Ditolak 4 RS saat Persalinan, Ibu di Papua Meninggal, Salah Siapa?

- Irene Sokoy meninggal setelah ditolak 4 RS saat hendak melahirkan di Papua.
- Keluarga diminta membayar di muka sebelum tindakan medis dilakukan.
- Kejadian ini menunjukkan kenyataan pahit dalam sistem kesehatan Indonesia.
Irene Sokoy bukan melahirkan secara tiba-tiba. Ia telah melewati kontraksi panjang dan menyakitkan. Sayangnya, ia meregang nyawa saat di perjalanan setelah ditolak 4 rumah sakit.
Kali ini berita duka datang dari Jayapura, Papua. Seorang ibu yang hendak melahirkan buah hatinya meninggal di perjalanan saat ingin mendapatkan pertolongan medis. Setidaknya ada 4 rumah sakit yang menolaknya, meski kondisinya sedang kritis.
Salah satu dari 4 rumah sakit tersebut meminta bayaran di muka sebelum memberikan tindakan, yang sayangnya tidak bisa disanggupi oleh keluarga ibu hamil tersebut. Inilah kenyataan pahit yang terjadi di Indonesia.
Seperti apa kronologisnya? Popmama.com akan merangkumkannya untuk Mama.
1. Mulai kontraksi pada Minggu siang

Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey menyebutkan kalau Irene Sokoy telah merasakan kontraksi di Kensio, Kampung Hobong sejak Minggu, 16 November 2025. Irene yang kala itu tengah hamil anak ketiga langsung dilarikan ke rumah sakit oleh keluarganya.
Kalau Mama biasanya dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil, tidak dengan Irene. Ia dibawa menggunakan speedboat ke RSUD Yowari, Kabupaten Jayapura.
2. Kondisi memburuk dan sedang tidak ada dokter di tempat

Proses persalinan Irene tidak berjalan dengan lancar, seperti yang diceritakan Abraham, yang merupakan mertua Irene. Selama di RSUD Yowari, kondisi Irene makin buruk, bahkan sampai mengalami sesak napas.
Sampai tengah malam, tidak ada tindakan medis yang dilakukan karena dokter sedang tidak berada di tempat. Sedangkan bayi yang berada di dalam kandungan tidak kunjung lahir lantaran tubuh bayi yang terlalu besar.
Keluarga pun meminta rujukan namun mereka menganggap kalau proses pembuatan suratnya dinilai lambat dan berlarut-larut. Namun akhirnya, surat rujukan diberikan saat lewat tengah malam.
3. Mengarah ke RS selanjutnya tanpa kejelasan

Surat rujukan dari RSUD Yowari mengarah ke RS Dian Harapan Waena yang berada di Kota Jayapura. Namun pihak keluarga mengatakan kalau Irene ditolak dan hanya diberikan ruangan yang gelap dan panas.
Hal ini disebabkan, rujukan yang dikeluarkan tidak disertai dengan koordinasi yang jelas. Sehingga, tidak ada tindakan yang bisa langsung diberikan.
4. Ke RS ketiga namun tidak ada dokter juga

Tidak mau membuang waktu, keluarga Irene pindah menuju RSUD Abepura. Namun ternyata pihak rumah sakit juga tidak memberikan pelayanan hingga keluarga Irene sempat protes sampai terlibat keributan.
Bukan dibiarkan begitu saja, namun RSUD tersebut tidak memiliki dokter yang praktek pada saat itu, sehingga tidak bisa dilakukan tindakan.
Dokter memang cukup jarang di Papua. Namun jika dibandingkan dengan daerah lain, Jayapura memiliki ketersediaan dokter yang cukup mumpuni.
5. Diminta bayar uang muka Rp 4 juta di RS selanjutnya

Masih mencari opsi lain, keluarga Irene membawanya ke RS Bhayangkara di Kotaraja, Kota Jayapura. Dokter di sana sempat memeriksa rujukan, dan dua perawat melihat pasien yang ada di dalam mobil.
Meski pasien sudah terlihat sangat payah dan butuh bantuan segera, namun pihak rumah sakit memilih menyampaikan untuk pembayaran uang muka terlebih dahulu karena kamar saat itu hanya sisa yang VIP.
Status BPJS Irene adalah kelas 3 sedangkan kelas tersebut penuh dan sisa kelas VIP. Karena itu, keluarga harus bayar Rp 4 juta sebagai uang muka, barulah Irene akan ditangani.
Keluarga tidak memiliki uang sebanyak itu pada saat itu. Jadi, pihak keluarga memohon agar tindakan medis didahulukan sementara administrasi menyusul. Sayangnya, hal tersebut ditolak pihak rumah sakit.
6. Meninggal di ambulans saat mencari rumah sakit lain

RS Bhayangkara tidak bisa memberikan tindakan dan dokter memberikan surat rujukan ke RSUD Jayapura. Irene yang tengah kritis pun diangkut ambulans untuk kembali ke RSUD Jayapura.
Ironisnya, Irene mengalami kondisi kritis yaitu mulutnya mengeluarkan busa dan napasnya tersengal-sengal saat dalam perjalanan. Keluarga pun memutuskan untuk kembali ke RS Bhayangkara namun sampai sana, nyawa Irene dan bayi tidak bisa diselamatkan lagi.
7. Bagaimana di mata hukum?

Kisah Irene adalah segelintir dari kisah ibu yang meregang nyawa dan kehilangan bayi saat berjuang dalam persalinan. Tentu tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Ini merupakan masalah sistematis antara peraturan pemerintah, aturan BPJS, dan banyak lainnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman mengatakan kalau pada prinsipnya, dalam UU Kesehatan, fasilitas layanan kesehatan dilarang menolak pasien saat kondisi gawat darurat, apalagi meminta uang muka atau mendahulukan urusan administratif.
Hal ini sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 Pasal 32 dan UU No.36 tahun 2014 Pasal 59 menyatakan kalau dokter dan rumah sakit tidak boleh menolak pasien dan/atau meminta uang muka jika pasien dalam keadaan gawat darurat.
Sedangkan dalam UU Kesehatan Pasal 190, penolakan pasien yang dalam kondisi gawat darurat bisa menyebabkan hukuman pidana.
Menurut Asisten Deputi Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, pasien BPJS bisa dititip ke kelas perawatan yang satu tingkat lebih tinggi tanpa membayar selisih.
Hal tersebut berlaku jika kondisi kelas rawat inap sesuai hak di rumah sakit atau FKRTL penuh. Lalu, jika tidak tersedia juga, bisa dirujuk ke rumah sakit lain. Jika mengacu dari aturan tersebut, maka apa yang dilakukan dokter untuk merujuk ke RS lain sudah sesuai dengan aturan BPJS.
Kasus Irene menjadi perbincangan nasional dan beberapa pihak pun mengaku akan menindak tegas hal tersebut. Semoga tidak terulang lagi, ya.


















