Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

Dasar Hukum Cerai Hidup dan Cerai Mati dalam Pernikahan

buildingblocks.solutions
buildingblocks.solutions

Perceraian menjadi suatu polemik di masyarakat terutama rumah tangga antara suami istri yang bisa berdampak besar bagi pribadi maupun orang di sekitar. Banyak alasan yang menjadi penyebab dari perceraian. 

Alasan itu di antaranya salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan faktor lainnya yang sukar disembuhkan. Misalnya salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah. Bisa karena hal lain di luar kemampuannya juga bisa menjadi penyebab adanya perceraian. 

Berbagai alasan dan penyebab terjadinya perceraian juga berakibat bagi banyak hal. Hal tersebut juga diatur dalam peraturan baik Undang-undang maupun hukum dalam agama. Ada dua jenis perceraian yaitu cerai hidup dan cerai mati. 

Cerai hidup adalah cerai yang keduanya masih hidup dan hubungan perkawinan diputuskan dalam pengadilan. Sementara itu, cerai mati adalah salah satu pasangan meninggal dunia sehingga hubungan pernikahan keduanya terputus. 

Nah, kali ini Popmama.com telah merangkum dasar hukum cerai hidup dan cerai mati dalam pernikahan secara lebih detail. 

Yuk, disimak penjelasannya!

Dasar Hukum Cerai Hidup dan Cerai Mati dalam Pernikahan

Pasal 38 UU Perkawinan, Perceraian adalah Putusnya Perkawinan

thebrunettediaries.com
thebrunettediaries.com

Pasal 38 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan menerangkan bahwa perceraian adalah salah satu bentuk dari sebab putusnya perkawinan.

Perkawinan putus bisa disebabkan oleh karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Perceraian tentunya juga melahirkan konsekuensi tertentu terkait harta, hak asuh anak (hadhanah), dan status pernikahan. 

Untuk melakukan perceraian juga harus dengan cukup alasan bahwa sudah tidak terdapat lagi kecocokan dan persamaan tujuan dalam membina rumah tangga, artinya sudah tidak dapat hidup rukun kembali sebagai sepasang suami istri.

Pasal 39 UU Perkawinan, Cerai Hidup Putusnya Perkawinan di Pengadilan

Pexels/Sora Shimazaki
Pexels/Sora Shimazaki

Pasal 39 Undang-undang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 

Selama proses perceraian dilakukan, baik itu di Pengadilan Agama atau bahkan Pengadilan Negeri. Ada baiknya jika pihak penggugat dan tergugat didampingi advokat atau pengacara. Pasalnya keberadaannya dapat menjembatani setiap kesempatan yang akan dibuat.

Pasal 8 dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan bahwa putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khulu, atau putusan taklik talak.

Pasal 41 UU Perkawinan, Akibat Putusnya Perkawinan

Pexels/cottonbro studio
Pexels/cottonbro studio

Secara hukum konsekuensi akibat putusnya perkawinan karena perceraian tersebut diatur dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan di antaranya:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata- mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Apabila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Pasal 96 KHI, Harta Bersama dalam Cerai Mati

Pexels/RODNAE Productions
Pexels/RODNAE Productions

Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang apabila terjadinya cerai mati, di antaranya: 

(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97 KHI, Harta Bersama dalam Cerai Hidup

Pexels/cottonbro studio
Pexels/cottonbro studio

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. 

Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lain-lainnya.

Aturan Harta Bawaan Pasca Bercerai

Pexels/Jasmine Carter
Pexels/Jasmine Carter

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam berisi tentang:

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.

(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam di antaranya:

(1) Harta bawaan dari masing- masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodakah, atau lainnya.

Masa Idah Cerai Mati

todayschristianwoman.com
todayschristianwoman.com

Pasal 153 ayat (2) huruf a KHI masa idah cerai mati atau masa idah suami meninggal adalah 130 hari. Jika perempuan yang ditinggalkan sedang hamil, masa idah suami meninggal sebagaimana dalam Pasal 153 ayat (2) huruf d KHI adalah hingga waktu melahirkan.

Masa idah seorang istri ditinggal wafat suaminya dengan keadaan tidak hamil harus menjalani waktu tunggunya selama empat bulan sepuluh hari. Jika seorang perempuan tersebut dicerai oleh suaminya tanpa digauli atau belum melakukan hubungan suami istri, maka idahnya tidak berlaku baginya.

Berbeda jika seorang perempuan dalam keadaan hamil, baik dicerai mati atau hidup waktu tunggu yang harus dijalankan adalah sampai dirinya melahirkan. Perempuan dicerai suaminya saat menstruasi atau pernah menstruasi adalah tiga kali suci dari haid atau tiga Quru'.

Ketentuan waktu tiga bulan untuk perempuan yang belum atau sudah menopause dicerai. Hak dan kewajiban saat masa idah seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya meninggal.

Masa Idah Cerai Hidup

Pexels/KeiraBurton
Pexels/KeiraBurton

Masa idah cerai hidup atau ini keadaan untuk perempuan yang cerai dengan suami, hal ini diatur dalam Pasal Kompilasi Hukum Islam (KHI) di antaranya:

1. Masa idah talak 1

Untuk masa idah cerai perempuan yang ditalak satu, lama masa idah yang mesti dijalani adalah sama seperti halnya saat perempuan ditinggal meninggal, yakni 4 bulan 10 hari.

2. Masa idah talak 2

Sama halnya dengan masa idah talak 1, masa idah talak 2 sendiri memakan waktu 4 bulan 10 hari dari hari pertama setelah di talak.

3. Masa idah talak 3

Berbeda dengan masa idah talak 1 dan 2, masa idah talak 3 ini memakan waktu lebih cepat dibanding keduanya. Di mana waktu yang dibutuhkan dalam proses masa idah talak 3 adalah 3 kali haid sebagaimana disebut dalam Al-Baqarah ayat 228.

4. Masa idah istri menggugat cerai suami

Untuk masa idah yang satu ini, waktu masa idah yang dibutuhkan adalah sama halnya dengan masa idah talak 3, yakni satu kali periode haid berlangsung. Masa idah istri gugat cerai suami itu dimulai saat putusan pengadilan agama telah berkekuatan hukum tetap.

Pasal 105 KHI, Tanggung Jawab Orangtua terhadap Anak Pasca Perceraian

Freepik
Freepik

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam ketika dalam hal terjadi cerai hidup suami atau istri harus memenuhi pemeliharaan terhadap anak di antaranya:

(1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

(2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz atau sudah berumur 12 tahun, diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya sejalan dengan Pasal 149 huruf d mengatur bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Itulah beberapa dasar hukum cerai hidup dan cerai mati dalam pernikahan. Semoga informasi kali ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan baru, ya.

Share
Topics
Editorial Team
Dimas Prasetyo
EditorDimas Prasetyo
Follow Us

Latest in Life

See More

Resep Rica-Rica Ayam Sederhana, dengan Rempah Tradisional

15 Des 2025, 21:37 WIBLife