Komnas Perempuan Sebut 3 Kasus Pembunuhan Perempuan Sebagai Femisida
-on3fOit6EZxJh0EIFFfE0OJMCziEAtZt.png)
Komnas Perempuan menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas tewasnya perempuan pada sejumlah kasus pembunuhan belakangan ini yang diberitakan media massa.
Ketiga kasus ini di antaranya perempuan dalam koper di Cikarang, mutilasi Perempuan di Ciamis yang dilakukan suaminya sendiri, dan perempuan yang dibunuh karena mengigau di Minahasa Selatan, di mana ketiganya dikategorikan sebagai femisida.
Lantas, apa sih femisida itu sendiri dan bagaimana respon Komnas Perempuan terhadap fenomena tersebut di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Simak selengkapnya di Popmama.com.
1. Femisida dan faktor yang melatarbelakangi

Seperti yang disinggung sebelumnya Ma, bahwa terjadi tiga kasus pembunuhan terhadap perempuan beberapa waktu lalu, yang menghebohkan masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk menamainya dan mengategorikan ketiga kasus tersebut sebagai kejahatan femisida.
Untuk diketahui, femisida sendiri adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender sebelumnya.
2. Komnas Perempuan usul pemerintah lebih aware terhadap perlindungan perempuan

Dari ketiga fenomena tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan pemerintah untuk membentuk femisida watch untuk mengenali dan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban.
Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan bahwa untuk mengatasi ketiadaan data nasional tentang femisida Komnas Perempuan telah melakukan pantauan pemberitaan media online.
Hasilnya diinformasikan dalam CATAHU dan Laporan Femisida setiap 25 November dengan tujuan menyebarluaskan pengetahuan tentang femisida dan mendorong para pemangku kepentingan untuk mengambil berbagai tindakan untuk mendokumentasikan, mencegah, menangani dan memulihkan keluarga korban femisida.
"Pantauan melalui pemberitaan memiliki keterbatasan, karena femisida bisa tidak terdeteksi melalui kata kunci yang digunakan, perbedaan waktu pemberitaan dengan waktu terjadinya femisida serta tidak mendapatkan kontruksi kasus secara utuh, hanya didasarkan pada indikasi dari informasi yang dituliskan oleh wartawan.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengumpulkan, menganalisis dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai pelaksanaan dari Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 tahun 2017 dengan membentuk mekanisme femisida watch," jelasnya terkait pentingnya femisida watch di Indonesia.
Selain itu, menurut Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan, negara diharapkan segera membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi personal ini tidak berakhir dengan kematian.
3. Kejahatan femisida bukan hal yang baru terjadi saat ini di tengah masyarakat

Untuk diketahui, kasus indikasi femisida yang kuat pada 2020 terpantau 95 kasus, pada 2021 terpantau 237 kasus.
Pada 2022 terpantau 307 kasus dan pada 2023 terpantau 159 kasus yang indikator berkembang seiring perkembangan pengetahuan tentang femisida.
4. Pelaku femisida didominasi dari pasangan korban sendiri

Pantauan setiap tahunnya menempatkan femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.
Komisioner Rainy M Hutabarat menambahkan selain femisida intim, kerentanan perempuan menjadi korban femisida juga dialami oleh perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari pengguna jasanya dan mucikari, transpuan dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas.
5. Adanya perbedaan motif dari pembunuhan biasa dengan femisida

Karakteristik femisida intim bercirikan dengan adanya peningkatan intensitas dan muatan kekerasan fisik, kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi dan tidak adanya lingkungan yang mendukung untuk melindungi korban.
"Pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif,"
"Dari motif yang teridentifikasi, cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan.
"Motif-motif tersebut menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan. Termasuk dari kasus-kasus yang terjadi beberapa hari ini," ujar Komisioner Rainy Hutabarat.
Mengingat femisida intim menjadi jenis femisida tertinggi, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengingatkan bahwa relasi perkawinan dan pacaran menjadi salah satu relasi yang tidak aman bagi Perempuan.
Menurut Siti, secara hukum penanganan kasus femisida menggunakan ketentuan tindak pidana penghilangan nyawa atau tindak pidana yang menyebabkan kematian maka penting pendataan terpilah berdasarkan jenis kelamin dan motifnya dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
"Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan korban dalam mengidentifikasi femisida dan membangun penilaian tingkat bahaya bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sangat diperlukan. Agar saat mengidentifikasi korban dapat menggali fakta terkait faktor-faktor seperti relasi kuasa, rentetan KDRT, ancaman dan upaya manipulasi yang dilakukan pelaku, atau kekerasan seksual,"
"Sehingga dalam menerapkan pasal-pasal dalam KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak atau UU TPKS yang mengakibatkan kematian pada perempuan korban, hukumannya diperberat," pungkasnya.


-mK8CjymsZWs7qkIsDisTIpGRjXh0KRVv.png)















