TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Bolehkah Ijab Kabul saat Hamil? Begini Tanggapan Para Ulama

Yuk, dilihat dari berbagai konteks!

Freepik/freepik

Melangsungkan pernikahan dalam agama Islam merupakan sebuah ritual yang sakral antara calon suami dan calon istri.

Pernikahan juga harus memenuhi setiap syarat sah nya tersendiri. Jika tidak, maka tidak akan diakui secara agama bahkan hukum yang berlaku di masyarakat.

Namun, banyak pertanyaan yang berseliweran seperti “Apakah boleh melakukan pernikahan dalam keadaan hamil?”

Nah, untuk menjawab hal tersebut, kali Popmama.com akan menyajikan informasinya berdasarkan konteks hamil di luar nikah dan hamil akibat cerai dari pandangan para ulama.

Yuk, disimak dengan baik!

1. Kondisi perempuan yang diceraikan mantan suaminya dalam keadaan hamil

Unsplash/Photos by Lanty

Perempuan yang menikah dalam keadaan hamil, bisa kita lihat dari dua konteks. Pertama hamil karena diceraikan suaminya dalam keadaan hamil, kedua hamil karena terjadi di luar pernikahan.

Keduanya memiliki hukum yang berbeda-beda, apalagi jika ditinjau lebih jauh. Untuk yang pertama, ketika menikah dalam keadaan hamil setelah diceraikan mantan suaminya, jelas dilarang. 

Setelah bercerai dengan mantan suaminya dan dalam keadaan hamil, haram melangsungkan pernikahan. Maka dari itu, harus menunggu masa idah atau masa tunggunya selesai sampai perempuan tersebut melahirkan.

Hal tersebut tertuang dalam firman Allah di surat At-Thalaq ayat 4 yang berbunyi:

 “…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya….”

Para ulama juga menyepakati bahwa jika ingin melangsungkan pernikahan, harus menunggu masa idahnya benar-benar selesai.

Hal tersebut tertuang dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 235 yang artinya:

“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'idahnya..”

2. Kondisi perempuan yang hamil di luar nikah

Unsplash/Ömürden Cengiz

Dilansir dari Kanwil Kemenag Sumsel, melakukan pernikahan dalam kondisi hamil di luar nikah menemukan beragam pendapat para ulama.

  • Pendapat dari Ibnu Hanifah

Menurutnya, bila yang menikahi perempuan hamil tersebut adalah laki-laki yang menghamilinya, maka hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.

  • Pendapat dari Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal

Kedua ulama ini mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi perempuan yang hamil, kecuali setelah perempuan hamil itu melahirkan dan telah habis masa idahnya.

Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu perempuan tersebut harus sudah bertobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih belum boleh menikah dengan siapa pun.

  • Pendapat dari Imam Asy-Syafi’i

Terakhir, Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa baik laki-laki yang menghamili atau yang tidak menghamili, dibolehkan menikahi perempuan tersebut.

  • Pendapat dari Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI ini diatur sesuai Keputusan Menteri Agama RI nomor 154 tahun 1991 yang menyatakan bahwa:

  • Seorang perempuan hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya
  • Perkawinan dengan perempuan hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya

Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat hamil, tidak diperlukan pernikahan ulang setelah anak yang ada di dalam kandungnya lahir

3. Status legalitas anak di mata hukum

Dok. Popmama.com

Seperti dilansir dari Disdukcapil Kabupaten Ende, seorang anak yang dilahirkan di luar pernikahan mempunyai hubungan perdata dengan mamanya dan keluarga sang Mama.

Serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga sang Papa.

Perlu diketahui juga bahwa ada beberapa keadaan yang mengakibatkan seorang anak berstatus sebagai anak luar nikah.

Bisa karena anak tersebut lahir dalam pernikahan yang tidak dicatatkan, tetapi pernikahan tersebut sah secara agama (misalnya pernikahan siri).

Bisa juga anak yang lahir di mana antara orangtuanya tidak pernah ada pernikahan (hamil di luar nikah dan tidak menikah dengan papa biologis si anak).

Berikut syarat mengurus akta kelahiran sang Anak, antara lain:

  • Surat kelahiran dari Dokter/Bidan/Penolong Kelahiran
  • Nama dan Identitas saksi kelahiran
  • Kartu Tanda Penduduk Ibu
  • Kartu Keluarga Ibu
  • Kutipan Akta Nikah/Akta Perkawinan orang tua

Sedangkan untuk pasangan yang melakukan nikah siri, dikutip dari Disdukcapil Kabupaten Purworejo, pasangan nikah siri wajib melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang dibubuhi materai Rp 6.000 dan dua orang saksi.

Sedang syarat lainnya sama dengan persyaratan pengajuan akte kelahiran reguler, kecuali surat nikah. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi meliputi:

  • Melampirkan surat keterangan lahir dari penolong kelahiran (bidan/dokter/rumah sakit)
  • KTP orangtua
  • Kartu Keluarga (KK)
  • Surat nikah (reguler)

Nah, itu tadi beberapa informasi terkait pernikahan yang dilakukan ketika hamil, dilihat dari dua konteks, antara hamil di luar nikah dan kondisi perempuan sudah diceraikan dalam keadaan hamil.

Semoga dapat membantu menambah pengetahuan baru terkait pernikahan, ya. 

Baca juga:

The Latest