Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Anak Selalu Rewel? Ini 7 Alasan Misbehavior Toddler

Anak sedang menangis rewel
Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA

Pernahkah Mama bertanya-tanya, kenapa toddler sering rewel padahal segala kebutuhan mereka sudah difasilitasi dengan baik? Kenapa anak tidak mau mendengarkan? Kenapa meski kita sudah bilang ‘tidak’, mereka tetap melakukannya? 

Tidak apa-apa, Ma, pertanyaan itu normal. Tetapi penting untuk diingat bahwa toddler bukanlah versi mini dari orang dewasa. Mama tidak bisa berekspektasi mereka akan bertindak atau mengerti keadaan layaknya orang dewasa. 

Otak mereka masih dalam tahap perkembangan, terutama bagian yang mengatur emosi dan logika. Karena itu, kemampuan mereka untuk mengelola perasaan dan memahami situasi masih sangat terbatas. 

Perilaku rewel itu terjadi bukan karena mereka ingin menyusahkan Mama, melainkan karena mereka sedang mengalami kesulitan yang belum bisa mereka ungkapkan atau atasi sendiri. Mereka butuh bantuan dan pendampingan Mama untuk melewati fase ini. 

Dalam artikel ini, Popmama.com akan membahas 7 alasan misbehavior pada toddler. Yuk, kita pahami bersama apa sebenarnya yang menjadi penyebab kerewelan si Kecil.

1. Frustrasi dan ketidakmampuan berkomunikasi

Anak sedang rewel dan ditenangkan oleh ibunya
Pexels/Jep Gambardella

Toddler sering kali belum memiliki keterampilan bahasa yang cukup untuk mengekspresikan kebutuhan dan emosi mereka. 

Ketidakmampuan untuk berkomunikasi ini bisa menimbulkan frustrasi, yang akhirnya meledak dalam bentuk tantrum atau perilaku tidak menyenangkan lainnya. Kadang kala, perilaku itu bahkan dilakukan di tempat umum.

Coba Mama bayangkan jika Mama berada di posisi mereka, Mama butuh minum atau ingin dipeluk, tetapi tidak bisa mengomunikasikannya karena Mama belum belajar cara berbahasa dengan baik. Pasti rasanya sangat  menjengkelkan.

Itulah sebabnya, ketika Mama bertanya, “Kenapa kamu melakukannya?”, reaksi anak bisa jadi semakin tidak terkendali. Kenyataannya, sebagian besar anak belum mampu menjelaskan alasan mereka bertingkah. Pertanyaan “kenapa” justru bisa membuat mereka makin bingung, dan Mama pun semakin frustasi karena tidak mendapat jawaban yang diharapkan.

Bantu anak mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan mendorong mereka untuk menggunakan kata-kata saat mengungkapkan perasaan.

Ajarkan frasa sederhana seperti “Aku mau,” “Aku butuh,” atau “Aku marah.” 

Selain itu, cobalah mengerti mereka dengan sabar. Akui perasaan mereka, lalu bantu mereka menemukan solusi. 

Misalnya, jika anak menjerit karena tidak boleh memegang mainan, Mama bisa berkata, “Mama tahu kamu sedih karena tidak bisa mainan itu sekarang. Yuk, kita cari mainan lain yang bisa kamu pakai.”

Tuturan itu tidak hanya memvalidasi emosi mereka, tapi juga membantu mengalihkan perhatian mereka kepada solusi yang lebih positif.

2. Tantangan dalam membiasakan rutinitas dan memahami konsep waktu

Anak sedang rewel di gendongan ayah
Pexels/Phil Nguyen

Masa kanak-kanak penuh dengan berbagai tahap perkembangan yang menantang. Memiliki rutinitas yang konsisten akan membantu anak merasa aman karena mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Bahkan anak yang paling bebas dan santai pun akan merasa lebih nyaman jika tidak harus menghadapi hal-hal yang mengejutkan atau membingungkan.

Anak-anak cenderung lebih menyukai struktur dan rutinitas. Ketika jadwal mereka terganggu, atau mereka merasa tidak aman atau bingung akan apa yang terjadi berikutnya, perilaku mereka bisa dengan cepat berubah menjadi negatif.

Rutinitas yang dapat diprediksi memberi anak rasa kontrol atas dunia mereka. Rasa nyaman ini akan mengurangi kecemasan mereka.

3. Lapar atau kehausan

Anak sedang makan
Pexels/Vanessa Loring

Anak-anak yang lapar atau haus sering kali menunjukkan perilaku tidak menyenangkan sebagai cara tak langsung untuk memberi tahu bahwa tubuh mereka butuh asupan. 

Sayangnya, membaca tanda-tanda ini tidak selalu mudah.

Perilaku anak sering kali berkaitan dengan kebutuhan fisik yang belum terpenuhi. 

Anak yang lapar atau dehidrasi bisa bertingkah hanya karena mereka sendiri belum menyadari bahwa mereka butuh makanan ringan atau minuman. 

Memberi makan dan minum secara rutin dengan makanan bergizi dapat mencegah tantrum di tengah hari.

Anak-anak tidak selalu menyadari kapan mereka perlu makan atau minum, terutama saat sedang asyik bermain. 

Padahal, tubuh kecil mereka membakar energi dengan sangat cepat. Selain membawa camilan bergizi ke mana-mana, menjaga rutinitas makan yang teratur juga sangat membantu. 

Dengan begitu, Mama bisa lebih mudah memantau kapan anak perlu “isi ulang energi” sebelum perilaku mulai berubah.

4. Terlalu banyak atau terlalu sedikit stimulasi

Anak sedang bermain lego
Pexels/Polesie Toys

Anak-anak bisa bertingkah saat mereka merasa kewalahan oleh rangsangan yang berlebihan, seperti kebisingan dan keramaian.

Overstimulasi ini bisa membuat mereka mudah marah dan mengalami ledakan emosi.

Sebaliknya, kurangnya stimulasi juga bisa memicu perilaku bermasalah lain. Anak yang bosan akan mencari cara untuk menghibur diri sendiri. Cara ini sering kali berujung pada perilaku yang dianggap “mengganggu.” Terkadang mereka melakukannya hanya untuk mendapatkan perhatian Mama.

Orangtua bisa menjaga keseimbangan stimulasi dengan memberikan waktu istirahat setelah aktivitas yang intens, menawarkan aktivitas yang cukup menarik agar anak tetap terlibat, serta memahami tanda-tanda ketika anak merasa kewalahan atau bosan sehingga dapat segera membantu mereka merasa lebih nyaman dan tenang.

5. Screentime berlebihan

Anak menelepon dan ibu bertanya
Pexels/Kaboompics.com

Pernahkah Mama memperhatikan bahwa setelah menonton TV atau bermain gadget, anak menjadi mudah marah saat diminta berhenti? Mereka bisa tiba-tiba tantrum, marah, atau bersikap kasar saat layar dimatikan.

Waktu layar yang berlebihan bisa sangat memengaruhi suasana hati dan perilaku anak. 

Terlalu lama menatap layar bisa membuat anak jadi mudah marah, susah beralih ke aktivitas lain, dan sulit tidur.

Pada tingkat yang lebih parah, screen time berlebih ini dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Itulah mengapa membatasi screen time sangat penting untuk menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan menjaga perilaku anak tetap seimbang.

6. Ketakutan dan kecemasan

Anak berjalan dengan ayah di kegelapan
Pexels/Nikita Nikitin

Rasa takut, baik yang masuk akal maupun tidak, bisa memicu reaksi emosional yang kuat pada anak. Kecemasan akan berpisah dengan Mama, takut gelap, atau kekhawatiran soal sekolah bisa membuat mereka tampak menentang atau sulit diatur, padahal sebenarnya mereka sedang merasa cemas.

Memahami bahwa sebagian perilaku anak bisa berasal dari rasa takut akan membantu Mama lebih sabar dan peka. 

Daripada langsung memarahi, lebih baik dekati mereka dengan sabar dan bantu mereka menghadapi ketakutannya secara perlahan.

7. Menguji batasan dan aturan

Anak sedang bermain mobil-mobilan
Pexels/Polesie Toys

Toddler secara alami suka bereksplorasi, dan tahapan proses tumbuh mereka salah satunya adalah menguji batasan dan aturan. 

Mereka ingin tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Meskipun ini normal, orang tua sering merasa frustrasi saat harus mengulang larangan yang sama berkali-kali. Sesederhana seperti ketika anak terus mengulangi makan makanan manis selepas menggosok gigi  di malam hari.

Kunci dalam menghadapi fase ini adalah konsistensi. Tetapkan aturan yang jelas dan patuhi secara konsisten. Saat anak menguji batas, ingatkan mereka dengan tenang tentang aturan dan konsekuensinya. 

Misalnya, jika anak terus bermain-main, memanjat-manjat kursi dan membuat gaduh, Mama bisa berkata, “Kursi untuk duduk, bukan untuk dipanjat. Kalau kamu mau memanjat, kita bisa ke luar dan main di taman.” 

Mengarahkan mereka ke aktivitas yang sesuai membantu mereka memahami batasan dengan cara yang positif.

Saat menetapkan batasan, pastikan Mama menjelaskannya dengan bahasa sederhana. Jika Mama melarang melompat di sofa, pastikan aturan itu ditegakkan setiap saat. Tidak hanya berlaku untuk anak, tetapi juga anggota keluarga yang lainnya. 

Ketidakkonsistenan bisa membuat anak bingung dan justru mendorong mereka untuk terus menguji. Jelaskan juga alasannya, misalnya, “Kita tidak lompat-lompat di sofa karena kamu bisa jatuh dan terluka.” 

Itu dia, Ma, 7 alasan misbehavior pada toddler. Apakah anak mama juga mengalami hal yang sama? Bagaimana versi Mama menanggapi kelakuan mereka itu?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us

Latest in Kid

See More

Seru! Rayakan Natal dan Tahun Baru yang Meriah Bersama Lippo Malls

04 Des 2025, 18:39 WIBKid