- ejekan,
- tekanan untuk selalu menuruti teman,
- membuat anak merasa bersalah jika tidak menuruti kemauan kelompok.
7 Cara Mengajarkan Anak Menghindari Toxic Friendship

Pertemanan adalah bagian penting dari tumbuh kembang anak. Dari teman, anak belajar berbagi, berempati, dan memahami arti kerja sama.
Namun, tidak semua pertemanan membawa dampak positif.
Ada kalanya anak terjebak dalam lingkaran pertemanan yang tidak sehat, atau yang sering disebut sebagai toxic friendship.
Toxic friendship adalah hubungan pertemanan yang membawa lebih banyak dampak negatif dibandingkan positif, yang ditandai oleh perilaku manipulatif, kontrol berlebihan, dan kurangnya rasa saling menghormati.
Kondisi ini bisa memengaruhi rasa percaya diri anak mama, membuat si Anak merasa tertekan, bahkan berimbas pada kesehatan mental jangka panjang.
Sebagai orangtua, penting untuk membantu anak mengenali tanda-tanda toxic friendship dan membekali mereka dengan keterampilan sosial agar bisa memilih lingkungan pertemanan yang sehat.
Dengan pemahaman yang tepat, anak dapat belajar menjaga batasan, menghargai dirinya sendiri, sekaligus membangun hubungan yang memberi dukungan positif.
Berikut telah Popmama.com rangkum 7 cara mengajarkan anak menghindari toxic friendship.
1. Mengenal toxic friendship dan tanda-tandanya

Langkah pertama untuk membantu si Anak menghindari toxic friendship adalah mengenalkan konsepnya sejak dini.
Toxic friendship merujuk pada hubungan pertemanan yang membawa lebih banyak dampak negatif dibandingkan positif.
Hubungan tidak sehat ini umumnya ditandai oleh adanya perilaku manipulatif, kontrol berlebihan, dan kurangnya rasa saling menghormati.
Dalam pertemanan anak-anak, tanda-tanda ini bisa muncul dalam bentuk:
Dengan memahami definisinya, anak mama akan lebih mudah mengenali situasi yang berpotensi merugikan mereka.
Mama dapat membantu si Anak memahami toxic friendship dengan menjelaskan contoh konkretnya, seperti teman yang selalu marah jika tidak dipinjamkan barang atau memaksa anak melakukan sesuatu yang tidak nyaman.
Pengetahuan ini akan menjadi bekal awal agar si Anak mampu membedakan mana teman yang benar-benar mendukung, dan mana yang harus dijauhi.
2. Ajarkan anak untuk mengenali perasaan

Salah satu cara penting agar anak terhindar dari toxic friendship adalah membantu si Anak peka terhadap perasaannya sendiri.
Anak mama perlu tahu bahwa perasaan sedih, tertekan, atau tidak nyaman ketika bersama teman bukanlah hal yang bisa diabaikan.
Mengajarkan anak untuk memvalidasi emosi sejak dini akan membantu anak menumbuhkan kepercayaan diri yang dibutuhkan dalam mengambil keputusan sosial.
Mama bisa memulainya dengan mengajak anak bercerita setelah bermain. Buka obrolan dengan pertanyaan seperti, “bagaimana rasanya saat bermain dengan temanmu?” atau “apakah kamu merasa senang atau justru tidak nyaman?”
Dengan cara ini, anak belajar bahwa emosi mereka valid dan penting untuk diperhatikan.
Jika anak mama terbiasa mengenali perasaannya, si Anak akan lebih mudah mengambil keputusan untuk menjauh ketika hubungan pertemanan mulai terasa tidak sehat.
3. Tanamkan pentingnya batasan dalam pertemanan

Batasan atau boundaries adalah hal penting yang perlu dipahami anak sejak kecil. Batasan ini bukan berarti menjauh dari orang lain, melainkan cara untuk melindungi diri sendiri dari hal-hal yang merugikan.
Dalam pertemanan anak, batasan bisa berupa keberanian untuk berkata “tidak” ketika diminta melakukan sesuatu yang tidak disukai, atau memilih untuk tidak ikut-ikutan jika teman melakukan hal yang salah.
Orangtua bisa melatih anak dengan bermain peran, misalnya berpura-pura menjadi teman yang memaksa, lalu memberikan contoh respon yang tepat.
Dengan latihan ini, si Anak akan terbiasa mempertahankan ruang pribadi sekaligus menjaga kualitas pertemanannya.
4. Memberi contoh pertemanan yang sehat

Anak belajar banyak dari cara orangtuanya bersosialisasi. Jika si Anak melihat orangtua memiliki hubungan pertemanan yang saling mendukung, penuh rasa hormat, dan tidak saling menjatuhkan, si Anak akan lebih mudah meniru pola tersebut.
Menurut Harvard Health Publishing, modeling atau memberikan contoh perilaku positif adalah cara efektif untuk mengajarkan keterampilan sosial pada anak.
Orangtua bisa menceritakan pengalaman pribadi tentang bagaimana rasanya memiliki teman yang mendukung, atau bagaimana menghadapi teman yang tidak sehat.
Misalnya, berbagi cerita tentang teman yang selalu mendengarkan ketika kita sedang sedih, atau bagaimana pentingnya menjaga komunikasi yang jujur.
Dengan demikian, anak akan memiliki gambaran nyata tentang pertemanan yang sehat, dan lebih berhati-hati terhadap hubungan yang sebaliknya.
5. Ajarkan strategi untuk menghadapi tekanan dalam bersosialisasi

Tekanan dari teman sebaya atau yang dikenal dengan istilah peer pressure sering menjadi pintu masuk toxic friendship. Anak bisa merasa terpaksa mengikuti keinginan teman agar diterima dalam kelompok.
Peer pressure yang negatif dapat memengaruhi perilaku anak dalam jangka panjang. Oleh karena itu, orangtua perlu membekali anak dengan strategi untuk menghadapi situasi ini.
Beberapa strategi yang bisa diajarkan antara lain:
- Berani berkata “tidak” dengan tegas.
- Mengalihkan pembicaraan ke hal lain yang lebih positif.
- Menemukan teman lain yang bisa mendukung pilihan si Anak.
- Mengingatkan anak bahwa harga diri lebih penting daripada sekadar diterima kelompok.
Dengan latihan dan dukungan dari orangtua, anak akan merasa lebih kuat untuk menghadapi tekanan dari teman tanpa harus mengorbankan kenyamanan atau integritas dirinya.
6. Dorong anak untuk memilih lingkungan pertemanan yang positif

Selain mengajarkan cara menghindari toxic friendship, penting juga membimbing anak agar mencari lingkungan pertemanan yang positif.
Lingkungan yang positif biasanya ditandai dengan teman-teman yang saling menghargai, mendorong satu sama lain untuk berkembang, serta mendukung ketika ada kesulitan.
Kualitas pertemanan yang positif berhubungan erat dengan rasa bahagia serta perkembangan sosial dan emosional anak.
Maka, orangtua bisa mengarahkan si Anak untuk bergabung dalam kegiatan yang sesuai minat mereka, seperti olahraga, seni, atau kegiatan sosial.
Dengan demikian, anak akan bertemu dengan teman-teman yang memiliki hobi atau nilai yang sama, sehingga potensi terjerumus dalam toxic friendship menjadi lebih kecil.
Mendorong anak untuk berani memilih teman yang membuat mereka merasa dihargai akan menjadi bekal penting hingga dewasa.
7. Ajarkan anak untuk berani bicara dengan orang dewasa yang dipercaya

Salah satu langkah yang paling penting adalah mengajarkan anak untuk tidak menyimpan masalah pertemanan sendirian.
Anak mama perlu tahu bahwa berbicara dengan orang dewasa yang dipercaya, seperti orangtua, guru, atau konselor sekolah, adalah langkah tepat jika merasa terjebak dalam toxic friendship.
Keterlibatan orang dewasa sangat penting untuk membantu anak mengembangkan keterampilan sosial yang sehat sekaligus mencegah dampak negatif dari pertemanan buruk.
Orangtua bisa menegaskan bahwa Mama dan Papa akan selalu siap mendengarkan tanpa menghakimi.
Jika anak merasa nyaman bercerita, mereka tidak hanya mendapatkan solusi, tapi juga merasa lebih kuat karena tahu ada orang dewasa yang mendukung.
Itulah 7 cara mengajarkan anak menghindari toxic friendship. Yuk, ajarkan dari sekarang demi melindungi si Anak dari bahaya toxic friendship!



















