11 Mitos tentang Sperma yang Ternyata Salah Besar, Papa Wajib Catat!

- Sperma dipengaruhi oleh kualitas hidup, pola makan, dan gaya hidup, bukan cuma mitos soal celana dalam, makanan, atau jumlah.
- Jumlah atau kentalnya sperma belum tentu menentukan kesuburan tetapi kualitas, gerakan, dan bentuk sperma lebih penting.
- Mitos soal sperma sering dilebih-lebihkan.
Papa pasti sering mendengar berbagai cerita seputar kesehatan sperma, baik dari teman, keluarga, atau bahkan di media sosial. Tapi, apakah semua informasi itu benar dan bisa dipercaya? Atau justru selama ini Papa terjebak dalam mitos yang salah besar?
Nah, supaya Papa nggak salah kaprah dan bisa lebih paham soal kesehatan reproduksi, Popmama.com sudah merangkum 11 mitos tentang sperma yang sering dipercaya tapi sebenarnya nggak benar. Yuk, kita kupas bersama agar Papa bisa menjaga kesehatan dengan lebih tepat!
1. Sperma bukan perenang hebat seperti yang dibayangkan

Papa mungkin sering dengar anggapan kalau sperma itu bergerak cepat layaknya atlet renang yang sedang bertanding. Faktanya, perjalanan sperma nggak sesederhana itu, lho. Nggak semua sperma bisa melaju lurus menuju sel telur, ada sperma yang hanya bergerak melingkar, ada juga yang bergerak tanpa arah jelas, bahkan ada yang sama sekali nggak bergerak lho, Pa.
Perjalanan sperma menuju sel telur juga bukan cuma usaha mereka sendiri. Tubuh Mama ikut bantu lewat gerakan otot rahim yang mendorong sperma sampai ke tuba falopi, tempat sel telur menunggu. Jadi, sperma itu lebih mirip peserta yang lagi lewat jalur penuh rintangan dengan sedikit bantuan, bukan perenang super cepat yang langsung sampai tujuan.
2. Sperma nggak selalu lebih subur kalau cairannya kental

Papa mungkin pernah dengar kalau sperma yang kental tandanya lebih subur. Sebenarnya, nggak selalu begitu lho, Pa.
Cairan sperma yang terlihat lebih kental biasanya menandakan jumlah sperma yang lebih banyak atau ada banyak sperma dengan bentuk yang nggak normal. Jadi, kentalnya cairan bukan berarti kualitas sperma lebih baik ya, Pa.
Begitu sperma masuk ke dalam vagina, mereka akan bertemu dengan lendir serviks. Nah, lendir ini punya peran penting, yaitu melindungi sperma dari kondisi asam di vagina sekaligus menyaring. Sperma yang bentuk atau cara geraknya kurang bagus biasanya akan ditolak, sedangkan yang sehat akan dibantu agar bisa lanjut menuju sel telur.
Artinya, bukan seberapa kental cairannya yang menentukan, tapi kualitas sperma Papa yang lebih berpengaruh pada kesuburan.
3. Umur sperma ternyata bisa berbeda-beda

Banyak yang percaya kalau sperma hanya bisa hidup sebentar setelah dikeluarkan. Faktanya, umur sperma tergantung di mana mereka berada setelah ejakulasi. Kalau berhasil masuk ke dalam vagina, sperma bisa bertahan hingga 5 hari berkat perlindungan lendir serviks dan tempat penyimpanan kecil di leher rahim.
Namun, kalau sperma terkena udara dan mengering, maka sperma akan cepat mati. Sperma yang jatuh di permukaan kering atau dingin biasanya hanya bertahan beberapa menit, meskipun dalam kondisi tertentu bisa sampai 30 menit.
Sebaliknya, di air panas seperti bak mandi atau jacuzzi, sperma justru mati lebih cepat karena panas dan zat kimia dalam air. Jadi, umur sperma nggak bisa disamaratakan dan sangat bergantung pada lingkungan tempat mereka berada, Pa.
4. Perjalanan sperma menuju sel telur nggak sesingkat yang dibayangkan

Banyak yang membayangkan sperma langsung berenang lurus menuju sel telur begitu masuk ke vagina. Padahal, perjalanan mereka justru panjang dan penuh tahap. Saat berhubungan, sperma nggak langsung keluar lalu menuju rahim, melainkan harus melewati jalur yang cukup rumit.
Beberapa sperma bahkan menempel dulu pada dinding saluran tuba atau bersembunyi di ruang kecil bernama kripta sampai waktu ovulasi tiba. Ini jadi cara alami tubuh untuk menyimpan sperma sampai ada sel telur yang siap dibuahi.
Kalau dilihat jalurnya, sperma harus melewati beberapa bagian, pertama melalui vagina, lalu serviks yang menghubungkan ke rahim, masuk ke rahim, dan akhirnya mencapai tuba falopi. Di sinilah sperma bertemu sel telur yang dilepaskan ovarium.
5. Usia juga berpengaruh pada kualitas sperma Papa

Banyak yang percaya kalau laki-laki bisa selalu punya sperma sehat sepanjang hidup. Kenyataannya, sperma memang terus diproduksi tanpa henti, tapi kualitasnya bisa menurun seiring bertambahnya usia lho.
Semakin tua, sperma biasanya jadi kurang lincah bergerak dan kualitasnya akan menurun. Selain itu, risikonya lebih besar untuk membawa perubahan genetik yang bisa diturunkan ke anak.
Dilansir dari Healthline, penelitian di Islandia bahkan menemukan, laki-laki yang lebih tua berisiko empat kali lebih besar memberikan mutasi genetik pada anak dibandingkan perempuan. Hal ini juga diperkuat penelitian besar di Swedia pada tahun 2017 yang melibatkan lebih dari 1 juta orang. Hasilnya, semakin tua usia Papa, semakin besar kemungkinan anaknya lahir dengan mutasi genetik baru.
Jadi, walaupun sperma diproduksi seumur hidup, bukan berarti selalu sehat dan subur. Perlu dicatat jika usia tetap punya peran penting dalam menentukan kualitas sperma ya.
6. Nggak semua sperma siap untuk kehamilan

Banyak orang mengira semua sperma yang keluar itu sehat dan bisa langsung membuahi sel telur. Faktanya, nggak seperti itu.
Dilansir dari Healthline, hanya sebagian sperma yang benar-benar punya kualitas baik. Bahkan, untuk dianggap subur, cukup sekitar 40% sperma yang bisa bergerak aktif. Tapi, meskipun bisa bergerak, belum tentu sperma akan sampai ke tujuan.
Bentuk sperma juga berpengaruh besar lho. Kalau ada yang berekor aneh, berkepala ganda, atau bentuknya nggak normal, sperma biasanya kesulitan melewati jalur panjang menuju sel telur.
Bahkan sperma yang sehat sekalipun belum tentu berhasil. Ada yang justru nyasar ke bagian lain dalam sistem reproduksi perempuan dan akhirnya nggak pernah bertemu dengan sel telur. Jadi, nggak benar kalau semua sperma itu sehat dan bisa membuahi karena hanya sperma dengan bentuk dan gerakan terbaik yang punya peluang sampai ke sel telur ya.
7. Pra-ejakulasi nggak selalu aman untuk mencegah kehamilan

Banyak yang percaya kalau cairan pra-ejakulasi (pre-cum) aman dan nggak bisa menyebabkan kehamilan. Padahal, kenyataannya tetap ada risiko. Secara biologis, pra-ejakulasi memang biasanya nggak mengandung sperma baru. Tapi, sisa sperma yang masih ada di saluran uretra bisa ikut terbawa keluar bersama cairan ini.
Jumlahnya memang jauh lebih sedikit dibandingkan sperma dari ejakulasi penuh, tapi bukan berarti nol ya. Dilansir dari Healthline, sebuah penelitian tahun 2011 menemukan hampir 37% sampel cairan pra-ejakulasi masih mengandung sperma sehat yang bisa bergerak. Hasil serupa juga terlihat pada studi tahun 2016, di mana 17% sampel pra-ejakulasi memiliki sperma aktif.
Artinya, metode pull-out atau menarik penis sebelum ejakulasi bukan cara yang benar-benar aman untuk mencegah kehamilan. Meski peluangnya kecil, tetap ada kemungkinan sperma ikut terbawa dan membuahi sel telur ya.
8. Jumlah sperma yang banyak belum tentu baik

Papa mungkin berpikir kalau semakin banyak jumlah sperma, peluang hamil juga makin besar. Nyatanya, hal ini nggak selalu benar. Jumlah sperma yang cukup memang penting, tapi kalau terlalu banyak justru bisa menimbulkan masalah lho.
Dilansir dari Healthline, normalnya, hanya satu sperma yang bisa masuk dan membuahi sel telur. Begitu sperma pertama berhasil masuk, sel telur akan langsung mengunci diri supaya sperma lain nggak ikut menembus. Tapi kalau ada terlalu banyak sperma yang datang sekaligus dan lebih dari satu berhasil masuk, kondisi ini disebut polispermi.
Namun polispermi bisa berbahaya Pa, karena sel telur menerima materi genetik berlebih. Dampaknya, risiko gangguan pada DNA meningkat dan bisa menyebabkan masalah serius, mulai dari kelainan otak, jantung, sampai tulang belakang. Nah, itu sebabnya, dalam program bayi tabung (IVF), dokter nggak butuh jutaan sperma untuk membuahi sel telur. Yang lebih penting adalah kualitas sperma yang sehat, bukan banyaknya jumlah sperma papa.
9. Sperma bukan sumber gizi untuk tubuh

Mungkin Papa sering mendengar kalau sperma disebut kaya protein dan bisa memberi manfaat untuk tubuh. Faktanya, ini lebih ke mitos yang sering dijadikan bahan candaan. Memang benar, cairan sperma mengandung beberapa zat seperti vitamin C, zinc, sedikit protein, kolesterol, dan natrium. Tapi jumlahnya sangat kecil, jadi hampir nggak ada pengaruh nyata buat kebutuhan nutrisi harian tubuh papa.
Bahkan, kalau dihitung, seseorang harus menelan lebih dari 100 kali ejakulasi baru bisa merasakan manfaat gizi yang berarti, itu pun jelas nggak realistis Pa.
Jadi, menganggap sperma sebagai sumber protein jelas keliru ya. Selain itu, pada beberapa kasus laki-laki justru mengalami reaksi alergi terhadap semen, kondisi ini bisa menimbulkan rasa gatal, bengkak, atau iritasi. Jadi, nggak bisa dianggap aman atau sehat untuk semua laki-laki.
Singkatnya, sperma memang punya kandungan zat gizi, tapi jumlahnya terlalu kecil untuk dianggap bermanfaat. Jadi, lebih baik tetap mengandalkan makanan bergizi seimbang untuk memenuhi kebutuhan protein dan nutrisi tubuh.
10. Rasa sperma dipengaruhi gaya hidup, bukan sekadar buah

Pa, banyak cerita yang bilang kalau makan nanas bisa bikin rasa sperma jadi lebih enak. Tapi ternyata, anggapan ini nggak ada dasar ilmiahnya lho, Pa. Faktanya, aroma dan rasa sperma, sama seperti cairan tubuh lainnya, lebih dipengaruhi oleh faktor genetik, pola makan, dan gaya hidup. Itu sebabnya, setiap orang punya aroma yang berbeda.
Bukan hanya soal rasa, pola makan sehat justru lebih berpengaruh pada kualitas sperma. Mengonsumsi makanan dengan vitamin C dan vitamin B12, bisa membantu meningkatkan jumlah, bentuk, dan gerakan sperma. Jadi, fokus pada nutrisi lebih penting daripada berharap buah tertentu bisa mengubah rasanya.
Nanas atau makanan lain mungkin bisa memengaruhi tubuh secara umum, tapi nggak ada bukti ilmiah kuat yang menunjukkan bisa langsung mengubah rasa sperma ya, Pa. Yang jelas, gaya hidup sehat dan makanan bergizi tetap jadi kunci utama untuk menjaga kesehatan reproduksi Papa.
11. Kenyamanan lebih penting daripada jenis celana dalam

Pa, banyak yang percaya kalau pakai celana dalam ketat bisa bikin jumlah sperma menurun, sementara boxer dianggap lebih sehat untuk kesuburan. Tapi faktanya, pengaruh jenis celana dalam terhadap kualitas sperma ternyata nggak sebesar itu.
Dikutip dari Healthline, sebuah riset tahun 2016 menunjukkan hampir nggak ada perbedaan jumlah sperma antara pengguna boxer maupun celana dalam.
Memang, ada studi lain di tahun 2018 yang sempat heboh karena menemukan bahwa laki-laki yang lebih sering pakai boxer memiliki 17% jumlah sperma lebih banyak. Namun, hasil ini belum bisa dijadikan patokan mutlak, karena masih ada faktor lain yang ikut memengaruhi, seperti bahan kain dan jenis celana yang dipakai sehari-hari.
Selain itu, tubuh punya cara alami untuk menyesuaikan diri. Saat suhu di area testis sedikit lebih panas, hormon tertentu bisa meningkat untuk membantu produksi sperma tetap berjalan. Jadi, daripada pusing memilih boxer atau celana dalam, yang paling penting sebenarnya adalah selalu memperhatikan kenyamanan untuk Papa, ya.
Pa, banyak mitos tentang sperma yang beredar tapi nggak sepenuhnya benar. Dari jenis celana dalam, makanan tertentu, sampai mitos soal jumlah atau daya tahan sperma, semuanya seringkali dilebih-lebihkan. Yang paling penting sebenarnya adalah menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan, pola makan bergizi, cukup istirahat, olahraga teratur, dan mengelola stres dengan baik ya.
Dengan begitu, kualitas sperma akan lebih optimal, tanpa harus terlalu khawatir soal hal-hal kecil yang belum tentu berpengaruh. Jadi, Papa harus tetap tenang, jaga gaya hidup sehat, dan percayakan fakta medis, bukan mitos, untuk urusan kesuburan.



















