Game Online dan Media Sosial Jadi Sarana Rekrutmen Terorisme pada Anak, Waspada!

Anak-anak kini menjadi target baru dalam fenomena perekrutan kelompok terorisme. Data terbaru dari Densus 88 Antiteror Polri menunjukkan peningkatan signifikan jumlah anak yang terpapar paham radikal, dengan modus utama melalui platform game online dan media sosial.
Yang mengkhawatirkan, korban didominasi anak usia 10-18 tahun yang tersebar di 23 provinsi di Indonesia. Kondisi ini tentu menjadi alarm darurat bagi para orangtua di era digital.
Proses rekrutmen paham radikal ini dimulai dari fitur chat dalam game, yang kemudian berlanjut ke grup privat untuk indoktrinasi.
Lantas, bagaimana cara tepat melindungi anak-anak kita dari jerat radikalisme online? Simak ulasan lengkap dan langkah pencegahannya dalam artikel Popmama.com berikut ini.
1. Tercatat ada ratusan korban dalam kurun waktu terakhir

Menurut juru bicara Densus 88 Antiteror, AKBP Mayndra Eka Wardhana, terjadi lonjakan yang sangat signifikan. Pada periode 2011-2017, tercatat hanya 17 anak yang diamankan dari kasus paham radikal ini.
Namun, di tahun 2025 saja, angka tersebut melonjak menjadi 110 anak yang teridentifikasi aksi jejaring terorisme. Data ini menunjukkan adanya perubahan tren dan metode rekrutmen yang semakin masif.
Kelompok radikal kini aktif menjangkau anak-anak dari 23 provinsi di Indonesia, dengan Jawa Barat dan DKI Jakarta sebagai wilayah dengan kasus tertinggi.
Dalam paparannya kepada media, Maydnra menjelaskan bahwa interaksi antara pelaku dan korban anak-anak ini sepenuhnya dilakukan lewat media sosial tanpa pernah bertemu secara langsung.
2. Modus baru dengan memanfaatkan fitur chat di game online

Modus dari penyebaran paham radikal yang digunakan terbilang canggih dan halus. Pelaku memanfaatkan fitur chat yang ada dalam game online untuk menyebarkan propaganda.
Visi-misi kelompok disamarkan sebagai "utopia" atau dunia impian yang menarik bagi fantasi anak. Barulah setelah anak tertarik, mereka akan diajak bergabung ke grup yang lebih privat dan terenkripsi, seperti di aplikasi percakapan tertentu.
Di ruang yang tertutup inilah, proses indoktrinasi dan penyebaran paham radikal secara perlahan mulai dilakukan, jauh dari pengawasan orangtua dan publik.
Mengapa dikata terbilang halus, karena para pelaku merancang proses indoktrinasi ini secara bertahap, dimulai dari penguatan rasa persaudaraan dan pemahaman yang seolah-olah membela kebenaran.
Anak-anak yang sedang dalam masa pencarian jati diri sangat rentan terpengaruh karena mendapatkan perhatian dan rasa diterima yang mungkin tidak mereka dapatkan di lingkungan nyata.
3. Faktor bullying hingga minimnya literasi digital jadi pemicu

Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, dalam paparannya kepada media juga memaparkan beberapa faktor yang membuat anak rentan terpapar.
Di antaranya adalah pengalaman di-bully, kondisi keluarga yang broken home, kurangnya perhatian dari keluarga, serta pencarian jati diri.
Selain itu, marginalisasi sosial dan yang paling krusial adalah minimnya kemampuan literasi digital serta pemahaman agama yang dangkal. Kombinasi faktor-faktor inilah yang dimanfaatkan pelaku untuk menjerat anak-anak yang sedang dalam fase pencarian identitas.
Anak-anak dengan kondisi psikologis yang rentan seringkali mencari pelarian ke dunia online, dan inilah yang dimanfaatkan pelaku.
Mereka menawarkan rasa memiliki dan pengakuan yang selama ini mungkin tidak didapatkan anak di dunia nyata, kemudian membuat anak semakin terjerat dalam jaringan tersebut.
4. Peran aktif keluarga dalam pengawasan

Fenomena ini tentu tidak bisa dianggap remeh. Pihak kepolisian mengimbau kepada masyarakat, khususnya orangtua, untuk berperan aktif dalam mengawasi dan mendampingi anak saat beraktivitas di dunia digital.
Pengawasan bukan berarti pembatasan atau memberhentikan anak di era digital ini, melainkan bentuk edukasi dan perlindungan. Orangtua diajak untuk lebih peduli, mengontrol, serta memberikan pemahaman yang benar tentang penggunaan teknologi, sehingga anak-anak dapat terhindar dari bahaya laten yang mengintai di balik layar.
Beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan orangtua antara lain menempatkan laptop atau komputer di ruang keluarga, membatasi waktu bermain game, dan yang terpenting adalah membangun komunikasi terbuka dengan anak. Tanyakan tentang permainan yang dimainkan, teman online-nya, serta berikan pemahaman tentang bahaya yang mungkin mengintai di dunia digital.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kewaspadaan dan pendampingan orangtua menjadi benteng utama, Ma.
Dengan komunikasi yang terbuka dan pemahaman literasi digital yang baik, kita dapat melindungi generasi penerus dari ancaman yang menyamar di balik hiburan online. Yuk, mari sama-sama kita jaga anak kita!



















