Pentingnya mengajarkan Anak untuk Kelola Emosi, Bukan Selalu Bahagia

Dalam perjalanan menjadi orangtua, kerap muncul tekanan untuk selalu membuat anak merasa bahagia setiap saat. Seolah, tangisan atau raut kecewa mereka adalah tanda bahwa kita gagal dalam peran.
Namun, apakah tugas utama orangtua memang bertanggung jawab penuh atas kebahagiaan anak-anaknya? Psikolog Irma Gustiana A., M.Psi., melalui akun Instagram-nya @ayankirma, memberikan perspektif segar yang justru membebaskan.
Psikolog yang kerap berbagi edukasi di media sosial itu menekankan bahwa peran orangtua bukanlah sebagai "sumber kebahagiaan instan" bagi anak, tapi justru pengingat untuk anak belajar mengelola emosinya.
Lantas, bagaimana seharusnya orangtua memandang peran ini? Berikut Popmama.com rangkumkan ulasannya.
1. Belajar ajarkan anak hal ini

Irma Gustiana mencontohkan kalimat yang boleh diucapkan kepada anak usia 8 tahun ke atas, seperti yang diajarkannya, orangtua bisa memberikan pelajaran pada anak bahwa kita sebagai orangtua tidak selalu berkewajiban membuatnya bahagia.
"Nak, tugas ibu bukan bikin kamu terus happy. Perasaan kamu ya punya kamu." Pernyataan ini bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan pengingat yang sangat penting bagi orangtua dan anak.
Tugas utama seorang Mama, seperti dijelaskan Irma, adalah menjaga, menemani, mendengarkan, dan terkadang tetap berkata 'tidak' jika itu yang paling aman untuk anak.
Dengan begini, anak belajar bahwa emosi seperti sedih, kecewa, atau marah adalah hal normal yang menjadi tanggung jawabnya sendiri untuk dikelola, bukan semata-mata tanggung jawab orangtua untuk menghilangkannya.
2. Bukan kekangan, aturan menjadi pegangan hidup anak

Seringkali, orangtua merasa bersalah ketika harus menetapkan aturan dan batasan yang membuat anak merasa tidak bahagia. Padahal, secara psikologis, batasan justru dibutuhkan oleh otak anak yang sedang berkembang, Ma.
Ketika orangtua konsisten memberi aturan, anak justru belajar tentang konsekuensi, kemampuan mengatur diri (self-regulation), dan memahami batas-batas yang aman.
Memberikan aturan pada anak bukan berarti mengekang mereka ya, Ma, melainkan menjadi "pegangan" yang memberi anak rasa aman karena mereka memahami struktur dan batasan dalam kehidupannya.
3. Ruang aman untuk emosi anak

Lebih lanjut, Irma juga menambahkan bahwa pola asuh yang sehat nggak cuma berfokus pada menciptakan kebahagiaan terus-menerus, melainkan pada membesarkan anak yang mampu merasakan seluruh spektrum emosinya dengan sehat.
Dengan menerapkan pola asuh di lingkungan yang konsisten dan penuh kasih, anak juga boleh kok merasa marah, sedih, atau bahkan kecewa.
Dapat disimpulkan, dengan memberikan ruang aman bagi anak untuk mengalami semua emosi, mereka juga tak merasa khawatir kehilangan kasih sayang orangtuanya.
Ketika orangtua berkata, "Tidak dulu ya, Nak" dan anak boleh merasa kecewa, itulah momen di mana anak belajar sikap ketahanan menghadapi kenyataan yang tidak selalu sesuai harapan.
Jadi, Ma, melepaskan beban untuk selalu membuat anak bahagia justru adalah langkah awal yang tepat. Fokuslah pada peran utama kita untuk memberikan rasa aman, pendampingan, dan bimbingan.
Karena pada akhirnya, yang terpenting bukanlah anak yang selalu tersenyum, tapi anak yang tangguh, mampu memahami perasaannya, dan tahu bahwa cinta orangtuanya tetap ada, bahkan di balik sebuah kata "tidak".



















