Sambut Hari Anak Nasional, FAN 2018 Temukan Solusi Permasalahan Anak

Bukan lagi sekedar dibicarakan, tapi di FAN 2018 juga membahas solusi masalah anak

21 Juli 2018

Sambut Hari Anak Nasional, FAN 2018 Temukan Solusi Permasalahan Anak
Dok. KPPA

Masih dalam rangkaian Hari Anak Nasional (HAN), Pertemuan Forum Anak Nasional (FAN) 2018 yang mempertemukan perwakilan seluruh anak Indonesia di Kota Surabaya, Jawa Timur pada Sabtu (21/7), mendiskusikan beberapa topik terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak. 

Sejumlah topik yang hangat dibicarakan adalah pernikahan usia anak, bullying, radikalisme, terorisme, dan anti toleransi.

Nampaknya ini masih menjadi fokus permasalahan yang terjadi di tanah air. 

Sambut Hari Anak Nasional, FAN 2018 Temukan Solusi Permasalahan Anak
Dok. KPPA

Ditemui di sela-sela kegiatan FAN 2018, Perwakilan dari Kota Kediri, Jawa Timur, Rahmalia Puteri mengungkapkan ia bersama teman-temannya mengangkat isu pernikahan usia anak.

“Menurut kami, di Provinsi Jawa Timur masih terjadi pernikahan usia anak. Dalam pertemuan FAN 2018, kami mencoba menemukan solusi atas permasalahan tersebut. Kami berharap melalui forum ini, kami dapat menyusun Suara Anak Indonesia agar nantinya dapat direalisasikan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya,” kata Rahmalia.

Menurut Rahmalia permasalahan yang dialami anak-anak membutuhkan komitmen bersama dari seluruh pihak dan pengambil kebijakan di negeri ini. Oleh karena itu, ia mengungkapkan harapannya agar Presiden RI, Joko Widodo dapat menghadiri Puncak Acara Hari Anak Nasional (HAN) 2018 di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Ia juga berharap Pak Joko Widodo dapat mendengarkan secara langsung hasil diskusi mereka yang terkumpul dalam sebuah Suara Anak Indonesia 2018 yang akan dibacakan pada hari Senin, 23 Juli mendatang.

Sambut Hari Anak Nasional, FAN 2018 Temukan Solusi Permasalahan Anak
Dok. KPPA

Sementara itu, perwakilan dari Sorong, Papua Barat, Christin Chatrin Nebore (15 tahun) mengatakan ia bersama teman-temannya membahas isu radikalisme, terorisme, dan anti toleransi. 

Ia merasa prihatin mengenai keadaan anak-anak yang dilibatkan dalam melakukan aksi tersebut. 

“Menurut kami, anak-anak pun bisa mengambil peran aktif dalam memerangi aksi-aksi radikalisme, terorisme, dan anti tolerasi. Pertama, lakukan pendekatan dari diri sendiri. Tanamkan rasa nasionalisme, toleransi, dan solidaritas dalam diri. Anak-anak harus bisa menyaring informasi dan jangan terpengaruh provokasi yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya,” ungkap Christin.

Christin menambahkan setelah dimulai dari diri sendiri, lanjutkan dengan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Di sekolah, anak-anak bisa bekerjasama dengan organisasi yang ada di sekolah, seperti dewan guru, komite sekolah, guru Bimbingan dan Konseling (BK). Sementara di lingkungan masyarakat, anak-anak bisa bekerjasama dengan lembaga organisasi masyarakat yang berkaitan dengan lembaga pendidikan. Orangtua tentunya memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung anak. 

“Intinya adalah tanamkan rasa nasionalisme di kalangan anak-anak. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya meningkatkan efektivitas program Bela Negara di sekolah, pelaksanaan upacara bendera, paskibraka, dan menyelenggarakan kegiatan kebudayaan yang melibatkan generasi muda. Saat ini, banyak anak Indonesia yang lebih mencintai budaya asing dibandingkan budayanya sendiri. Untuk itu, sangat penting untuk memperkenalkan dan membudayakan bahasa, tarian, dan lagu-lagu daerah kepada anak-anak,” tutup Christin.

The Latest