TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Hindari, 5 Penyebab Co-Parenting Gagal dalam Pengasuhan Anak

Freepik/Prostooleh

Perpisahan ketika sudah memiliki anak akan terasa sulit untuk dilakukan, apalagi jika ia masih kecil.

Meski demikian, ketika Mama berpisah dengan pasangan atau istilahnya bercerai, mungkin co-parenting bisa menjadi solusi untuk tetap merawat anak.

Apa itu Co-parenting?

Co-parenting adalah sistem pengasuhan anak yang biasa dilakukan para orangtua yang bercerai. Dalam konsep ini, kedua orangtua dari anak berdedikasi bersama-sama untuk membesarkan anak meskipun sudah berpisah.

Konsep tersebut memang terdengar masuk akal karena anak bisa tetap bertemu orangtuanya. Namun, ada kalanya co-parenting gagal dalam pelaksanaannya.

Berikut ini Popmama.com telah rangkum beberapa penyebab co-parenting gagal agar bisa dihindari oleh Mama dan mantan pasangan. Silakan dibaca.

1. Kurangnya kepercayaan saat melakukan co-parenting

Freepik/prostooleh

Terkadang muncul sikap menyalahkan atau kurangnya rasa percaya terhadap mantan pasangan Mama (orangtua co-parenting lain). Hal ini biasanya terjadi lewat perkataan yang keluar secara spontan ketika amarah Mama sedang memuncak.

Misalnya, seperti "Ibumu tidak pernah mengasuhmu dengan benar layaknya ayah", dan pernyataan lain yang serupa.

Padahal, perilaku seperti ini harus dihindari karena dapat merusak keharmonisan keluarga setelah perpisahan. Mama perlu menganggap co-parent sebagai kolega atau rekan.

2. Munculnya perilaku tidak memprioritaskan anak

Freepik/Jeswin

Pada dasarnya, co-parenting harus mengutamakan kepentingan anak. Kebutuhan anak harus dinomorsatukan. Namun, dalam pelaksanaannya terkadang yang dilakukan tidak sesuai dengan yang direncanakan.

Dengan kesibukan masing-masing, kebutuhan anak malah terkadang diabaikan oleh para co-parent, baik Mama maupun mantan pasangan.

Melansir IDN Times, hal tersebut harus dihindari agar konsep co-parenting tidak gagal. Tanamkan mindset bahwa Mama dan mantan pasangan mama bisa memenuhi kebutuhan anak bagaimana pun keadaannya.

3. Gagal merencanakan jadwal co-parenting bersama

Freepik/zenstock

Salah satu penyebab co-parenting gagal adalah jadwal yang tidak sesuai atau bertabrakan.

Contohnya ketika Mama dan mantan pasangan sudah menjalankan jadwal co-parenting selama beberapa waktu, jadwal harus tetap diperbarui dan disesuaikan dari waktu ke waktu.

Padahal ketika anak sudah beranjak dewasa pastinya ada perubahan pada jam-jam sekolah atau kegiatan lainnya. Co-parenting harus direncanakan secara fleksibel agar kebutuhan anak selalu terpenuhi.

Meski orangtua sudah tidak bersama, tetapi harus bisa selalu hadir di momen-momen penting anak.

4. Berkurangnya semangat co-parenting saat salah satu orangtua menikah lagi

Freepik/Mne_len Ilustrasi

Dalam beberapa kasus, salah satu pasangan mungkin akan menikah lagi dan mengganggu rencana co-parenting. Ketika saat salah satu orangtua menikah lagi, mereka harus mengubah rencana hidup.

Banyak urusan baru yang harus dilaksanakan dan anak sudah bukan lagi prioritas. Orangtua tersebut mungkin akan tiba-tiba hilang dan melepas komitmen untuk mengasuh anak.

Mempertahankan konsistensi dalam mengurus anak bisa menjadi kunci utama co-parenting. Meski mungkin punya kehidupan yang baru, anak tetap harus menjadi tujuan utama. Pastikan anak tidak merasa dilupakan oleh orangtuanya ya, Ma!

5. Minimnya waktu luang untuk dihabiskan bersama anak

Freepik/wayhomestudio

Co-parenting juga dapat gagal jika orangtua tidak meluangkan waktu yang cukup bersama anak.

Padahal, banyak kegiatan sederhana bisa dilakukan bersama anak, seperti olahraga, menemani anak mengembangkan minat dan hobinya, bahkan Mama bisa mengajak anak untuk shopping/berbelanja bersama.

Biarkan anak melihat kalau orangtuanya masih sangat peduli dan menyayanginya dari tindakan kecil seperti meluangkan waktu bersama.

Itu dia 5 penyebab co-parenting gagal. Semoga bisa membantu Mama yang sedang melakukan co-parenting, agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan ini ya.

Baca juga:

The Latest