Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
anak sedang berbincang dengan kedua orangtua
Freepik/bearfotos

Intinya sih...

  • Pola asuh transaksional membuat anak percaya bahwa kasih sayang harus “dibayar” dengan prestasi sehingga anak tumbuh penuh kecemasan.

  • Hubungan transaksional menyebabkan anak menjadi people pleaser, hanya melakukan sesuatu jika ada imbalan.

  • Hubungan menjadi dangkal dan penuh ekspektasi padahal yang ia butuhkan hanyalah penerimaan dan kehadiran tanpa tuntutan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Fungsi keluarga adalah memelihara, merawat dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya. Cinta yang lahir di dalam keluarga adalah relasional yang tulus. Saling memberi dan saling membahagiakan, tidak menuntut kembali.

Namun, tanpa disadari, sebagian orangtua menerapkan pola asuh yang bersifat transaksional yang berpengaruh pada psikologis anak di masa depan.

Hubungan transaksional adalah hubungan di mana perhatian dan kasih sayang diberikan hanya jika seseorang melakukan sesuatu yang sesuai harapan. Orangtua yang transaksional acap kali memandang hubungan dengan anak-anaknya sebagai suatu pertukaran. Alih-alih cinta tanpa syarat, anak dianggap sebagai ‘investasi’ masa depan orangtua. Saat anak dewasa, anak dituntut untuk ‘mengembalikan’ hal-hal yang sudah dikorbankan kedua orangtua. 

Ciri-ciri yang sering ditemui orangtua dengan pola asuh ini adalah kebaikan dibalas dnegan tuntutan, berhak atas semua yang menjadi milik anak, kasih sayang seolah-olah ada syaratnya, membandingkan anak dengan orang lain, dan memaksa anak untuk melakukan yang orangtua inginkan.

Dalam artikel ini, Popmama.com akan mengulas 10 alasan stop sifat transaksional orangtua pada anak. Simak, ya!

1. Anak belajar bahwa cinta harus “dibayar”

Freepik

Pola asuh transaksional membuat anak percaya bahwa kasih sayang hanya bisa didapat jika ia melakukan sesuatu. Anak tidak merasa dicintai secara utuh karena ia selalu berpikir ada syarat yang harus dipenuhi. 

Pada akhirnya, anak tumbuh dengan keyakinan bahwa dirinya tidak cukup berharga tanpa prestasi atau pencapaian tertentu. Anak akan selalu merasa khawatir yang berlebih apabila ia tidak cukup melakukan seuatu untuk membuat sekitarnya bahagia.

2. Menghambat rasa percaya diri anak

Freepik

Ketika cinta diberikan sebagai bentuk reward atas suatu tindakan, anak menjadi merasa tidak cukup baik dalam keadaan biasa. Ia akan terus mencari validasi eksternal, bukan membangun keyakinan bahwa dirinya mampu dan bernilai.

Rasa ketidakpercayaan atas dirinya sendiri akan berpengaruh pada hubungan sosialisnya. Anak bisa merasa cemas berlebih, tidak mau berkembang, atau bahkan bisa menumbuhkan sifat keinginan menjatuhkan orang lain, agar ia merasa cukup.

3. Anak menjadi takut gagal

Freepik

Pola asuh transaksional menciptakan ketakutan akan kesalahan. Anak merasa gagal berarti “kurang layak dicintai”. Ketakutan ini bisa melekat hingga dewasa dan membuat mereka sulit mencoba hal baru. Maka, anak akan selalu berada di zona nyaman.

4. Hubungan emosional menjadi dangkal

Freepik

Anak tidak merasakan kedekatan emosional yang tulus. Hubungan hanya terasa seperti pekerjaan, seperti ada target, harus memenuhi ekspektasi, ada imbalannya. Ini mengurangi kesempatan membangun kelekatan emosional yang sehat.

Pengasuhan yang responsif serta dukungan emosional yang konsisten menjadi fondasi penting bagi perkembangan emosi anak. Ketika anak merasa didengar dan dipahami, ia tumbuh dengan rasa aman dan percaya diri.

5. Anak tumbuh menjadi people pleaser

Freepik/8photo

Karena terbiasa melakukan sesuatu demi mendapatkan kasih sayang, anak bisa kesulitan menolak permintaan orang lain saat dewasa. Ia cenderung mengorbankan diri untuk membuat orang lain senang.

Untuk merasa diterima, diajak, dan fit in the society, anak akan melakukan apapun di lingkungannya agar ia diberi imbalan ditemani.

6. Risiko konflik pada masa remaja semakin tinggi

Freepik/stockking

Saat remaja, anak mulai menyadari bahwa hubungan yang sehat bukan tentang transaksi. Mereka bisa memberontak karena merasa jenuh selalu dituntut memenuhi syarat tertentu.

Sebaliknya, anak bisa saja membawa budaya dan kebiasaanya di rumah pada hubungan interpersonalnya saat remaja nanti.

7. Anak tidak belajar mengatur emosi secara sehat

Freepik

Orangtua yang transaksional umumnya fokus pada hasil, bukan proses atau perasaan anak. Anak jadi tidak terbiasa mengekspresikan emosinya.

Ini bisa berdampak pada kemampuan regulasi emosi di masa depan.

8. Mengurangi motivasi intrinsik

Freepik/8photo

Ketika anak terbiasa diberi hadiah untuk melakukan sesuatu, anak hanya akan bergerak jika ada imbalan. Ia tidak belajar melakukan sesuatu karena kesadaran atau tanggung jawab, melainkan hanya demi “bayaran”.

Untuk itu, saat bekerja nantinya, anak bisa memiliki integritas dan daya juang yang rendah.

9. Anak tidak belajar mencintai dengan tulus

Freepik

Jika kasih sayang selalu kondisional, anak akan tumbuh dengan pola yang sama dalam relasi. Ia sulit memberi cinta tanpa mengharapkan balasan, karena inilah yang dipelajari dari hubungan dengan orangtuanya.

10. Merusak ikatan jangka panjang orangtua–anak

Freepik/jcomp

Saat dewasa, anak bisa mengambil jarak dari orangtuanya. Ia merasa hubungan tersebut melelahkan dan tidak pernah netral. Ini sangat disayangkan, karena hubungan keluarga seharusnya menjadi tempat pulang, bukan negosiasi yang melelahkan.

Anak tidak membutuhkan orangtua yang sempurna. Mereka hanya membutuhkan orangtua yang hadir, menerima, dan mencintai mereka tanpa syarat. Ketulusan cinta orangtua adalah pondasi bagi masa depan emosional dan mental anak. 

Dari 10 alasan stop sifat transaksional orangtua pada anak, berikan cinta tanpa syarat hari ini, agar anak mampu mencintai dirinya sendiri kelak.

Editorial Team