- Cara menyampaikan perasaan,
- Bagaimana berselisih dengan hormat,
- Bahwa marah itu wajar dan boleh,
- Bahwa kita boleh marah sekaligus mencintai orang tersebut.
Dampak Dahsyat Hubungan Orangtua pada Emosi dan Masa Depan Anak

- Rumah yang tenang membantu anak lebih stabil secara emosional
- Komunikasi orangtua menjadi ‘blueprint’ anak dalam menyelesaikan konflik
- Nilai moral tumbuh dari relasi hangat, bukan sekadar aturan
Setiap keluarga pasti pernah mengalami hari-hari penuh tawa, tetapi juga hari ketika suasana terasa lebih tegang. Pertengkaran, salah paham, atau rasa lelah semua itu manusiawi. Namun, yang sering terlupakan adalah bahwa anak menyaksikan semuanya, bahkan ketika orangtua tidak menyadarinya.
Pada momen Popmama Arisan edisi spesial Hari Ayah yang mengusung tema Love Reloaded: The Blueprint of Love, The Power of Dad, Sabtu (15/11/2025), Psikolog klinis Alexandra Gabriella A., M.Psi., Psikolog, CHt., C.ESt., memberikan pandangan tentang bagaimana hubungan harmonis antar pasangan membentuk karakter, kestabilan emosional, dan kecerdasan kognitif anak.
Berikut Popmama.com hadirkan ulasan dampak dahsyat hubungan orangtua pada emosi dan masa depan anak, psikolog ungkapkan faktanya!
1. Rumah yang tenang membantu anak lebih stabil secara emosional

Anak yang tumbuh di lingkungan penuh tekanan akan kesulitan berkonsentrasi dan mudah tersulut secara emosional. Sebaliknya, saat rumah terasa aman, anak jauh lebih siap menerima informasi dan belajar.
Psikolog Alexandra menjelaskan, “Pembelajaran paling efektif terjadi saat anak siap secara emosional. Tidak dalam kondisi yang banyak pikiran dan hari kacau-balau.”
Ia menambahkan, bahwa anak yang siap menghadapi tantangan dimulai dari pikiran dan hati yang tenang. Artinya, anak tidak terbayang-bayang konflik di rumah atau yang terjadi dengan kedua orangtuanya.
Anak tidak hanya belajar dari materi sekolah, tetapi juga dari interaksi sehari-hari. Ketika suasana rumah stabil, sistem saraf anak pun ikut stabil dan membuatnya lebih tenang menghadapi dinamika kehidupan.
2. Komunikasi orangtua menjadi ‘blueprint’ anak dalam menyelesaikan konflik

Setiap anak punya karakter dan kecerdasan bawaan masing-masing. Namun, pola mereka dalam menghadapi konflik dibentuk oleh apa yang mereka lihat di rumah.
“Sehari-hari, anak akan menganalisa bagaimana orangtua menghadapi isu. Bagaimana orangtua memvalidasi perasaan, berpikir, bertindak, marah, serta menunjukkan bahwa konflik pasti ada dan bagaimana resolusinya.” jelas Psikolog Alexandra.
Dari cara orangtua menghadapi konflik, anak akan belajar:
Ketika Mama dan Papa menunjukkan proses berdamai, anak belajar bahwa konflik bukan ancaman, tetapi bagian dari hubungan yang sehat.
3. Nilai moral tumbuh dari relasi hangat, bukan sekadar aturan

Semakin besar, anak mungkin akan berhadapan dengan situasi sosial yang tidak sesuai dengan nilai dalam keluarga. Orangtua pun tidak dapat mengawasi secara terus-menerus selamanya. Anak akan belajar dengan sendirinya di dunia yang besar dan terbuka.
Psikolog menyampaikan, “Nilai moral ditanamkan dari kecil terus menerus yang nantinya akan menjadi hati nurani. Maka dari itu, yang terpenting adalah bagaimana membangun relasi yang hangat dan terbuka. Ketika anak menghadapi dinamika sosial, ia akan dengan sendirinya merasa aman untuk bercerita apa pun ke Mama dan Papa, tentang pergaulannya, perasaannya, kesalahan yang ia buat, bahkan rasa penasaran yang mungkin dianggap tabu”
Relasi hangat membuka ruang dialog, dan dari situlah anak belajar mempertimbangkan konsekuensi, bukan hanya takut dimarahi.
4. Konflik dalam rumah tangga itu wajar, tapi anak tidak perlu terlibat

Salah satu kesalahan yang sering tidak disadari orangtua adalah menjadikan anak sebagai penengah atau tempat curhat. Meski tidak bermaksud buruk, hal ini diam-diam membuat anak memikul beban yang bukan miliknya.
“Sebaiknya anak tidak dilibatkan dalam permasalahan orangtuanya. Terlebih, itu adalah masalah suami-istri bukan orangtua dan anak. Sering kali, anak ditempatkan di posisi yang membingungkan, ‘mau dukung mama atau papa? Keduanya aku sayang’. Maka, perlu dihindari untuk curhat berlebih pada anak. Jangan sampai saling menjatuhkan pasangan,” tutur Psikolog Alexandra.
Konflik tentu ada, tetapi anak tidak seharusnya menyelesaikan apa yang bukan bagiannya.
5. Anak tetap perlu melihat konflik yang sehat

Anak tidak harus hidup dalam rumah yang seolah-olah tidak pernah ada masalah, karena itu tidak realistis. Tetapi, anak juga tidak boleh menjadi saksi pertengkaran yang penuh teriakan atau caci maki.
“Lebih jelasnya, emosi dan mood anak mempengaruhi kondisinya menerima pelajaran, pertemanan, dan kehidupan sehari-hari. Maka, solusinya bukan menghilangkan konflik, tetapi menunjukkan bagaimana konflik itu diselesaikan,” jelas Psikolog Alexandra.
Menurutnya, konflik adalah pelajaran kehidupan yang sangat berharga bagi anak dan akan menjadi bekal untuk masa depannya.
6. Keharmonisan bukan berarti tidak pernah bertengkar

Sering kali orangtua menyamakan “harmonis” dengan “tidak pernah ada masalah”. Padahal, harmoni datang dari kemampuan individu yang saling:
- Berdiskusi tanpa saling menyerang,
- Mengatur emosi sebelum bicara,
- Mengakui kesalahan,
- Menyelesaikan masalah sebagai satu tim.
Konflik tetap ada, tetapi diselesaikan dengan cara yang aman bagi semua anggota keluarga terutama anak.
7. Ketidakharmonisan bisa meninggalkan luka yang dalam bagi anak

Inilah bagian yang paling harus diwaspadai. Pertengkaran yang intens, dinginnya hubungan, atau konflik yang tak terselesaikan bisa menjadi luka batin bagi anak yang bertahan hingga dewasa.
Psikolog Alexandra mengatakan, “Dampak jangka panjangnya adalah luka. Trauma psikologis yang mempengaruhi persepsi anak tentang dunia, diri sendiri, pernikahan, hingga cara ia meregulasi emosi.”
Ia menambahkan, efek dari luka adalah proses jangka panjang dan tidak berkesudahan, ini akan memengaruhi banyak hal dari dirinya, contohnya:
- Sulit percaya orang lain,
- Takut berkomitmen,
- Selalu cemas soal keamanan finansial,
- Merasa tak layak dicintai.
Cara anak melihat hubungan orangtuanya akan jadi cara ia melihat hubungan di masa depan.
8. Saat anak terpuruk konflik orangtua, ini penanganan pertama menurut Psikolog

Anak yang tertekan jarang mengungkapkan perasaannya secara asertif.
Psikolog menyarankan respons pertama yang penuh empati, “Temani anak dengan pendekatan lembut. ‘Mama lihat ada yang beda dari kamu, kalau mau cerita boleh ya.’ Jangan memaksa dengan ‘ada apa sih? ngomong dong!’”
Pendekatan lembut memberi anak ruang untuk membuka diri tanpa merasa ditekan. Berikan juga aktivitas dan hal yang ia suka untuk membantu mendistraksi perasaannya sementara.
Pada akhirnya, dampak dahsyat hubungan orangtua pada emosi dan masa depan anak bergantung pada keharmonisan orangtua.
Ini semua bukan tentang sempurna atau tanpa konflik, tetapi tentang bagaimana dua orang dewasa memilih untuk saling menghormati, saling mendengar, dan menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak melukai anak.



















