Waspadai 7 Tahap Grooming pada Anak yang Mungkin Dilakukan Orang Asing

Ketika anak mulai memasuki usia remaja, terkadang anak mulai berinteraksi dengan orang dewasa melalui berbagai cara.
Anak dapat berhubungan dengan orang lain melalui internet, game, dan terkadang juga kepada orang yang merupakan figur mentor sang anak.
Meski terlihat aman, Mama perlu mewaspadai juga adanya kemungkinan predator anak di antara orang yang anak percayai. Popmama.com sudah merangkum 7 tahap grooming pada anak di bawah ini.
Apa itu grooming?

Grooming pada anak adalah sebuah proses yang dilakukan oleh pelaku secara bertahap untuk memulai dan membuat hubungan seksual dengan korban secara rahasia.
Umumnya grooming berbentuk sebagai perilaku manipulatif yang pelaku lakukan untuk dapat memilih korban, memaksa mereka untuk menerima pelecehan, dan mengurangi risiko tertangkap.
Taktik ini paling sering digunakan terhadap anak di usia muda, anak remaja, dan orang dewasa muda.
Grooming memungkinkan pelaku untuk secara perlahan melewati batas wajar hubungan orang dewasa dengan anak jauh sebelum terjadi pelecehan seksual.
Jika dilihat dari kulitnya saja, grooming dapat terlihat seperti hubungan yang erat antara pelaku, anak yang menjadi sasaran, dan terkadang juga termasuk orangtua anak tersebut.
Grooming dapat dilakukan secara online atau secara fisik.
Biasanya pelaku adalah anggota keluarga atau orang lain dalam lingkaran kepercayaan korban, seperti pelatih, guru, pemimpin kelompok pemuda atau orang lain yang secara alami berinteraksi dengan korban.
Meskipun grooming dapat memiliki beragam cara tersendiri, sering kali perilaku ini mengikuti pola yang sama.
1. Memilih korban

Pertama, pelaku menargetkan anak tertentu. Anak di bawah umur lebih sering menjadi sasaran karena mudah tertipu dan naif.
Korban sering dipilih berdasarkan daya tarik fisik, kemudahan akses kepada korban, atau kerentanan korban.
Mereka umumnya mencari anak-anak yang sudah terisolasi oleh harga diri yang rendah, kepercayaan diri yang rendah, merasa tidak aman, atau kurang mampu.
2. Mulai membangun rasa percaya korban pada pelaku

Berikutnya, pelaku umumnya bersikap ramah untuk membuat korban mulai membangun kepercayaan pada pelaku.
Pelaku kemudian mengamati anak tersebut, mengajukan pertanyaan untuk mengetahui lebih banyak tentang situasi anak, dan mencari suatu hal dari kebutuhan anak yang dapat dieksploitasi.
Perilaku ini terkadang sulit untuk dibedakan dari rasa kepedulian yang biasanya ditawarkan oleh orangtua atau figur mentor.
Remaja sangat berisiko pada tahap ini. Karena masa remaja adalah waktu yang sangat penting dalam perkembangan emosional, mereka umumnya mudah salah paham terkait niatan pelaku.
Predator seksual dapat memperkenalkan diri sebagai "teman" dewasa berbeda dengan orang tua yang tampak mengontrol dan tidak adil.
Setelah pelaku mendapatkan kepercayaan korban dengan melakukan tindakan seperti memberi hadiah kecil, perhatian khusus, memberikan akses pada alkohol, dan lain sebagainya, mereka akan mulai meminta balas budi.
Proses balas budi ini bertahap dan mungkin dimulai dengan sentuhan yang tampaknya tidak berbahaya seperti pelukan untuk menguji batas kenyamanan korban dan terus mendorong batas tersebut.
3. Mengambil peran tertentu dalam hidup korban

Umumnya pelaku akan mengambil peran khusus berdasarkan menggunakan kebutuhan korban yang tidak dapat dipenuhi orang lain dengan melimpahi korban dengan pujian dan menekankan "sifat unik" dari hubungan "mencintai" dan "eksklusif" mereka.
Pelaku berpura-pura sebagai orang yang tidak mengancam yang dengannya anak dapat berbicara dengan bebas dan menghabiskan waktu.
Pelaku dapat berusaha untuk menjadi penyedia sesuatu yang diinginkan atau dibutuhkan anak, seperti uang jajan lebih, dukungan emosional, gadget baru, dan lain sebagainya.
Jika Mama memperhatikan ada orang dewasa lain yang menawarkan perhatian, kasih sayang, dan hadiah khusus kepada anak atau dengan penuh semangat menawarkan diri untuk menjadi pengasuh pengganti, Mama harus mulai waspada.
4. Secara perlahan meminta korban mengisolasi diri dari lingkungannya

Pelaku bekerja keras untuk memisahkan korban dari keluarga dan temannya yang mungkin waspada atau membantu tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional.
Pada tahap ini, pelaku sering menekankan sifat khusus dari hubungan memaksa korban untuk merahasiakannya. Mereka mungkin menuduh orang lain "cemburu", "terlalu protektif", atau berusaha "merusak apa yang mereka miliki."
Alasan untuk menjaga interaksi tetap pribadi dirancang untuk membuat korban merasa tersanjung dan istimewa.
Pelecehan seksual anak selalu terjadi di balik pintu tertutup, dengan kondisi anak seorang diri dengan pelaku setelah korban memiliki kepercayaan pada pelaku.
Pelaku yang juga merupakan anggota keluarga memiliki akses termudah di lingkungan rumah dengan hanya menyelinap ke kamar tidur anak.
Pelaku di luar keluarga akan membujuk korban ke ruang kelas sekolah yang kosong, ruang ganti, mobil mereka, kamar hotel dalam perjalanan semalam, taman terpencil, atau tempat terpencil lainnya.
Banyak pelaku pelecehan seksual anak telah mencari pekerjaan yang menyediakan akses ke anak-guru, konselor kamp, sopir bus, pelatih, pekerja penitipan anak, dokter anak, penyelenggara amal, atau mentor remaja.
Begitu mereka telah memantapkan diri mereka dalam lingkungan profesional, mereka dapat membuat alasan untuk menemui anak di luar jam kerja atau membawa korban pada acara-acara khusus.
5. Membuat hubungan rahasia

Pada tahap ini pelaku seksual memberikan ilusi tanggung jawab kepada korbannya dengan menjelaskan betapa pentingnya bagi korban untuk merahasiakan hubungan antara pelaku dan korban.
Mereka menipu korban dengan membuat mereka berpikir bahwa orang dewasa lain "tidak akan mengerti" hubungan unik mereka.
Pelaku seringkali menakut-nakuti anak/remaja dengan berpikir bahwa akan ada akibat yang buruk jika korban bercerita mengenai hubungan rahasia di antara mereka.
Remaja, khususnya, cenderung mencari privasi dari orang tua dan keluarganya. Dalam lingkungan pendidikan, pada tahap inilah di mana anak remaja mulai percaya bahwa mereka "menginginkan" hubungan tersebut dengan pelakunya.
6. Melakukan kontak seksual

Setelah pelaku merasa yakin bahwa korban berada "di pihak mereka" dan bahwa "hubungan" yang sukses, intim, dan pribadi juga sudah terbentuk, pelaku akan memulai kontak seksual dengan anak tersebut.
Kontak awal juga bekerja untuk menguji batas kenyamama pelaku, seperti dengan sentuhan, pelukan, belaian, atau ciuman dan menganggap hal tersebut sebagai hal biasa.
Pada tahap ini, pelaku akan berusaha untuk mengeksploitasi keingintahuan alami anak dengan menggunakan rangsangan untuk memungkinkan terjadi kontak seksual.
Terkadang pelaku akan menunjukkan pornografi kepada korbannya untuk memulai gairah seksual dan untuk meningkatkan kontak seksual.
7. Mengontrol jalannya hubungan

Banyak korban grooming dituntun untuk percaya bahwa tidak ada yang salah dengan kontak seksual antara orang dewasa dan anak-anak.
Dalam beberapa kasus, pelaku hanya perlu dengan santai menyebutkan perlunya kerahasiaan untuk menjaga partisipasi dan keheningan.
Di lain waktu, anak-anak mungkin merasa bingung, berkonflik, terancam, atau tidak aman.
Pada titik ini, pelaku seks dapat menggunakan kesalahan, ancaman, informasi yang salah, dan ketakutan untuk mengendalikan dan mempertahankan kerja sama dan membungkam anak.
Predator dapat mengambil langkah lebih lanjut untuk mempertahankan isolasi dan kontrol seperti mengancam untuk mengambil apa yang dibutuhkan anak dari hubungan jika anak tersebut berbicara kepada siapa pun tentang hubungan mereka.
Anak mungkin khawatir bahwa konsekuensi dari memberitahu hubungan tersebut kepada orang lain adalah penghinaan dan penolakan, yang akan membuat mereka semakin tidak diinginkan.
Itulah 7 tahap grooming pada anak.
Meski tanda-tanda awal dapat Mama lihat dari orang sekitar, Mama tidak perlu curiga terhadap semua orang yang baik kepada anak. Sebagian besar orang memiliki maksud yang baik dan dapat dipercaya.
Tetapi Mama tetap harus waspada bahwa perilaku seperti ini terkadang hanya akting agar pelaku mendapatkan kepercayaan orangtua sehingga mereka memiliki akses kepada anak.
Mama juga perlu berbicara dengan anak-anak Anda tentang risiko dan batasan dalam interaksi dengan orang lain, dan pastikan mereka tahu bahwa mereka dapat datang kepada Anda jika ada yang melewati batas.
Jika Mama menyadari ada perbedaan pada perilaku anak, Mama dapat mulai bertanya secara baik-baik dan perlahan untuk mulai membiarkan anak membuka diri tentang hubungannya dengan orang lain.
Baca Juga:



















