingga pola ini terbawa hingga remaja atau dewasa.

Hubungan mereka pun berpotensi menjadi renggang karena masing-masing menyimpan rasa tidak aman dan kurang percaya satu sama lain.

“Saling pukul tentu buruk kalau tidak diarahkan. Perlu dijelaskan perilaku itu tidak boleh,” tegasnya. 

Menurut Hertha, orangtua perlu hadir untuk mengarahkan tanpa menyalahkan satu pihak secara sepihak.  Melalui arahan yang tepat, konflik justru bisa menjadi ruang belajar tentang batasan tubuh, empati, dan cara sehat untuk mengelola emosi. 

3. Sibling rivalry yang sehat itu seperti apa?

ilustrasi anak tidak akur
Freepik/pch.vector

Sibling rivalry adalah bagian normal dari tumbuh kembang anak. Dalam konteks sehat, rivalitas justru membantu anak belajar tentang kompetisi positif, mengenal kemampuan diri, dan bekerja sama. 

Bentuk rivalry yang sehat biasanya berupa saling memotivasi tanpa menjatuhkan satu sama lain, seperti berlomba mengerjakan tugas rumah atau berusaha mendapatkan nilai terbaik di kelas masing-masing.

"Sibling rivalry itu sehat kalau masing-masing fokus pada kemampuan mereka sesuai usianya. Ingatkan bahwa tiap anak punya karakter dan kemampuan berbeda," ujarnya. 

Hertha juga menjelaskan bahwa perbedaan usia harus menjadi pertimbangan agar rivalitas berjalan positif. Orangtua berperan penting untuk tidak membandingkan anak karena perbandingan hanya memperkuat rivalitas negatif.

4. Haruskah orangtua melerai saat anak saling pukul?

ilustrasi anak tidak akur
Freepik

Tindakan orangtua sangat dipengaruhi usia anak dan tingkat risiko situasi. Pada anak usia di bawah 3 tahun, kemampuan mengatur emosi masih sangat terbatas. 

Karena itu, orangtua perlu cepat mengintervensi, memisahkan anak, lalu memberi penjelasan singkat tetapi tegas. Sementara pada anak usia di atas 3 tahun, sebagian konflik bisa dibiarkan untuk dilatih menyelesaikan masalah secara mandiri, selama situasinya aman.

"Kalau usianya di bawah 3 tahun baiknya dipisahkan dulu dan ditegur. Jangan sampai melukai, misalnya memukul pakai benda tajam atau keras. Kalau sudah di atas 3 tahun, pisahkan kalau bahaya, tapi boleh biarkan mereka selesaikan konflik,” jelasnya. 

Pendekatan ini membantu anak belajar mengenali batas aman serta cara menyelesaikan masalah yang sehat.

5. Sejauh mana orangtua perlu terlibat? Kenali tanda bahaya

ilustrasi anak tidak akur
Freepik/pikisuperstar

Pada dasarnya, orangtua hanya perlu turun tangan ketika konflik sudah menjurus pada bahaya. Misalnya, anak menggunakan mainan keras untuk memukul atau situasi membuat salah satu berisiko terluka. 

Jika tidak berbahaya, peran orangtua lebih sebagai pengawas dan mediator ringan, bukan penyelesai masalah sepenuhnya. Ini membantu anak belajar regulasi diri.

Hertha sering menangani kasus serupa soal sibling rivalry ini. Ada beberapa alasan mengapa sibling rivalry yang biasanya normal bisa berbahaya untuk anak. 

"Biasanya adik ingin selalu bersama kakak, namun adiknya belum paham permainan yang kakak mainkan. Kadi kakak kesal dan pukul. Adiknya berusaha terus dekat kakaknya yang membuat kakak kesal. Akhirnya diajarkan kalau adik belum mengerti namun karena kakaknya usia dibawah usia 10 tahun, dibuatlah cerita dengan binatang," tuturnya.

Solusi menurut Hertha orangtua bisa membuat cerita dengan metafora seperti kisah kakak panda dan adik panda agar anak memahami tahap perkembangan masing-masing. Cerita seperti ini efektif karena membuat anak lebih mudah memahami konsep empati dan perbedaan usia.

"Kakak panda punya adik adik panda. Lalu adik panda senang sekali mengikuti kakak panda, ia sangat sayang dengan kakaknya. Adik panda suka ikut main dan peluk kakak panda. Si Kakak panda juga mau main bareng, dia kasi tahu, tapi adik panda kecil masih tidak paham. Kakak panda jadi kesal dan tidak mau lagi main. Ibu panda datang, dia kasi liat foto kakak panda, dia kasi tahu kakak panda dulu tidak bisa makan sendiri, tidak bisa main ini itu, dll. Kakak panda jadi tahu kalau adik panda kecil seperti dia dulu, saat masih kecil masih belajar banyak hal. Kakak panda jadi tahu mana yang bisa main sama adik, mana yang tidak bisa. Kapan mereka main sama-sama, kapan main masing-masing saja. Kakak panda juga senang mengajari adik panda, nanti kalau sudah bisa main bareng ya.. kata kakak panda," ungkap Hertha.

Itulah tadi jawaban dari psikolog soal apakah wajar anak saling pukul dan bagaimana orangtua intervensi. Semoga menjadi gambaran dan membantu orangtua!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us

Latest in Kid

See More

5 Peran Penting Papa dalam Membentuk Kecerdasan Anak

16 Des 2025, 15:43 WIBKid