- Kekerasan dalam keluarga membuat anak yang sering menyaksikan atau mengalami kekerasan cenderung meniru perilaku agresif.
- Trauma atau pengalaman buruk membuat luka emosional anak bisa melampiaskan perasaan negatifnya ke orang lain.
- Diskriminasi atau tekanan sosial membuat anak yang merasa tidak diterima atau dibandingkan dengan teman bisa memicu perilaku agresif.
- Hubungan pertemanan yang buruk membuat anak yang memiliki teman sebaya negatif lebih berisiko ikut merundung.
Efek Bully Menurut Sains dan Dampaknya pada Otak Anak

- Perundungan meninggalkan jejak di otak anak. Pengalaman perundungan mempengaruhi struktur otak, terutama bagian cuneu. Anak korban lebih sensitif, sementara pelaku kurang peka terhadap perasaan orang lain
- Fusiform gyrus dan sensitivitas korban terhadap ekspresi wajah, korban perundungan memiliki lapisan fusiform gyrus lebih tebal. Mereka lebih mudah merasa takut, cemas, dan sensitif terhadap ekspresi orang lain
- Faktor risiko pelaku bully yang perlu diketahui dan dicegah merupakan tanggung jawab bersama
Perundungan bukan sekadar masalah sosial, Ma, tapi juga berdampak langsung pada perkembangan otak anak. Anak yang menjadi korban maupun pelaku perundungan mengalami perubahan di bagian otak tertentu, yang memengaruhi cara mereka merespons emosi, membaca ekspresi orang lain, dan berinteraksi dengan lingkungan.
Dampaknya pun tidak main-main. Korban perundungan bisa menjadi lebih cemas, takut, dan sensitif, sementara pelaku cenderung kurang peka terhadap perasaan orang lain. Kondisi ini, jika tidak ditangani, bisa memengaruhi perilaku dan hubungan sosial anak di masa depan.
Untuk itu, Popmama.com bagikan informasi penting bagi Mama memahami efek bully menurut sains, agar bisa mengenali tanda-tanda perundungan dan membantu anak mengatasi dampaknya sejak dini.
Yuk, disimak!
1. Perundungan meninggalkan jejak di otak anak

Tahukah Mama, perundungan tidak hanya meninggalkan luka emosional, tapi juga mempengaruhi perkembangan otak anak? Sains menunjukkan bahwa pengalaman menjadi korban atau pelaku perundungan bisa terlihat pada struktur otak tertentu.
Salah satu bagian yang terpengaruh adalah cuneus, yang terletak di bagian belakang otak. Anak korban perundungan cenderung memiliki cuneus yang lebih tebal. Kondisi ini membuat mereka lebih sensitif terhadap perilaku orang lain, sehingga luka emosional terasa lebih dalam dan mudah cemas.
Sementara itu, si Anak yang menjadi pelaku perundungan justru cenderung memiliki cuneus lebih tipis. Akibatnya, mereka kurang peka terhadap reaksi korban dan tidak selalu menyadari bahwa tindakannya menyakiti orang lain. Dengan kata lain, otak mereka “terprogram” berbeda karena pengalaman bullying, Ma.
2. Fusiform gyrus dan sensitivitas korban terhadap ekspresi wajah

Selain cuneus, bagian otak bernama fusiform gyrus juga ikut terpengaruh oleh pengalaman perundungan. Fusiform gyrus berperan penting dalam mengenali wajah dan emosi orang lain, Ma.
Anak yang sering menjadi korban perundungan cenderung memiliki lapisan fusiform gyrus lebih tebal. Akibatnya, mereka lebih mudah merasa takut, cemas, dan sensitif terhadap ekspresi orang lain. Bahkan, hal-hal kecil yang sepele pun bisa membuat mereka merasa terancam atau tidak nyaman.
Perubahan ini menunjukkan bahwa pengalaman dirundung “menanamkan” kewaspadaan berlebihan pada otak si Anak, sehingga mereka selalu membaca sinyal sosial dengan hati-hati. Mengetahui hal ini penting agar orang tua bisa lebih peka dalam memberikan dukungan dan rasa aman bagi anak.
3. Faktor risiko pelaku bully

Perundungan bukan terjadi begitu saja. Ada berbagai faktor yang membuat seorang anak berpotensi menjadi pelaku bullying. Sains menyebutkan bahwa lingkungan dan faktor epigenetik memegang peran penting.
Beberapa faktor risiko yang perlu diperhatikan antara lain:
Dengan memahami faktor-faktor ini, orang tua bisa lebih waspada dan mengintervensi lebih dini sebelum perilaku perundungan terbentuk atau menjadi kebiasaan.
4. Korban bisa menjadi pelaku

Sains menunjukkan, anak yang menjadi korban perundungan memiliki potensi untuk menjadi pelaku di masa depan, Ma. Risiko ini meningkat jika anak tidak mendapatkan dukungan yang tepat dari orangtua atau lingkungan sekitarnya.
Faktor seperti pengalaman trauma, kurangnya bimbingan, dan pengaruh teman sebaya yang negatif bisa membuat anak belajar perilaku agresif sebagai cara menghadapi situasi sosial. Dengan memahami hal ini, orang tua bisa lebih waspada dan mengintervensi lebih dini agar anak tidak terjebak dalam lingkaran perundungan yang sama.
5. Memutus lingkaran perundungan

Menghentikan perundungan bukan hanya tanggung jawab sekolah atau teman sebaya, tapi juga orangtua. Dengan parenting yang baik dan edukasi sejak dini, anak bisa belajar mengontrol emosi, bersikap empati, dan berinteraksi dengan teman tanpa menyakiti orang lain.
Langkah sederhana seperti memberi perhatian, mendengarkan perasaan anak mama, dan mencontohkan perilaku positif dapat membantu memutus siklus kebencian. Dengan begitu, dunia akan terasa lebih ringan karena anak-anak belajar menenangkan hati, bukan melukai hati orang lain.
Ma, itulah beberapa hal yang perlu diketahui tentang efek bully menurut sains. Dengan memahami dampaknya, Mama bisa lebih siap membantu anak mengatasi perundungan, mencegah siklus kebencian, dan menumbuhkan empati serta kontrol emosi sejak dini.

















-smZIk0Nsd25hP0vk8SU2HMmOVdRpOAfq.jpg)

