5 Cara Membuat Anak Bisa Menerima Kritik dengan Baik

- Hindari memberi julukan negatif pada anak, seperti "kamu malas" atau "kok kamu bodoh sekali?"
- Bedakan antara mengoreksi tindakan dan menghakimi karakter anak agar kesalahan tidak menentukan identitasnya.
- Ajari anak mendengarkan terlebih dahulu sebelum merespon kritik, sehingga ia belajar bahwa kritik bukan pertarungan.
Setiap anak pasti pernah berbuat salah. Ada yang menumpahkan air, salah mengerjakan tugas sekolah, atau bertengkar dengan temannya. Momen seperti ini sering membuat orang tua ingin memberi tahu apa yang harus diperbaiki dan di sinilah kritik muncul.
Namun, tidak semua anak siap menerima kritik. Ada anak yang langsung menangis. Ada yang membantah atau marah. Bahkan ada yang langsung berkata, “Aku memang bodoh,” karena ia menganggap kritik sebagai tanda bahwa dirinya tidak cukup baik.
Padahal, kritik tidak selalu buruk. Kritik bisa menjadi salah satu cara anak belajar mengenali diri dan berkembang. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kritik diterima sebagai bimbingan, bukan sebagai serangan.
Kemampuan menerima kritik bukan bakat lahir. Itu keterampilan yang bisa dilatih melalui pola komunikasi orang tua sehari-hari.
Berikut Popmama.com bagikan 5 cara membuat anak bisa menerima kritik dengan baik.
1. Hindari memberi julukan negatif pada anak

Saat anak melakukan kesalahan, orangtua terkadang spontan melabeli anak dengan kata seperti “kamu malas”, “kamu bandel banget sih”, atau “kok kamu bodoh sekali?”. Meskipun terlihat sepele, julukan negatif membuat anak merasa bahwa ia adalah masalahnya, bukan perilakunya. Lama-kelamaan, anak bisa percaya bahwa label itu benar dan menjadi sulit menerima kritik karena merasa dirinya selalu salah.
Julukan negatif bukan sekadar kata, melainkan “identitas” yang tanpa sadar kita tempelkan kepada anak. Anak yang terus-menerus menerima label buruk akan tumbuh dengan keyakinan bahwa ia memang seperti itu. .
Jika Mama ingin anak mampu menghadapi kritik dengan tenang, maka mulailah dengan menunjukkan bahwa kesalahan bukan berarti dirinya buruk. Hal yang salah adalah tindakan, bukan dirinya sebagai individu.
Daripada mengatakan, “Kamu malas sekali!" Cobalah mengubahnya menjadi, “Mama lihat kamu belum menyelesaikan tugasmu. Apa yang bisa kita lakukan supaya kamu bisa fokus lagi?”
Ketika anak merasa diperlakukan dengan hormat, ia belajar bahwa kritik bukan ancaman, melainkan kesempatan untuk berkembang. Ia juga belajar bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh kesalahan yang ia buat.
2. Bedakan antara mengoreksi tindakan dan menghakimi karakter

“Kenapa sih kamu ceroboh banget?” dan “Tadi gelasnya tumpah karena kamu terburu-buru.”
Kritik yang menempel pada identitas "kamu ceroboh”, “kamu nakal” dapat membuat anak membentuk label di kepalanya aku memang selalu salah. Itu yang membuat anak takut mencoba hal baru karena ia merasa dirinya sudah buruk duluan.
Sebaliknya, ketika kritik diarahkan pada tindakan "barusan terburu-buru”, anak dapat memahami bahwa yang perlu diperbaiki adalah tindakannya, bukan dirinya.
Ia belajar bahwa kesalahan tidak menentukan siapa dirinya, hanya menginformasikan apa yang perlu diperbaiki.
3. Ajari anak mendengarkan terlebih dahulu sebelum merespon

Kebanyakan anak langsung bereaksi ketika dikritik. Mereka menangis, marah, atau menolak mendengar. Ini bukan karena mereka “keras kepala”, tetapi karena mereka belum belajar mengatur emosi.
Mama bisa membantu dengan melatih satu kebiasaan sederhana, seperti berhenti sejenak.
Saat hendak memberi kritik, Mama dapat berkata, “Mama bicara dulu sampai selesai ya. Setelah itu, kamu boleh cerita versi kamu.”
Ia belajar bahwa kritik bukan pertarungan. Ia tidak harus membela diri setiap saat. Ia hanya perlu mendengarkan dulu, baru merespon.
Perlahan, ia belajar bahwa kritik bukan alarm bahaya, melainkan informasi.
4. Jangan berhenti pada kritik, beri kesempatan untuk memperbaiki
-51RaWbJ6WhkFJIOdPXYsulxIrvlizE74.png)
Kadang anak sudah tahu apa yang salah, tetapi tidak tahu harus bagaimana setelahnya. Kritik tanpa kesempatan memperbaiki hanya terasa seperti hukuman.
Alih-alih mengatakan, “Lain kali jangan begitu lagi,” coba ajak anak mencari solusi.
Misalnya ketika ia malas mengerjakan PR, “Bagian mana yang membuat kamu bingung? Mama temani ya, kita cari cara yang lebih enak.”
Ketika anak diberi ruang untuk mencoba lagi, ia belajar bahwa kritik bukan akhir, tetapi bagian dari proses.
Merasakan keberhasilan setelah memperbaiki adalah pengalaman emosional penting. Itu yang membentuk kepercayaan diri.
5. Gunakan komunikasi yang jelas dan empatik, bukan sindiran
-VqFYxcqztQD9Y3tJibPHf9gNUajWKKX9.png)
Beberapa orang tua menggunakan sarkasme tanpa sadar.
Contohnya, “Wah hebat ya, berantakan lagi. Memang kamu ahlinya.”
Anak mungkin tertawa karena mengikuti respons orang dewasa, tetapi di dalam hati ia merasa dipermalukan. Sarkasme tidak mengajarkan solusi. Sarkasme hanya mengajarkan malu.
Bandingkan dengan, “Mama tahu kamu sedang belajar. Yuk, kita perbaiki pelan-pelan.” Nada yang lembut membuat kritik bisa diterima tanpa merusak harga diri anak.
Anak tidak mengingat semua kata-kata Mama, tapi ia selalu mengingat cara Mama membuatnya 'merasakan'. Dengan pendampingan yang konsisten, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang terbuka terhadap masukan, mampu mengelola emosi, dan berani memperbaiki diri. Itulah 5 cara membuat anak bisa menerima kritik dengan baik.



















