- Mengenali emosi orang lain
- Menghubungkan tindakan dengan dampaknya
- Belajar perspective-taking (melihat dari sudut pandang orang lain)
Minta Maaf Saja Tak Cukup, Ini yang Perlu Dilakukan Saat Anak Memukul

- Tanpa menghakimi, hentikan perilaku anak
- Arahkan perhatian ke anak korban
- Tegaskan batasan dan ajarkan tanggung jawab
Saat anak memukul anak lain, sebagai orangtua, wajar apabila Mama dan Papa panik, kaget, bahkan refleks membentaknya. Namun sayang, permintaan maaf yang dipaksakan lebih sering menanamkan rasa malu, bukan empati.
Permintaan maaf yang dipaksakan tidak benar-benar mengajarkannya tulus bersimpati, melainkan iya hanya akan patuh saat diawasi. Bukan memahami bahwa tindakannya melukai perasaan orang lain.
Lalu, bagaimana solusinya? Berikut Popmama.com bagikan tips pendekatan yang baik untuk anak karena minta maaf saja tak cukup, ini yang perlu dilakukan saat anak memukul.
1. Tanpa menghakimi, hentikan perilaku anak

Langkah pertama bukan menuntut permintaan maaf, tapi menghentikan tindakan dan menjaga semua anak tetap aman. Pendekatan ke anak dapat dilakukan dengan menurunkan badan ke tinggi mata anak, tegur dengan menggunakan suara tegas tapi tenang, fokus pada perilaku, bukan label
Contoh kalimat:
“Stop. Mama tidak bisa membiarkan kamu memukul.”
“Nak, kita bisa bicara dengan baik, tidak perlu menyakiti.”
Di tahap ini, hindari ceramah panjang. Otak anak yang sedang emosional belum siap menerima nasihat. Beri tahu secara perlahan bahwa memukul itu tidak baik.
2. Arahkan perhatian ke anak korban

Inilah inti pembelajaran empati. Bukan “kamu nakal”, tapi orang lain terluka karena perbuatanmu. Alihkan fokus anak ke ekspresi dan perasaan temannya.
Contoh percakapan:
“Lihat, dia menangis sekarang.”
“Coba lihat wajahnya. Menurut kamu, dia merasa bagaimana?”
“Iya… dia kelihatan sedih dan sakit, ya.”
Kalimat ini membantu anak:
Ini jauh lebih efektif daripada memaksa anak merasa bersalah.
3. Tegaskan batasan dan ajarkan tanggung jawab

Empati perlu disertai batas yang jelas. Anak harus tahu memukul tidak pernah bisa dibenarkan, meski ia sedang marah.
Setelah anak memahami apa yang dirasakan temannya, lanjutkan dengan ajakan bertanggung jawab:
“Sekarang, ayo kita ke sana bersama.”
“Kita lihat apa yang bisa kita lakukan supaya dia merasa lebih baik.”
Dengan kata “bersama”, anak merasa didampingi, bukan diadili.
4. Biarkan permintaan maaf muncul dari empati, bukan paksaan

Setelah anak mulai tenang dan paham situasi, beri ruang untuk tindakan perbaikan. Tidak harus selalu berupa kata maaf, tetapi hal yang bisa menenangkan atau memvalidasi perasaan temannya.
Contoh percakapan:
“Kamu bisa bilang sesuatu ke dia.”
“Atau kamu mau membantu dengan cara apa?”
Respons anak bisa beragam, misalnya mengucapkan “maaf”, memberi pelukan, mengambilkan tisu, menepuk pelan
Semua ini adalah bentuk empati yang nyata. Namun, tetap perlu memberikan batasan apabila temannya membutuhkan ruang untuk meregulasi emosinya sampai tenang.
4. Ajarkan anak kesadaran emosi

Anak yang dipaksa meminta maaf akan belajar takut dan patuh. Anak yang dibimbing memahami perasaan orang lain akan belajar empati dan tanggung jawab.
Maka, kedepannya anak akan minta maaf tanpa disuruh, lebih jarang mengulangi perilaku agresif, mampu membangun hubungan sosial yang sehat. Karena tujuan kita bukan anak yang cepat bilang “maaf”, tapi anak yang mengerti mengapa ia perlu minta maaf.


















