Nenek Aniaya Cucu yang Mengemis, Kenapa Kekerasan Anak Masih Terjadi?

Eksploitasi anak untuk mencari uang di jalan masih jadi masalah yang belum selesai

1 Mei 2021

Nenek Aniaya Cucu Mengemis, Kenapa Kekerasan Anak Masih Terjadi
Unsplash/wooozxh

Sebuah video viral beredar di media sosial. Seorang wanita tertangkap mengaiaya pengemis di Palembang, Sumatera Selatan.

Adalah Suryani, pelaku pengainayaan tersebut. Korban ternyata merupakan cucu kandungnya yang disuruh mengemis.

Kuat dugaan, penganiayaan terebut muncul karena uang setoran si anak dirasa kurang. Hal itu membuat si nenek emosi hingga melakukan kekerasan.

Lebih mengherankan lagi, orangtua kadung menetahui anaknya dieksploitasi. Sang anak disuruh mengemis.

Mengapa masih ada eksploitasi dari orangtua ke anak-anak dan apa dampaknya jika anak terus mendapatkan tindakan seperti ini dari orang terdekatnya? 

Berikut ulasan dari Popmama.com

1. Melanggar perlindungan anak

1. Melanggar perlindungan anak
Pexels/Kat Jayne

Tindakan yang dilakukan Suryani melanggar perlindungan anak. Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya.

Menurut UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13 menyebutkan: Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan.

Editors' Pick

2. Banyak terjadi di Indonesia

2. Banyak terjadi Indonesia
Pixabay/PublicDomainPictures

Miris! Kekerasan pada anak ternyata banyak terjadi di Indonesia. Tahun 2012 terdapat laporan kasus , dengan 62% di antaranya merupakan kekerasan seksual kepada anak-anak yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang terdekat.

Tahun 2016 dalam triwulan pertama menunjukkan 645 laporan, 167 diantaranya adalah anak dengan masalah hukum (ABH), seperti pencurian, bulliying. 152 kasus berkaitan dengan masalah hak asuh.

Ketua KPAI menyebutkan rata-rata kekerasan pada anak yang terjadi 3.700 per tahun. Dengan demikian kekerasan pada anak yang terjadi di Indonesia terdapat lebih dari 10 kasus per-hari.

Data terbaru, berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari hingga 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Angka ini tergolong tinggi.
 

3. Penyebab terjadinya kekerasan pada anak

3. Penyebab terjadi kekerasan anak
Freepik/Jcomp

Kekerasan pada anak bisa terjadi akibat beberapa faktor. Berikut penjelasannya yang dibahas oleh Dr. Sururin dari HIDMAT Muslimat NU Pusat.

  • Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme,
  • anak terlalu lugu, memeiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak terhadap hakhaknya, anak terlalu bergantung kepada orang dewasa. Kondisi tersebut membuat anak mudah diperdaya.
  • Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak. Kondisi ini banyak menyebabkan kekerasan pada anak. Hal ini terjadi saat anak dieksplotasi seperti yang dilakukan oleh Suryani.
  • Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
  • Keluarga yang belum matang secara psikologis, (unwanted child), anak yang lahir diluar nikah.
  • Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.
  • Sejarah penelantaran anak. Orang tua semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.
  • Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah.

4. Eksploitasi pada anak

4. Eksploitasi anak
pixabay.com/PublicDomainPictures

UNICEF menetapkan beberapa kriteria pekerja anak yang dieksploitasi, yaitu bila menyangkut:

  • Kerja penuh waktu (full time) pada umur yang teralu dini.
  • Terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja.
  • Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial dan psikologi yang tak patut terjadi.
  • Upah yang tidak mencukupi.
  • Tanggung jawab yang terlalu banyak.
  • Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan.
  • Pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual.

5. Dampak eksploitasi terhadap anak

5. Dampak eksploitasi terhadap anak
Pexels/alex-green

Eksploitasi pada tenaga kerja anak dapat menimbulkan berbagai gangguan pada anak baik fisik maupun mental. Beberapa dampak dari eksploitasi anak terhadap tumbuh kembangnya adalah:

  1. Pertumbuhan fisik termasuk kesehatan secara menyeluruh, kekuatan, penglihatan dan pendengaran.
  2. Pertumbuhan kognitif termasuk melek huruf, melek angka, dan memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan normal.
  3. Pertumbuhan emosional termasuk harga diri, ikatan kekeluargaan, perasaan dicintai dan diterima secara memadai
  4. Pertumbuhan sosial serta moral termasuk rasa identitas kelompok, kemauan untuk bekerja sama dengan orang lain dan kemauan membedakan yang benar dan yang salah.

Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta dijunjung tinggi hak-hak mereka. Semoga kasus eksploitasi terhadap anak disertai dengan kekerasan tak terjadi lagi.

Baca juga:

The Latest