Mengenal Flexing, Budaya Pamer yang Dikaitkan dengan Gangguan Mental

Apakah kamu sering pamer di media sosial?

14 Maret 2023

Mengenal Flexing, Budaya Pamer Dikaitkan Gangguan Mental
Freepik/drobotdean

Belakangan ini, fenomena flexing atau pamer kekayaan di media sosial makin banyak terjadi. Beberapa hal yang kerap dipamerkan diantaranya uang, momen liburan mewah, mobil mewah, tas mewah, higga nominal saldo di rekening tabungan.

Flexing atau pamer sebenarnya merupakan tindakan yang banyak dilakukan untuk mendapat pengakuan dari orang lain, baik secara sengaja atau tidak. Alasannya karena seseorang merasa kurang percaya diri, sehingga butuh adanya validasi dan perhatian dari orang lain. Hal ini yang kemudian banyak dikaitkan dengan masalah gangguan mental.

Supaya lebih jelas, yuk, kenali apa itu flexing, budaya pamer yang dikaitkan dengan gangguan mental. Berikut Popmama.com rangkum informasi selengkapnya, dilansir dari berbagai sumber.

1. Apa itu flexing?

1. Apa itu flexing
Freepik/drobotdean

Flexing adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang, untuk memamerkan atau menyombongkan sesuatu yang dimilikinya kepada khalayak umum. Dalam kata lain, flexing dikatakan juga sebagai tindakan pamer.

Di Indonesia, flexing dikenal sebagai suatu konteks pamer kekayaaan, yang diunggah di media sosial.

Saat ini, banyak pengguna media sosial yang berlomba-lomba untuk menunjukkan kehidupan mewahnya, demi mendapat perhatian dari warganet. Mulai dari pamer mobil mewah, tas mewah, hingga pamer liburan mewah.

Editors' Pick

2. Alasan seseorang melakukan flexing

2. Alasan seseorang melakukan flexing
Freepik/jcomp

Secara psikologi, ada banyak alasan mengapa seseorang melakukan tindakan flexing atau pamer. Berikut ini alasan mengapa seseorang melakukan flexing:

  • Sebagai bentuk pencitraan diri. Dengan memamerkan sesuatu yang dimiliki, seseorang akan merasa mampu menunjukkan stasus sosialnya kepada orang lain. Ini dilakukan dengan harapan agar citranya menjadi lebih baik di mata orang lain.
  • Menutupi rasa insecure. Seseorang yang sering merasa tidak aman atau rendah diri, biasanya cenderung menutupi hal ini dengan apa yang dimilikinya. Jadi ketika seseorang tidak memiliki suatu hal, ia akan menutupinya dengan membanggakan hal lain yang dimiliki.
  • Sebagai eksistensi diri. Flexing juga dilakukan dengan alasan sebagai ekistensi diri. Dengan memamerkan kemewahan, seseorang akan lebih banyak mendapat perhatian di sosial media.
  • Kurang memiliki rasa empati. Ketika seseorang kurang memiliki rasa empati, biasanya rasa tidak peduli akan muncul. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk berperilaku apapun, termasuk melakukan flexing. Karena orang yang kurang memiliki empati akan merasa bahwa flexing adalah sebuah kewajaran.

3. Flexing memiliki sisi baik dan buruk

3. Flexing memiliki sisi baik buruk
Freepik/kroshka__nastya

Menurut Psychology Today, flexing atau pamer merupakan satu hal yang wajar terjadi. Hal ini dikatakan wajar ketika seseorang melakukan pamer untuk meningkatkan motivasi diri, mempersiapkan diri untuk keberhasilan masa depan, menginspirasi orang lain, serta menghindari diri dari risiko depresi.

Namun di sisi lain, flexing juga bisa menjadi satu hal negatif, ketika didasari dengan kondisi psikis. Misalnya flexing dilakukan karena adanya rasa kurang percaya diri, kesepian, atau cemburu. Sebab jika didasari kondisi tersebut, tentunya flexing bisa memicu perilaku ekstrem seseorang.

4. Flexing atau pamer dilakukan untuk menutupi rasa kurang percaya diri

4. Flexing atau pamer dilakukan menutupi rasa kurang percaya diri
freepik/yanaiya

Menurut ilmu psikologi klinis, perilaku flexing yang dilakukan seseorang berkaitan erat dengan rasa kurang percaya diri, atau yang saat ini lebih dikenal dengan istilah insecurity. Seseorang yang tidak percaya diri, kerap terlihat seperti meremehakan diri sendiri dan mengalami gejala depresi, demikian melansir dari Verywell Mind.

Rasa tidak percaya diri umumnya membuat orang lain merasa kesepian dan memiliki kecemasan sosial. Sehingga muncul keinginan untuk menunjukkan kemampuan, demi mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Alasan inilah yang kemudian mendorong seseorang, untuk mencari perhatian dan validasi orang lain secara berlebihan. Salah satunya dengan melakukan flexing atau pamer di media sosial, dengan harapan orang lain akan merasa tertarik dan terpancing untuk saling berinteraksi.

5. Hati-hati, budaya pamer bisa menyebabkan masalah gangguan mental

5. Hati-hati, budaya pamer bisa menyebabkan masalah gangguan mental
Pixabay/Wokandapix

Tanpa disadari, flexing bisa menyebabkan seseorang merasa stres dan cemas. Karena terus menerus dituntut untuk memberi tahu orang lain mengenai pencapaiannya. Menurut Verywell Mind, kondisi ini nantinya dapat menyebabkan masalah gangguan kesehatan mental, seperti:

  • Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), suatu kondisi yang membuat seseorang sulit untuk memusatkan perhatian.
  • Borderline Personality Disorder, suatu kondisi yang membuat seseorang sulit mengontrol perilaku dan susana hatinya.
  • Gangguan bipolar, suatu kondisi yang membuat seseorang mengalami perubahan suasana hati secara tiba-tiba.
  • Histrionic Personality Disorder, suatu kondisi yang ditandai dengan ketidakstabilan emosi, serta kecenderungan untuk mencari perhatian orang lain.
  • Intermittent Explosive Disorder, suatu kondisi yang membuat seseorang sulit untuk mengontrol amarahnya, sehingga berisiko melakukan tindakan yang kasar atau negatif.
  • Narcissistic Personality Disorder, suatu kondisi yang membuat seseorang merasa dirinya lebih hebat atau lebih penting dari orang lain.
  • Oppositional Defiant Disorder, suatu kondisi yang membuat seseorang mudah marah dan merasa tersinggung.

Nah, demikian tadi informasi mengenai apa itu flexing, budaya pamer yang dikaitkan dengan gangguan mental.

Sebenarnya, tidak ada yang melarang kamu untuk berbagi informasi mengenai pencapaian hidup di media sosial. Namun hal ini perlu dilakukan dengan bijak ya, guna menghindari risikonya terutama yang berkaitan dengan kesehatan mental.

Baca juga:

The Latest