5 Kesalahan yang Sering Dilakukan Orangtua saat Mengasuh Anak Bersama

Dalam proses membesarkan anak, kolaborasi antara Papa dan Mama sangatlah penting.
Namun, tanpa disadari, orangtua sering melakukan kesalahan yang bisa berdampak buruk pada tumbuh kembang si Kecil.
Anak belajar banyak hal dari interaksi antar kedua orangtuanya, mulai dari pola komunikasi, cara menyelesaikan konflik, hingga cara membangun rasa aman.
Penelitian dalam Journal of Family Psychology menyebut bahwa kualitas interaksi antara orangtua berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan emosional anak.
Anak yang tumbuh dalam keluarga dengan pola komunikasi sehat dan kolaboratif cenderung memiliki tingkat stres lebih rendah serta kemampuan regulasi emosi yang lebih baik.
Sebaliknya, konflik terbuka atau pola asuh yang tidak selaras dapat meningkatkan risiko anak mengalami kecemasan, perilaku agresif, hingga masalah dalam membangun hubungan sosial di kemudian hari.
Untuk membantu Mama dan Papa memperkuat peran orangtua sebagai sebuah tim, Popmama.com telah merangkum 5 kesalahan yang sering dilakukan orangtua saat mengasuh anak bersama.
1. Sering debat soal anak di depan anak

Si Kecil memiliki kepekaan yang lebih tinggi daripada yang disadari orangtua.
Ketika Mama dan Papa sering terlibat debat atau konflik terkait anak di depan si Kecil, hal ini bisa menimbulkan rasa tidak aman.
Anak menjadi cenderung merasa cemas, takut, bahkan bisa meniru sikap agresif yang ditampilkan orangtua.
Penelitian menunjukkan bahwa pertengkaran yang disaksikan anak dapat berdampak pada kesehatan mental mereka, termasuk munculnya kecemasan hingga perilaku sulit diatur.
Sebaiknya, orangtua menyelesaikan perbedaan pendapat di ruang pribadi tanpa melibatkan anak sebagai saksi. Anak butuh suasana rumah yang hangat dan stabil agar bisa tumbuh dengan rasa aman.
Dengan demikian, perbedaan pendapat bisa tetap dibicarakan, tanpa menjadi beban emosional bagi si Kecil.
2. Saling menjatuhkan pasangan di depan anak

Kalimat seperti, “sudah, jangan dengerin Papamu,” atau “Mama itu lebay,” mungkin terdengar sepele bagi orang dewasa, tetapi dampaknya sangat besar bagi si Kecil.
Ketika orangtua saling menjatuhkan satu sama lain di depan anak, wibawa orangtua akan terkikis. Anak pun menjadi bingung siapa yang harus mereka ikuti, sehingga menimbulkan kebingungan.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat membuat anak tumbuh tanpa penghargaan terhadap aturan yang dibuat orangtuanya.
Si Kecil bisa tumbuh dengan oportunis, memilih-milih orangtua mana yang lebih “menguntungkan” untuk didengarkan.
Agar hal ini tidak terjadi, penting bagi orangtua untuk saling menghargai keputusan masing-masing.
Jika ada ketidaksepakatan, sebaiknya dibicarakan secara pribadi. Karena, keselarasan komunikasi orangtua akan membuat anak merasa lebih terlindungi dan memiliki pedoman yang jelas dalam keseharian.
3. Aturan rumah yang tidak konsisten

Hari ini boleh main gadget, besok dilarang. Hari ini boleh tidur larut, besok dimarahi. Itulah contoh aturan yang tidak konsisten dalam mengasuh anak.
Anak yang tumbuh dengan pola aturan seperti ini akan kesulitan memahami batasan yang jelas. Akibatnya, si Kecil akan kesulitan mengembangkan kemampuan disiplin yang sehat.
Anak yang tumbuh dalam kondisi ini berpotensi untuk menjadi pribadi yang bingung terhadap konsekuensi, bahkan cenderung menantang aturan.
Konsistensi dalam membesarkan anak bukan berarti menjadi orangtua yang kaku, tetapi memastikan adanya kejelasan dan stabilitas dalam aturan di rumah.
Jika ada perubahan, Mama dan Papa harus menjelaskan alasannya secara logis agar si Kecil belajar memahami situasi.
Dengan demikian, anak tidak hanya belajar disiplin, tetapi juga belajar tentang tanggung jawab.
Konsistensi adalah salah satu kunci penting agar anak merasa aman sekaligus menghormati nilai yang diajarkan orangtuanya.
4. Melibatkan anak jadi penengah konflik antar orangtua

Ucapan seperti, “coba kamu bilang ke Mamamu,” atau “kasih tahu Papa kalau Mama lagi marah,” saat orangtua sedang marah dengan satu sama lain, adalah bentuk triangulasi yang berbahaya.
Anak dipaksa menjadi jembatan konflik orangtua, yang sebenarnya bukan tugas si Kecil. Situasi ini sangat memberatkan si Kecil karena menempatkannya dalam posisi yang serba salah.
Si Kecil merasa harus memilih salah satu orangtua, padahal sebenarnya mereka mencintai keduanya. Dampaknya, anak bisa merasa terbebani secara emosional, mengalami stres, bahkan kehilangan rasa aman di rumah.
Orangtua seharusnya tidak melibatkan anak dalam konflik internal. Komunikasi yang sehat harus dilakukan langsung antara Papa dan Mama tanpa menjadikan anak sebagai penengah masalah.
Dengan cara ini, si Kecil tetap bisa tumbuh dalam suasana penuh cinta, tanpa harus menanggung beban psikologis yang bukan miliknya.
5. Enggan melibatkan pasangan dalam mengasuh anak

Ketika orangtua terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, pengasuhan anak seringkali diserahkan kepada satu pihak saja.
Akibatnya, anak merasa tidak mendapatkan rasa aman yang seharusnya hadir dari kolaborasi kedua orangtua. Situasi ini bisa membuat si Kecil merasa sendirian, bahkan menimbulkan kesan bahwa dirinya bukan prioritas.
Padahal, si Kecil sangat membutuhkan rasa aman dari kerja sama orangtuanya.
Koordinasi dalam pengasuhan tidak selalu harus berupa langkah yang besar, tetapi bisa dimulai dari hal kecil seperti menyamakan aturan tidur, jadwal belajar, atau jadwal makan. Intinya, melakukan semua hal sebagai sebuah keluarga yang utuh.
Dengan adanya kerja sama, anak akan melihat bahwa Mama dan Papa hadir sebagai tim yang solid.
Hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri dan stabilitas emosional dalam diri anak, yang kelak akan membentuk si Kecil menjadi pribadi yang lebih tangguh.
Itulah informasi mengenai 5 kesalahan yang sering dilakukan orangtua saat mengasuh anak bersama. Waspadai tanda-tandanya, ya, Ma!



















