"Di situ kita menggali, sekali lagi menggunakan unsur-unsur yang ada pada scientific investigation semua faktor kita gali supaya mengetahui fakta-faktanya, motivasinya," ungkap Kombes Jean Calvijn di hadapan media.
Kapolrestabes Medan Ungkap Fakta di Balik Anak Bunuh Ibu Kandungnya

Di awal bulan Desember 2025 kemarin, netizen dihebohkan dengan kasus pembunuhan yang diduga dilakukan seorang anak berusia 12 tahun kepada ibu kandungnya sendiri di Medan.
Setelah mendalami dan melakukan pemeriksaan lengkap, Kapolrestabes Medan, Kombes Pol Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, memaparkan secara mendalam motif dan fakta di balik kasus tragis tersebut di hadapan media.
Dalam paparan tersebut, ditemukan fakta bahwa pengaruh game online jadi salah satu motif anak bunuh ibu kandungnya sendiri. Lantas, apa saja motif di balik pembunuhan tragis tersebut?
Berikut Popmama.com rangkmkan penjelasan lengkap yang diungkapkan oleh pihak berwajib.
1. Lingkungan rumah yang tidak sehat dan pengaruh gadget

Investigasi polisi menemukan bahwa tindakan AS berakar dari pengalaman traumatis yang berkepanjangan di dalam rumahnya sendiri.
Menurut penjelasan polisi, ia tumbuh dalam lingkungan penuh ketakutan karena kerap menyaksikan dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan sang Mama terhadap Papa serta kakaknya.
Tekanan psikologis ini yang kemudian terakumulasi tanpa saluran penyelesaian yang sehat. Terlebih lagi sang Mama juga disebut telah menghapus game online yang disukai pelaku, sehingga memicu "serangan" yang mematahkan kesabaran sang anak.
Lebih lanjut lagi, polisi juga menemukan bahwa AS terpengaruh oleh tontonan anime bertema detektif dan gim yang mengangkat kekerasan dengan senjata tajam, yang mungkin membentuk persepsinya tentang penyelesaian masalah.
2. Hasil rekonstruksi di TKP temukan fakta baru

Temuan forensik di tempat kejadian perkara (TKP) berhasil meluruskan teka-teki dan merekonstruksi alur kejadian yang sebenarnya.
Dari penemuan awal, para saksi menemukan banyaknya bercak darah berceceran dari lantai satu hingga dua yang membingungkan.
Setelah diperiksa, hasil uji DNA justru mengungkap bahwa darah itu seluruhnya milik sang kakak, yang terluka saat tengah mencoba merampas pisau dari tangan sang Mama untuk mencegah malapetaka.
Temuan kunci lain adalah jejak DNA korban pada pakaian dalam pelaku. Ini menjadi bukti kuat adanya kontak fisik dan perkelahian jarak dekat antara Mama dan anak saat peristiwa mengerikan itu terjadi.
3. Pelaku punya kecerdasan mumpuni, tapi minim empati

Dalam paparan yang sama, Irma Minauli mengungkap pemeriksaan psikologis forensik terhadap profil AS yang penuh kontras.
Di satu sisi, ia memiliki kecerdasan intelektual yang tergolong superior atau sangat tinggi, sementara kecerdasan tersebut tidak diimbangi dengan kematangan emosional dan sosial.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa pelaku tidak memahami konsekuensi hukum dari tindakannya dan memiliki kemampuan empati yang rendah, sehingga kemarahan dan sakit hati akibat lingkungan rumah yang keras dipendamnya hingga meledak dalam bentuk agresi mematikan.
"Meskipun kecerdasannya superior, tetapi ya, dia tidak memahami konsekuensi dari perbuatannya itu. Jadi, mungkin secara kompetensinya juga dia tidak ada, gitu ya," ujar Irma Minauli.
Irma juga menegaskan, ini bukan akibat gangguan mental berat, melainkan lebih pada pembentukan perilaku agresif dari paparan kekerasan yang terus-menerus.
4. Proses hukum dan pendampingan pelaku

Mengingat usianya yang masih di bawah umur, AS tetap mendapatkan hak-haknya selama proses hukum.
Pemerintah Provinsi Sumut melalui Dinas Sosial dan P3AKP berkomitmen memberikan pendampingan psikososial dan rehabilitasi penuh, termasuk hak bermain, beribadah, dan pemeriksaan kesehatan rutin hingga pasca-putusan pengadilan.
Guna menentukan bentuk rehabilitasi yang tepat, Dinas Sosial terlebih dahulu melakukan penilaian mendalam terhadap latar belakang keluarga dan lingkungan tempat pelaku tumbuh.
Kasus tragis ini menjadi alaram keras bagi kita semua, terutama orang tua, betapa krusialnya menciptakan lingkungan rumah yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan, baik fisik maupun verbal.
Di sisi lain, orang tua juga perlu lebih aktif dan bijak dalam mengawasi serta mendampingi anak saat bermain gadget, memfilter tontonan dan permainan yang mengandung konten kekerasan, serta membuka komunikasi agar anak punya tempat curhat yang sehat.
Menciptakan rumah yang aman secara fisik dan emosional, serta membuka komunikasi yang hangat dengan buah hati, adalah pondasi terkuat untuk mencegah tragedi serupa terulang.



















