Stop Mengancam Anak dengan Bilang "Mama tinggal ya, Mama pergi, kamu sendiri ya"

Perjalanan membesarkan si Kecil sering dipenuhi dengan tantangan, terutama ketika harus mengajak mereka berhenti dari aktivitas yang menyenangkan, seperti bermain di playground.
Banyak orangtua yang secara refleks menggunakan kalimat ancaman seperti, “Mama pergi duluan ya, kamu di sini sendirian,” dengan harapan si Kecil akan segera mengikuti.
Namun, metode ini sebenarnya harus dihindari karena berpotensi untuk mengikis rasa aman dan kepercayaan anak pada orangtua.
Menurut para ahli perkembangan anak, rasa aman dan keterikatan (attachment) adalah dasar penting bagi tumbuh kembang balita.
Ketika orangtua berpura-pura meninggalkan anak, mereka bisa merasa ditinggalkan secara emosional.
Hal ini justru mengajarkan pesan yang salah bahwa anak harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk mendapatkan cinta dan perhatian orangtua.
Di artikel ini, Popmama.com telah merangkum informasi seputar stop mengancam meninggalkan anak! Kenali cara tepat ajarkan disiplin.
1. Hindari mengikis kepercayaan anak

Balita sangat bergantung pada rasa aman dari orangtuanya. Saat orangtua berkata akan meninggalkan anak, meski hanya pura-pura, tindakan tersebut bisa menimbulkan rasa takut dan cemas.
Dilansir dari Positive Psychology, menurut teori attachment John Bowlby, kelekatan yang aman atau secure attachment terbentuk ketika anak merasa yakin bahwa orangtua selalu hadir untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosionalnya.
Jika anak berulang kali dihadapkan pada ancaman ditinggalkan, si Kecil bisa merasa bahwa keberadaan orangtua tidak konsisten.
Dalam jangka panjang, rasa tidak aman ini dapat memengaruhi perilaku sosial dan emosional anak. Anak berpotensi untuk menjadi lebih clingy atau justru menarik diri karena khawatir ditinggalkan.
Daripada membangun kedisiplinan, ancaman tersebut justru bisa memperlemah hubungan emosional antara anak dan orangtua.
Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk menyadari bahwa kepercayaan anak adalah modal utama dalam pola asuh yang sehat.
2. Pahami bahwa anak bukan sedang membangkang

Ketika balita menolak pulang dari taman atau tempat bermain, sering kali orangtua menganggapnya sebagai bentuk pembangkangan atau kenakalan.
Padahal, kenyataannya si Kecil hanya belum siap mengakhiri kesenangan dan masih ingin bermain. Balita belum memiliki kemampuan pengendalian diri penuh karena prefrontal cortex mereka masih berkembang.
Mereka sulit berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain tanpa bantuan.
Jadi, penolakan mereka bukan karena ingin melawan orangtua, melainkan karena mereka masih belajar mengelola emosi dan transisi.
Dengan memahami hal ini, orangtua bisa lebih sabar dan empati, bukan buru-buru memberi ancaman.
Mengingat bahwa masa kanak-kanak adalah masa eksplorasi, anak hanya ingin memperpanjang waktu bermainnya.
Daripada menganggapnya sebagai suatu kenakalan, orangtua bisa melihatnya sebagai tanda bahwa anak merasa bahagia dengan lingkungannya.
3. Ancaman akan mengajarkan pesan yang salah

Menggunakan ancaman seperti “Mama pergi duluan” bisa menanamkan pemahaman keliru pada anak.
Si Kecil akan belajar bahwa ketika tidak mengikuti perintah, konsekuensinya adalah ditinggalkan. Hal ini bisa berbahaya karena anak akan tumbuh dengan terus dihantui oleh rasa takut kehilangan.
Penelitian dari American Academy of Pediatrics tahun 2018 menyebutkan bahwa disiplin berbasis rasa takut lebih sering menghasilkan kecemasan daripada kepatuhan jangka panjang.
Pesan yang ingin orangtua sampaikan sebenarnya adalah pentingnya mendengarkan dan bekerja sama.
Namun, dengan cara mengancam, si Kecil bisa menafsirkan bahwa cinta dan kehadiran orangtua bisa hilang kapan saja.
Padahal, rasa aman adalah kebutuhan dasar anak untuk berkembang sehat secara emosional. Oleh karena itu, orangtua perlu mencari strategi komunikasi yang menumbuhkan kerja sama tanpa mengorbankan rasa percaya anak.
4. Validasi perasaan anak Sebelum transisi aktivitas

Salah satu cara terbaik untuk membantu anak menghadapi transisi adalah dengan memvalidasi perasaannya.
Misalnya dengan mengatakan, “Mama tahu susah berhenti main waktu lagi seru, ya.” Kalimat seperti ini menunjukkan bahwa orangtua memahami emosi anak, sehingga anak merasa didengar.
Dilansir dari Harvard Center on the Developing Child, validasi emosi membantu anak mengembangkan regulasi diri yang lebih baik.
Dengan memvalidasi, orangtua juga mengajarkan anak bahwa perasaan mereka penting, bukan sesuatu yang harus ditekan atau diabaikan.
Si Kecil pun akan lebih mudah menerima arahan setelah perasaannya diakui. Langkah sederhana ini bisa mengurangi drama ketika waktunya pulang, sekaligus menjaga hubungan emosional yang sehat antara anak dan orangtua.
5. Berikan pilihan untuk anak saat transisi aktivitas

Alih-alih menggunakan ancaman, orangtua bisa menawarkan pilihan sederhana. Misalnya, “kamu mau main ayunan atau meluncur di perosotan sekali lagi sebelum kita pulang?”
Memberikan pilihan pada anak dapat meningkatkan rasa kendali dan kerja sama. Anak merasa dirinya punya andil dalam keputusan, sehingga lebih mudah menerima transisi.
Pilihan juga membantu si Kecil untuk belajar mengambil keputusan sejak dini. Dengan demikian, si Kecil tidak hanya menurut karena takut, tetapi juga karena merasa dihargai.
Cara ini efektif menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus melatih keterampilan hidup penting. Orangtua bisa menjadikan strategi ini sebagai rutinitas, misalnya setiap kali harus beralih dari bermain ke aktivitas berikutnya.
6. Pertahankan konsistensi yang penuh kasih

Membiarkan anak terus bermain tanpa batas tentu bukan solusi. Mama harus tetap konsisten dengan aturan, misalnya waktu pulang atau rutinitas harian.
Namun, konsistensi tidak harus selalu dilakukan dengan keras. Kedisiplinan yang positif adalah keseimbangan antara kehangatan dan ketegasan.
Orangtua bisa tetap berpegang pada aturan, sambil mengomunikasikannya dengan bahasa yang penuh empati.
Misalnya, jika anak masih menolak untuk pulang dari taman bermain, orangtua bisa berkata, “Mama mengerti kamu masih mau main, tapi sekarang waktunya pulang. Mau jalan sendiri atau mau Mama gendong?”
Dengan cara ini, anak tetap belajar disiplin tanpa merasa diabaikan. Konsistensi yang disampaikan dengan kasih sayang jauh lebih efektif untuk perkembangan emosional anak.
7. Ajarkan konsep pergi dan kembali

Daripada mengancam akan pergi, orangtua bisa mengajarkan konsep bahwa pergi selalu diikuti dengan kembali.
Mama dapat menjelaskan dengan kalimat seperti, “sekarang kita pulang, tapi besok kalau cuaca bagus kita bisa main lagi di sini.”
Dilansir dari organisasi riset perkembangan anak, Zero to Three, mengajarkan konsep kepergian dan kembalinya orangtua membantu anak memahami bahwa perpisahan tidak berarti kehilangan permanen.
Dengan demikian, anak belajar transisi dengan lebih aman. Mereka tahu bahwa meski harus berhenti bermain, ada kesempatan lain di masa depan.
Hal ini membantu mengurangi kecemasan dan memperkuat rasa percaya si Kecil pada orangtua. Strategi sederhana ini bisa membuat anak lebih mudah menerima perubahan tanpa drama yang berlebihan.
Itulah informasi seputar stop mengancam meninggalkan anak! Kenali cara tepat ajarkan disiplin. Mengancam anak dengan “Mama pergi duluan” mungkin terlihat efektif sesaat, tetapi berdampak negatif pada rasa aman dan kepercayaan mereka. Jadi, mulai gunakan cara yang tepat, ya, Ma!


















